Salaman Oleh: Muhammad Kurtubi

Kebiasaan bersalaman bagi sebagian besar kita sudah tidak asing lagi. Namun bila disertai dengan cium tangan tidak setiap orang mau menerimanya. Mengapa? Sebagian besar menganggap bahwa bersalaman sambil mencium tangan akarnya adalah feodalisme. Dengan dalih feodalisme atau kebia­saan peninggalan penjajah ini mereka sangat meng­hindari bahkan seolah-olah sesuatu yang diharam­kan.

 

Rupanya alasan feodalisme hanya akal-akalan saja sebab sumbernya belum jelas. Sedangkan ajaran shalihin tidak semata-mata berpatokan pada hukum logika, melainkan harus bersumber dari syari'at baik itu Qur'an maupun hadits dan kebiasaan para shahabat di sekitar Rasulullah saw. Khusus dalam masalah bersalaman sambil menciium tangan, banyak hadits-hadts atsar yang mengungkapkan bagai­mana para sahabat dulu besalaman dan bercium tangan. Salah satu sumbernya adala hadits dan atsar di bawah ini:

 

عَنْ يَحْيَى بِنْ اَلْحَارِثِ اَلذَّمَارِى قَالَ: لَقِيْتُ وَائِلَةَ بْنِ اْلأَسْقَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْتُ: بَايَعْتَ بَعْدَ هَذِه رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقُلْتُ: اَعْطِنِى يَدَكَ أَقَبَلُهَا. فأَعْطَانِيْهَا فَقَبَّلْتُهَا. قَالَ اَلْهَيْثَمِى (ج 8 ص 42) وَفيه عبدالملك القارى ولم أعرفه. وبقيه رجاله ثقات

 

 

Artinya: Dari cerita Yahya bin Al Kharits Al Damari: "Saya bertemu Wailah bin al Asqa r.a. dan aku bertanya: 'Apkah anda baru saja berbaiat dengan Rasulullah saw? 'benar!', kalau begitu ulurkan tanganmu aku akan men­cium. Maka Wailah memberika tangannya dan aku ciumi." Menurut Keterangan al Haitsami (Juz 8 hal 42) dan Abdul Malik al Qori dan orang lain yang tidak aku kenal, menetapkan bahwa sanadnya tsiqot (dapat dipercaya).

 

 

2- وَعِنْدَ أبي نَعِيْمٍ فىِ الْحِلْيَةِ (ج 9 ص 306) عَنْ يُوْنُسْ بِنْ مَيْسَرَة قَالَ: دَخَلْنَا عَلَى يَزِيْدٍ بِنِ اْلأَسْوَدِ عَائِدَيْنِ فدخل عَلَيْهِ وَائِلَةَ بِنِ اْلأَسْقَعِ رَضِيَ الله عَنْهُ فَلَمَّا نَظَرَ إِلَيْهِ مَدَّ يَدَهُ فَأَخَذَ يَدَهُ فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ وَصَدْرَهُ لِأَنَّهُ بَايَعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ: يَازَيْدَ، كَيْفَ ظَنَّكَ بِرَبِّكَ؟ فَقَالَ: حَسَنٌ. فَقَالَ: فَأَبْشِرُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ "أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى" إِنَّ خَيْرًا فَخَيْرٌ وَإِنَّ شَرًّا فَشَرٌّ

 

 

Menurut versi Abi Na'iim dalam Kitab Al Khilah (Juz 9 hal 306) menyebutkan;

Yunus bin Maisaroh bercerita: 'Aku memasuki rumah Yazid bin al Aswad tiba-tiba datang Wailah bin al Asqo' r.a. Ketika melihat ada Wailah ra, Yazid mengulurkkan tangan dan menjabat tangan al Aswad ra kemudian mengusap wajahnya menggunakan tangan al Aswad ra setelah itu tangan al Aswad diletakkan di dadanya karena alasan bahwa al Aswad telah berjumpa Rasulullah saw. Kemudian al Aswad ra bertanya kepada Yazid: 'Bagaimana perasaan kepada Tuhanmu?', 'Baik!', 'Aku beritahu bahwa aku telah mendengar Rasul saw telah medapat wahyu : 'Ana 'inda dzonni 'abdi bii' (artinya: Aku (Allah) tergantung perasaan hamba kepadaKU). Jika memiliki sangkaan baik kepada Allah, maka demikian Allah berprasangka kepada hambaNya, begitu pula sebaliknya.

 

3- وَاَخْرَجَ الْبُخَارِيْ فِى اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ ص 144 عَنْ عَبْدِ

الرَّحْمنِ ابْنِ رَزِيْنٍ قَالَ: مَرَرْنَا بِالرُّبَذَةِ فَقِيْلَ لَنَا: هَهُنَا سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ، فَأَتَيْنَا فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ: بَايَعْتَ بِهَاتَيْنِ نَبِىَّ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْرَجَ لَهُ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَ نَّهَا كَفَّ بَعِيْرٍ. فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا. وَأَخْرَجَ اِبْنُ سَعْدٍ (ج 4 ص 29) عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدٍ اْلعِرَاقِى نَحْوُهُ.

 

 

Imam Bukhori menulis hadits dalam bab Adabul Mufrod (pedoman tingkahlaku pribadi) halaman 144. Imam Abdurahman bin Razin berkata: “Aku berjalan bersama Rubadzah tiba-tiba dia berkata padaku: ‘Hei bukankah itu Salmah bin Al Akwa’ ra, dengan segera kami berdua mendatangi beliau dan beruluk salam. Lalu Rubadzah menjulurkan tangannya sambil bertanya pada Salmah ra : ‘Bukankah Anda telah berbaiat kepada Rasulullah saw dengan tanganmu? maka Rubadzah mengeluarkan tangan­nya. Kemudian kami berdua berdiri menyambut tangannya dan kami menciumnya. Riwa­­yat seperti ini juga telah dikeluarkan oleh Abd. Rohman bin Zaid Al ‘Iraqi menurut takhrij dari Ibn Sa’id Juz 4 hal 29.

 

 

4- وَاَخْرَجَ الْبُخَارِيْ اَيْضًا فِى اْلأَدَبِ ص 144 عَنْ اِبْنِ جَدْعَانِ قَالَ ثاَبِتٌ ِلأَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: أَمْسَسْتَ النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَقَبَّلَهَا. وَأَخْرَجَ الْبُخَارِى أَيْضًا فِى اْلأَدَبِ ص 144 عَنْ صَهِيْبٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ الله عَنْهُ يُقَبِّلُ يَدَ الْعَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَرِجْلَيْهِ.

 

Masih menurut Al Bukhori dalam bab Adab halaman 144 menuturkan bahwa Ibnu Jud’an bertanya kepada Sahabat Anas ra : ‘Apakah Anda telah menyentuh tangan Rasulullah saw? Kemudian dijawab: ‘benar!’ lalu Ibnu Jud’an men­ciumnya. Masih dalam halaman yang sama, Imam Bukhori meriwayatkan bahwa Shohib berkata: ‘Saya melihat Imam Ali ra mencium tangan dan kedua kaki Sahabat Abbas ra.


5- عَنْ ثَابِتِ قَالَ: كُنْتُ إِذًا أَتَيْتُ أَنَسًا يُخَبِّرُ بِمَكَانِى فَأَدْخَلَ عَلَيْهِ وَآخَذَ يَدَيْهِ وَأَقْبَلَهُمَا وَأَقُوْلُ: بِأَبِىْ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ الَّلتَيْنِ مَسَّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْبَلَ عَيْنَيْهِ وَأَقُوْلُ: بِأَبِىْ هَاتَيْنِ (اَلْعَيْنَيْنِ) اللَّتَيْنِ رَأَتَا رَسُوْلَ اللهِ.

 

Tsabit berkata: Suatu ketika aku mendatangi Anas ketika berkunjung ke tempatku maka saat dia masuk langsung aku ambil tangannya dan aku ciumi kedua tangannya aku berkata: ’Karena kedua tangan ini telah bersalaman dengan Rasulullah. Kemudian aku mencium kedua matanya dan aku berkata: ’Karena kedua mata anda telah memandang mata Rasul maka saya mencium kedua mata Anda.”

 

Kesimpulan:

  • Mencium tangan ketika bersalaman kepada orang yang bersambung kepada Rasulullah saw adalah seperti kebiasaan para sahabat dan tabi’in zaman dahulu. Bahkan Sohabat Ali kw pernah mencium kedua tangan dan kaki Shohabat Ibnu Abbas ra.
  • Alasan bercium tangan mereka adalah karena orang yang tangannya dicium tersebut meyakini telah bertemu dan bersambung kepada Rasul.
  • Untuk zaman sekarang, jika kita bersalaman sambil mencium jangan hawatir karena guru/ulama kita itu telah bersalaman dengan guru sebelumnya dan guru sebelumnya itu terus menerus bersambung kepada Rasulullah saw.
  • Mau salaman atau tidak, bukan sebuah perintah. Namun lebih kepada adab atau tatakrama.  Karena para ulama adalah warotsatul anbiya (pewaris nabi), maka selayaknya mereka dihormati. Dengan cara bagaimana para sahabat telah memberikan atsar yang baik. 
  • Wallahu A'lam bimuroodih, mohon dikoreksi terjemahan. 

 

Muhammad Kurtubi, Alumni MANU Buntet Pesantren Cirebon.

Silahkan baca, artikel di situs lain tentang salaman   

 

  

 

Catatan Admin:

Jika tidak tampil tulisan arabnya, silahkan klik kanan di browser, lalu pilih encoding dan pilihan diklik pada arabic (windows) maka akan tanpil tulisan arabnya. Bagi pemakai Windows XP artikel sudah diposting pada buntetpesantren.com2006-11-03 19:50:16

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama