Sesuai dengan rencana, hari minggu pukul 13.00, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) berkumpul di tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat. Tapi memang baru 200-an orang sudah berkumpul. Sebagian besar dari mereka adalah kaum perempuan dan anak-anaknya.
Saya, Khamami Zada Serta anaknya, Maman, Abah, dan 28 Lakpesdam Society sudah duduk-duduk mendengarkan orasi-orasi mukaddimah dari Saidiman (aktifis JIL). Saya melihat Imdadun Rahmat (Aktifis NU, ICRP, MARI, dan Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar, PP Lakpesdam NU) kawan-kawan sedang menyiapkan alat musik di samping mobil pick up yang membawa seperangkap sound system.
Lima belas menit setelahnya, saya melihat sekawanan berjumlah 300-an orang, berseragam putih-putih, dan membawa bendera FPI. Mereka berlari-lari serentak dari belakang, berputar dan mengepung kami dengan cepat, sambil mengacung-ngacungkan bambu dan kayu sebesar lengan orang dewasa.
”Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Bubar kalian orang kafir! Bubar kalian orang kafir! Bubar!” Begitu teriak orang berseragam sambil memulai mengayun-ayunkan kayu secara membabi-buta. Para perempuan dan anak-anak berteriak histeris sambil menyelamatkan diri. Mereka berusaha melompat pagar kawat pembatas taman tugu Monas. Sisi-sisi lain dikepung FPI.
FPI semakin keras menyerang
Saya melihat Khamami Zada yang menggendong anaknya berlari ke belakang. Saya melangkah ke depan, tapi saya kemudian berbalik arah dan lari ke arah stasiun Gambir. Tapi lari saya tertahan, karena tas saya ditarik-tarik oleh lak-laki gempal berjaket hitam. Dia memaksa saya membuka tas. Saya menolak. Dia terus memaksa saya. Akhirnya saya berikan tas kecil berisi sebuah blok note, dompet, buku kartun karya Benny & Mice, dan Sakramen Politik. Setelah puas menggeledah, dia mengusir saya, meminta saya menjauhi Monas.
Saya berlari kecil menjauhi Monas, tapi saya balik ke belakang lagi karena melihat Jajang C. Noor (seniman senior) berdiri sendiri dalam keadaan panik. Saya langsung menarik tangannya menjauhi sekawanan berseragam putih yang masih membabi buta mengayun-ngayunkan kayu-kayu.
Dengan rasa galau bercampur emosi, saya hanya melihat aksi terorganisir FPI memhantam apa saja yang diduga bagian dari AKKBB. Asap mulai mengepul dari mobil yang membawa sound system. Belum lama saya berdiri, saya melihat Imdadun Rahmat (aktifis NU, MARI, ICRP, dan redaktur Jurnal Tashwirul Afkar, PP Lakpesdam NU) berlari bersama dua orang anaknya menghindari amukan FPI. Di kepalanya mengucur darah. Tapi saya melihat 5 orang masih mengejar dan berusaha menggemugi dengan bambu. 5 orang kembali ke massanya setelah Imdad berteriak-teriak, ”Saya Imdadun Rahmat. Saya NU!” (sumber: The Wahid Institute)
Posting Komentar