irvan_suhrowardi.jpgOleh: Ahmad Irvan Maulana, SH

Bangsa ini membutuhkan kepastian hukum yang bisa dipijaki untuk kelangsungan negeri ini. Kesan adanya pelaku korupsi yang ditindak kurang dari sepuluh tahun padahal kejahatan korupsi sangat besar, menunjukkan ketidakseriusan bangsa ini mengelola system.




Kita patut menyambut baik gagasan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Marwan Effendy. Tuntutan hukuman yang berat untuk koruptor harus segera direalisasikan.




Ya ialah pak, bagaimana mungkin negara ini akan bisa tegak sistemnya kalau lembaga hukum abai dalam masalah korupsi. Seringkali fakta di lapangan para pelaku korupsi itu lebih memilih subsider (hukuman tambahan) daripada membayar denda adalah sangat menyakiti nurani masyarakat. Di samping itu, banyak pelaku kejahatan lain yang sifatnya lokal seperti pencurian dihukum berat sementara kotuptor yang menilep uang negara milyaran bahkan trilyunan bisa leluasa dan kalaupun dihukum kurang dari sepuluh tahun. Belum lagi adanya ampunan setiap lebaran dari presiden.



 



Dalam ajaran agama, orang yang melakukan kejahatan dihukum berat sekali. Dan tujuan dari hukuman itu adalah untuk menimbulkan efek jera. Jika kemudian hukuman itu tidak membuat jera, maka tidak heran jika korupsi masih terus melanggeng di arena permainan dan semakin canggih meskipun ada KPK di sekitarnya.




Pada pemilu 2004 ada seorang calon presiden yang sempat berjanji akan menghukum mati para koruptor  jika dia terpilih sebagai presiden. Kenapa baru sekarang Kejaksaan merespon keinginan masyarakat padahal aspirasi untuk menghukum para koruptor dengan hukuman yang berat itu sudah lama sekali. Apalagi momentum ini sangat tepat karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengeluarkan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi.



 



Bermula dari momentum inpres itulah banyak para koruptor kelas atas terbirit-birit dikejar oleh Kejaksaan. Ada yang berhasil ditangkap dan kini meringkuk di penjara. Namun bila melihat pepatah ”lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”, maka keinginan Jampidsus agar menuntut koruptor dengan hukuman tambahan yang berat lebih baik diterapkan. Karenanya tidak ada pilihan lagi bagi aparat kejaksaan dengan adanya sinyal ini, agar segera bekerja untuk menghukum berat para koruptor.



 



Main-main
Publik seringkali dihadiahi sebuah proses hukum hingga sampai ke pengadilan, namun sepertinya sudah hafal, bila kasusnya menyankut orang-orang "besar perutnya" maka persis dengan alur cerita sinetron. Para koruptor tertuduh itu hanya dihukum beberapa bulan ada juga yang keterlaluan dengan dibebaskan begitu saja. Coba saja lihat bagaimana kasus dulu, ketika adanya rencana tuntutan ganda dalam kasus Hariono Agus Tjahyono dimana ia memiliki 20 kg sabu-sabu merupakan bukti betapa mudahnya para jaksa mengutak- atik tuntutan hukum.



 



Belum lagi kasus teranyar yaitu kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan kasus-kasus lain dalam perkara korupsi. Karena itu sebaiknya Marwan Effendy tidak menjadikan gagasan penambahan tuntutan subsider kepada tersangka korupsi sekadar wacana. Tetapi harus bisa menciptakan langkah-langkah konkret itu perlu ditempuh untuk mewujudkan gagasan tersebut. Kalau kemudian Marwan abai mewujdukan idenya itu, maka tak ubahnya Marwan hanya mengubah citra kejaksaan yanag tengah disorot publik karena tercemar oleh kasus-kasus yang memalukan sehingga dicotptonya dua Jaksa Agung Muda Kejaksaan Agung terkait perkara suap jaksa Urip Tri Gunawan oleh Artalyta Suryani.




Harapan publik sangat jelas bahwa para koruptor itu dihukum seberat-beratnya dan tidak hanya menjadi pekerjaan aparakat kejaksaaan saja, tetapi juga proses berikutnya yaitu di pengadilan. Sebab tidak jarang kasus di pengadilanpun menemui berbagai kendala dan hambatan. Karenanya, sebagai pemegang kekuasaan pengadilan, para hakim itu juga sebaiknya punya visi sama dalam menangani kasus koruptor.



 



Alurnya cukup jelas, jika Jaksa sudah menuntut dengan hukuman berat, maka tatkala sang hakim dihadapkan kasus korupsi tentu saja tidak boleh ragu-ragu dalam memproses dan memutuskanya dengan hukuman maksimal.



 



Anehnya, dalam pengadilan pengadilan di negara ini, hampir belum ditemukan tuntutan hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup. Padahal syarat materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sudah mensyaratkan itu. Tetapi yang terjadi hukuman di bawah sepuluh tahun.



Kalau korupsi dianggap sama dengan maling ayam tentu boleh saja hukuman ringan dijatuhkan kepada mereka. Tetapi jika sudah menyangkut hajat negara dan bangsa, tentu kejahatan korupsi itu tergolong tindak pidana luar biasa yang semestinya diganjar sanksi luar biasa pula.



 



Yang sangat dikhawatirkan adalah adanya tuduhan jika para hakim yang agung menggunakan kekuasaan yan tinggi itu untuk menumpuk kekayaan dari kasus yang ditangani. Namun ini hanya andai-andai, tanpa bermaksud menuduh. Tetapi kalau saja benar terjadi itu sudah keterlaluan sekali, benar-benar mencoreng peradilan dan keadilan.



JIka sudah begini berarti sudah terjadi "kiamat suhgro" di medan pengadilan. Kejujuran yang diharapkan sirna dan para penegak keadilan akan mudah di sogok tinggal mengatur derajat hukumannya.



 



Kita tahu, para koruptor itu tidak bodoh, dan sulit dibodohi. Kewenangan dan kekuasaan hakim sebenarnya sangat ampuh untuk membuat mereka jera. Karenanya semangat perlawanan kepada koruptor kelas kakap itu perlu ekstra kekuatan keberanian yang luar biasa.



 



Ayolah para hakim dan jaksa untuk "berjihad" melawan korupsi di negari ini. Dengan semangat perlawanan yang luar biasa maka perlu juga kekuatan yang besar. Apalagi tantangan yang dihadapi tidak kecil. Misalnya aparat penegak hukum masih kecil gainya, akan rentan sekali terhadap godaan "syeten yang terkutuk" utamanya pada kasus-kasus korupsi. Maka tentu saja para penegak hukum harus ditinggikan gajinya. Karena Para koruptor itu dipastikan akan terus melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. 



 




Ahmad Irfan Maulana, SH. Almuni Univ. Islam Malang  (UNISMA) th. 2005 kini aktif mengajar di Asrama dan sekolah di lingkungan Pondok Buntet Pesantren.



 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama