Oleh KH. Afifuddin Muhajir
Setidaknya
ada tiga hal yang mendorong saya untuk menanggapi tulisan saudara Ulil
Abshar Abdalla tentang doktrin-doktrin agama yang menurutnya kurang
perlu atau tidak perlu sama sekali :
1. Husnud dzan saya kepada saudara Ulil bahwa dia bukan orang yang keras kepala yang enggan menerima kebenaran.
2. Ketidakpercayaan saya pada anggapan sebagian orang bahwa Ulil telah sinting.
3. Keyakinan saya bahwa Ulil tidak akan berani berseberangan dengan tuhan.
Saya
yakin bahwa saudara Ulil masih meyakini shalat, zakat, dan haji sebagai
perintah Allah yang wajib dilaksanakan dan saya yakin pula bahwa ketika
berhaji dia juga ikut thawaf, sa'i dan melontar jumrah, meski pasti
bukan karena telah memahami maksud-maksudnya, melainkan karena meyakini
itu sebagai perintah Tuhan. Tentu bukan hanya seorang Ulil, orang yang
paling jenius pun asal dia muslim pasti tunduk melakukan
amaliah-amaliah ritual seperti itu dan tidak akan pernah berfikir untuk
menghapusnya dengan alasan tidak perlu atau tidak relevan. Memang itu
ibadah ritual yang berbasis ketundukan dan kepasrahan kepada yang maha
kuasa. Tetapi bukankah semua amaliah yang kita lakukan dalam kerangka
agama harus berbingkai ketundukan dan kepasrahan, karena esensi dari
keberagamaan adalah ketundukan dan kepasrahan itu. Saya melihat ada
orang yang salah paham dalam soal ini dan yang pertama kali salah paham
adalah Iblis ketika diperintah oleh Allah swt agar sujud kepada Nabi
Adam as. Karena pemahamannya yang salah, Iblis merasa tidak pantas
bersujud kepada Nabi Adam as. Padahal sujud kepada siapapun asal Allah
yang menyuruh pada hakikatnya adalah bersujud kepada Allah.
Apakah
saudara Ulil termasuk yang salah paham atau justru saya yang salah
paham? Untuk itu, perlu membaca tulisan saudara Ulil tentang beberapa
hal dalam Islam yang menurutnya tidak perlu, berikut tanggapannya
sebagai berikut :
Satu, doktrin 'ishmah al-nubuwwah (bahwa Nabi
tidak bisa berbuat salah). Istilah Nabi ma'shum tidak bermakna Nabi
tidak bisa berbuat salah, ia lebih tepat bermakna Nabi tidak pernah
dibiarkan berbuat salah, karena pernah beberapa kali Nabi mendapat
teguran dari Allah. Ini berarti bahwa semua yang keluar dari Nabi
selama tidak ditegur oleh Allah berarti benar.
Doktrin 'ishmah
al-nubuwwah ini lahir dari ayat-ayat al-Qur'an yang berisi perintah
kepada kaum muslimin untuk mengikuti Nabi, menta'atinya dan ber-uswah
kepadanya tanpa ada qayid (tanpa catatan) bila benar. Tentu ini bukan
dalam hal-hal yang bersifat duniawi semisal cara menanam pohon yang
baik, taktik dan strategi perang dan sebagainya. Sebab, dalam persoalan
ini, Nabi bersabda, "Kamu lebih tahu dengan urusan duniamu" (HR. Imam
Muslim). Mengatakan bahwa doktrin 'ishmah al-nubuwwah tidak perlu, sama
halnya dengan mengatakan bahwa mengikuti dan meneladani Nabi tidak
perlu, karena apa perlunya kita mengikuti dan meneladani Nabi bila
beliau sendiri belum tentu benar, kecuali jika ukuran benar dan salah
kita sendiri yang membuatnya.
Dua, doktrin tentang sumber hukum.
Anggapan
bahwa Ahlussunnah membatasi sumber hukum hanya pada empat ; al-Qur'an,
hadits, ijma', dan qiyas adalah tidak benar. Entah dari mana saudara
Ulil memperoleh informasi tentang hal ini, karena banyak sumber selain
dari yang empat tersebut yang juga menjadi acuan kalangan Ahlussunnah,
seperti istihsan, maslahah mursalah, 'urf dan seterusnya. Yang dikenal
membatasi sumber hukum pada empat ini adalah Imam Syafi'i yang tidak
selalu identik dengan al-Syafi'iyah (ulama pengikut madzhab Syafi'i).
Menurut saya, pembatasan pada sumber-sumber terkenal tersebut sangat
logis karena hukum yang kita maksudkan adalah hukum Islam yang sering
disebut dengan "hukum Allah", yaitu hukum yang diyakini atau diduga
kuat sebagai hukum Allah yang mempunyai konsekuensi tsawab dan 'iqab di
akhirat. Bagi kalangan Ahlussunnah, hukum Allah hanya bisa diambil dari
wahyu Allah (al-Qur'an dan hadits) atau sumber-sumber lain yang
diyakini mendapat mandat dari wahyu Allah, seperti ijma' dan qiyas.
Rasa
husnudz dzan saya yang sangat tinggi pada Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain membuat saya tidak
ragu sama sekali akan integritas dan obyektifitas mereka. Justru saya
ragu akan obyektifitas saudara Ulil yang telah menuduh mereka sebagai
alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo.
Tiga, doktrin inqitha' al-nubuwwah (bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman).
Saya
pikir kita tidak berhak menentukan bahwa setelah Nabi Muhammad akan ada
Nabi lagi atau tidak, karena ini adalah hak prerogatif Tuhan. Rasanya
kita sangat su'ul adab kepada Tuhan kalau sampai ikut campur dalam
urusan ini, sama su'ul adab -nya dengan mengatakan bahwa Allah swt
perlu mengutus utusan di atas bumi ini atau mengatakan sebaliknya,
yakni Allah tidak perlu mengutus utusan. Kalau kita mengatakan perlu,
seolah-olah kita ragu akan ke-mahakuasa-an Allah menciptakan
kemaslahatan di atas bumi tanpa kehadiran seorang utusan. Menyatakan
tidak perlu berarti kita menyalahkan Tuhan yang telah banyak mengutus
utusan. Maka, seharusnya urusan ini kita serahkan saja kepada kebijakan
Tuhan. Dengan acuan nash al-Qur'an dan hadits, sampai saat ini kaum
muslimin berkeyakinan bahwa kebijakan Tuhan dalam soal ini adalah
inqitha' al-nubuwwah. (Tidak adanya Nabi setelah Rasulullah Muhammad
SAW)
Empat, doktrin nasikh-mansukh atau tashhih mentashhih antar agama.
Seharusnya
kita tidak perlu ambil pusing dengan persoalan nasikh-mansukh atau
tashhih mentashhih antar agama, karena kita hanya sebagai pemeluk
agama. Agama yang kita anut bukan kita yang membuatnya dan
doktrin-doktrinnya pun bukan kita yang merumuskan. Jika pemeluk suatu
agama percaya bahwa agama yang mereka anut telah menghapus agama-agama
yang lain tentu karena kitab suci yang mereka yakini datang dari Tuhan
telah mengatakan demikian dan pasti mereka tidak berani menganulirnya.
Selain itu, kepercayaan demikian merupakan perwujudan dari keyakinan
mereka yang sangat kuat terhadap kebenaran agama mereka. Dan hal itu
sah-sah saja bahkan sangat positif. Yang tidak sah adalah melakukan
tindak kekerasan dan arogansi atas nama agama baik secara fisik maupun
psikis. Tukar menukar pengalaman dan saling belajar di antara para
pemeluk agama tidak dilarang, bahkan perlu. Yang dilarang adalah tukar
menukar prinsip dan mengorbankan substansi keberagamaan yakni
ketundukan dan kepasrahan pada ketentuan Tuhan.
Al-Qur'an
sebagai kitab suci agama Islam di antara doktrinnya menyatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW diutus sebagai pembenar terhadap rasul-rasul Allah
sebelumnya dan al-Qur'an diturunkan sebagai pembenar terhadap
kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya. Jadi, al-Qur'an tidak
menghapus prinsip-prinsip ajaran kitab Taurat dan kitab Injil maupun
kitab-kitab Allah yang lain. Hanya saja, Allah melalui al-Qur'an
menyuruh para penganut kitab Taurat (Yahudi), penganut kitab Injil
(Nasrani) dan yang lain agar melengkapi iman mereka dengan beriman
kepada Nabi Muhammad dan al-Qur'annya.
Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial.
Saya
sendiri tidak setuju dengan doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul
dari pada kesalehan sosial. Akan tetapi, saya setuju dengan orang yang
mengatakan bahwa orang yang saleh secara ritual pasti saleh secara
sosial. Ini berangkat dari doktrin lain bahwa ibadah shalat dan
ibadah-ibadah ritual yang lain bila dilakukan dengan ikhlas, khusyu',
dan khudlu' di hadapan al-ma'bud pasti melahirkan kepekaan sosial,
kerendahan hati, dan kasih sayang terhadap sesama serta menghilangkan
sifat-sifat tercela, seperti kikir, egoisme, sombong, dan sebagainya.
Sedang apa yang kita lihat selama ini boleh jadi hanya merupakan format
kesalehan bukan hakikat kesalehan.
Enam, doktrin bahwa orang yang mengikuti agama lain adalah kafir.
Sampai
saat ini, hampir semua kaum muslimin –kalau tidak menyatakan semuanya-
meyakini Islam sebagai satu-satunya jalan mencari selamat dan bahwa
mereka yang berada di luar Islam adalah kafir, karena memang sampai
saat ini pembagian agama bersifat dikotomis (tsuna'i) yakni Islam dan
kufr . Tidak ada agama yang bukan Islam dan bukan kufr. Keyakinan di
atas tertanam begitu kuat di dalam hati kaum muslimin secara idlthirari
bukan ikhtiyari . Artinya, keyakinan itu lahir bukan karena mereka
sengaja memilih keyakinan seperti itu, akan tetapi karena dasar-dasar
yang menjadi acuannya begitu terang benderang sehingga sangat mudah
menggiring lahirnya pemahaman dan keyakinan tersebut. Keyakinan
seseorang bahwa agama lain itu salah merupakan konsekuensi logis dari
keyakinan bahwa agamanya sendiri yang benar. Merupakan suatu hal yang
tidak mungkin memadukann antara dua keyakinan; di satu sisi meyakini
bahwa kerasulan Muhammad kepada seluruh alam itu haq, di sisi lain
meyakini kebenaran agama lain yang mengingkari kerasulan Muhammad itu.
Tujuh, tentang klaim sekte tertentu dalam lingkaran suatu agama sebagai kelompok yang benar atau al-firqah al-najiyah.
Kita
sepakat bahwa ajaran tawadlu' harus ditanamkan, Sikap arogan harus
dicegah dan klaim bahwa diri sendiri pasti masuk surga sedang orang
lain pasti masuk neraka harus dihilangkan. Sebab, kehidupan ini
berubah-ubah. Orang lain yang sekarang dianggap sesat, boleh jadi
beberapa saat sebelum mati mendapat hidayah. Sedangkan diri sendiri
yang sekarang sedang merasa dalam hidayah tidak mustahil beberapa saat
sebelum meninggal berubah menjadi orang sesat.
Ajaran tawadlu'
perlu dikembangkan dalam bentuk penekanan sikap toleransi menghadapi
kelompok lain yang dianggap bermasalah atau salah dan tentu bukan
dengan cara mengajak orang untuk menjustifikasi agama lain atau faham
lain yang diyakini tidak benar, karena ini bukan kerendahan hati tapi
ketololan.
Delapan, doktrin bahwa jika kitab suci mengatakan A, maka usaha rasional harus berhenti.
Yang
hendak saya katakan di sini ialah bahwa kaidah 'la ijtihada fi mahal
al-nassh' bukan firman Allah dan bukan sabda Nabi. Oleh sebab itu,
mempunyai potensi untuk diterima atau ditolak. Para ulama yang menerima
kaidah tersebut tidak satu kata tentang apa yang dimaksud dengan
'nassh' itu. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
nassh sebagai lawan dari dhahir. Jadi, berarti teks al-Qur'an dan
hadits yang mono-tafsir semisal Qul Huwa Allahu Ahad dan Muhammadun
Rasulullah. Bahkan, pada nash-nash yang dianggap mono-tafsir pun ada
ruang untuk berijtihad dan berdiskusi, yaitu menyangkut hal-hal yang
bersifat amaliyah waqi'iyah tarikhiyah dalam konteks aplikasinya di
tengah-tengah kehidupan. Tentang bahwa firman Allah tidak mungkin salah
pasti kita semua sepakat termasuk saudara Ulil sendiri tentunya. Yang
mungkin salah adalah penafsiran dan penerapannya. Bila dalam kondisi
tertentu ada firman Tuhan yang menurut nalar manusia berat untuk
diaplikasikan secara lafdhan wa ma'nan tidak boleh dipahami bahwa
firman itu bergeser dari benar menjadi salah, karena kehidupan ini
berputar bagikan roda. Kondisi yang kini kurang kondusif, pada saatnya
nanti akan kembali kondusif.
Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh syari' (Tuhan).
Dalam
Islam, aturan hukum dimaksudkan bukan semata-mata untuk mewujudkan
ketertiban di muka bumi. Justru yang paling utama adalah untuk menguji
ketaatan manusia pada aturan tuhannya. Perlu diingat bahwa status yang
tidak pernah lepas dari manusia selain sebagai khalifatullah adalah
statusnya sebagai abdullah (hamba Allah). Deklarasi al-Qur'an tentang
kedudukan manusia sebagai hamba tidak kalah jelas dari deklarasinya
tentang kedudukan manusia sebagai khalifah. Tentu, penghambaan manusia
secara total kepada Tuhannya, bukan hanya dalam bentuk amaliah ritual
seperti shalat dan puasa, melainkan juga dalam bentuk ketaatan pada
aturan-aturan hukumnya. Ini artinya bahwa dalam melaksanakan tugas
kekhalifahan, manusia tidak boleh lepas dari aturan-aturan yang
ditentukan sendiri oleh Allah dan harus menjadikan seluruh amal
salehnya semata-mata karena Allah, bukan karena manusia atau karena
yang lain agar tidak menjadi hamba manusia atau hamba yang lain. Kalau
kita wajib taat kepada orang tua atau negara misalnya itu karena
diperintahkan oleh Allah.
Sepuluh, doktrin bahwa kitab suci seluruhnya bersifat supra historis.
Perbincangan
tentang apakah kitab suci bersifat supra sejarah atau tidak secara
substansial identik dengan perdebatan sengit yang terjadi pada masa
klasik, yaitu apakah al-Qur'an itu qadim atau hadits? Apa material atau
immaterial? Apakah hukum-hukum yang terkandung di dalamnya Mu'allal
atau tidak? Dan kalau mu'allal apa yang dimaksud dengan 'illat itu?
Sebagai kalam ide, firman Allah seluruhnya bersifat supra sejarah dan
secara potensial bisa diamalkan di tengah-tengah kehidupan. Sedang
dalam tataran penafsiran dan pengamalan secara riil terdapat
bagian-bagian firman Allah yang lengket dengan sejarah. Berhubung
kehidupan ini berputar sebagaimana saya katakan di depan, maka dalam
menafsiri kitab suci yang lengket dengan sejarah berlaku mekanisme
buruz (lahirnya makna) dan kumun (tersembunyinya makna). Sedang dalam
pengamalan secara riil berlaku konsep tanfidz (melaksanakan) dan waqf
al-tanfidz (menghentikan pelaksanaan sementara). Konsep azimah dan
rukhshah yang terkenal dalam ushul fiqh sangat terkait dengan persoalan
ini.
Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab atau menyelesaikan semua masalah.
Islam
sangat potensial untuk dapat menyelesaikan semua masalah. Secara riil
belum tentu. Tetapi, yang jelas melaksanakan petunjuk-petunjuk Islam
merupakan suatu prestasi yang mempunyai nilai tersendiri di hadapan
Tuhan. Perkara bisa atau tidak bisa menyelesaikan persoalan keduniaan
adalah soal lain. Ibarat sebuah perjuangan, ada kalanya sukses, ada
kalanya gagal. Bila gagal, belum tentu karena petunjuk dan aturan
mainnya salah atau jelek. Sangat boleh jadi karena terbatasnya
kemampuan manusia yang hanya bisa melakukan sebab, tetapi tidak kuasa
menciptakan akibat.
^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1342
Posting Komentar