perang
Oleh: Agus Iswanto
Maaf, bukannya saya ingin mengkampanyekan salah satu motto sebuah
Parpol berbasis warga Nahdliyyin. Bukan juga mau membela bahwa Gus Dur,
sebagai sesepuh Parpol itu selalu benar. Namun, saya juga tidak akan
membela Sang Habib, yang menjadi tidak lagi bisa dikatakan “Habib,”
karena seharusnya Habib itu orangnya selalu membawakan cinta kasih.

Ya,
lihat saja dari namanya, bagaimana mungkin dikatakan "Habib," kalau
tidak sebagai "seorang pecinta" yang seharusnya penuh kasih sayang dan
kedamaian. Pun juga saya bukan mau mengatakan bahwa FPI itu benar, atau
kelompok-kelompok seperti, katakan IPNU, Anshor, Banser atau yang
lainnya juga benar. Lalu apa?





Saya
hanya mau mengatakan bahwa kita, orang-orang Muslim itu sebenarnya
masih mewarisi tradisi barbar atau orang-orang primitif Arab (Badui),
yang memang hidup berkelompok dan membela untuk kelompok. Mengapa saya
katakan begitu? Kita bisa lihat, sampai hari ini, negeri-negeri Arab
tidak pernah absen dari yang namanya konflik. Konflik akan terus
terjadi selama mereka masih dalam tataran ideologi massa komunal.
Bagaimana kita bisa lihat, konflik di Irak, Iran, Mesir, Lebanon, atau
bahkan Saudi Arabia (yang menjadi hegemoni dinasti Bani Sa’ud).


Kalau
jauh-jauh ke Arab, kita bisa ambil contoh bangsa kita sendiri yang
dekat. Sebelum Indonesia terbentuk, yang kira-kira baru sekitar
setengah abad lebih, atau boleh dikatakan 100 tahun jika menghitung
mulainya kesadaran akan nasib ketertindasan yang sama oleh Kolonial.




Kepulauan Nusantara adalah kepulauan yang dihuni oleh berbeda-beda suku
bangsa. Dan masing-masing suku itu mempunyai, dalam sejarahnya,
memunculkan berbagai dinasti atau kerajaan. Di Jawa, mulai dari Mataram
Kuno, Singasari, Kahuripan, Jenggala, Kediri, Majapahit, Pajajaran,
Demak, dan Mataram Islam. Di luar Jawa, kita bisa menyebut Sriwijaya di
Palembang Sumatra, atau Kutai Kartanegara di Kalimantan, Samudra Pasai
di Aceh, dan masih banyak lagi yang lainnya, terhitung sampai
kerajaan-kerajaan kecil dimasing-masing wilayah, misalnya Cirebon dan
Banten.


Kita bisa lihat, mulai dari Majapahit, mereka mengklaim
mempersatukan Nusantara dengan cara memerangi wilayah-wilayah kekuasaan
yang lain. Padahal misi utamanya adalah ya untuk menaklukan kekuasaan,
sehingga kerajaan Majapahit, yang membawahi rakyat Jawa atau suku
bangsa Jawa menjadi lebih berkuasa. Kalau sudah berkuasa, maka akan
tambah upeti atau kekayaan negaranya.




Misalnya lagi, kerajaan Mataram
Islam menaklukan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah pesisir utara pulau
Jawa, mulai dari Surabaya hingga Batavia dan Banten, padahal yang
ditaklukan sama-sama kerajaan Islam. Mengapa sama-sama Islamnya mau
saling perang? Tafsir saya, jawaban orang Mataraman biasanya,
orang-orang Islam pesisir itu sesungguhnya bukan orang Jawa sebenarnya,
jadi tidak bisa berupaya menjaga tradisi leluhur orang-orang Jawa,
sehingga nantinya kalau orang Jawa menjadi “sangat Islam,” maka tradisi
leluhur Jawa akan ditinggalkan.




Sebaliknya, orang-orang Islam-Jawa
pesisir menganggap orang-orang Islam-Jawa Mataraman tidak “pati Islam”
(tidak Islam betulan). Itu tafsir permukaan saja, tafsir dibalik
permukaan itu sebetulnya sederhana saja, tapi sesungguhnya naif, yakni
demi kekuasaan dan kedudukan serta kekayaan. Mengenai hal ini, bisa
ditabayun dalam buku-buku sejarah.


Tapi sebetulnya, saya juga
lebih setuju dengan alasan yang kedua. Dulu zaman Nabi, memang betulan
ada perang demi dakwah Islam, tapi itukan juga terpaksa. Asumsi saya
itu dilakukan karena semangat untuk menghancurkan kebejatan moral
(dalam arti kemanusiaan universal), bukan pertama-pertama atas nama
agama Islam. Buktinya, Nabi Muhammad masih membiarkan raja Habsyi untuk
tetap Kristen, tanpa memaksa ia untuk masuk Islam. Bahwa kemudian masuk
Islam, itu karena kesadaran dirinya akibat dialog-dialog yang damai dan
santun.



Dengan begitu, saya sesungguhnya tidak heran dengan
kekerasan- kekerasan orang-orang Muslim, baik itu oleh FPI atau
kelompok-kelompok Islam yang lain, selagi mereka masih mewarisi tradisi
barbar, baik yang dibawa oleh orang-orang Arab, atau orang asli
Nusantara sendiri.


Yang saya heran, kita, dan para pemimpin
Islam di negeri ini masih terkadang ikut-ikutan tradisi barbar itu.
Ketika sekelompok melakukan kekerasan, maka dia sebagai pemimpin
kelompok itu membelanya, dan sebaliknya, jika sekelompok Islam yang
lainnya juga menyerang balik, malah memilih diam seakan sepakat dengan
aksi balasan kekerasan itu. Ini mirip dengan film silat yang bercerita
pertarungan dua kelompok perguruan silat. Seru bukan? Itu kalau dalam
film, namun, kalau sungguhan, apa kata dunia?

Agus Iswanto, Alumni Buntet Pesantren, tengah menyelesaikan pendidikan S2 di Yogyakarta.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama