Oleh. Agus Iswanto
Kalau dicermati, sampai sejauh ini, tampaknya para pemimpin, ulama, cendikiawan, aktivis gerakan Islam kita di Indonesia sesungguhnya hanya mengenal konsep-konsep yang normatif mengenai masyarakat. Kendatipun konsepsi tetap penting sebagai basis sebuah pergerakan. Kaidah-kaidah atau ajaran-ajaran kesatuan normatif seperti umat, jama'ah, dan sebagainya lebih mewarnai sistem pengetahuan mereka.
Mereka tidak pernah mengetahui kenyataan-kenyataan empiris mengenai
adanya stratifikasi, diferensiasi, maupun polarisasi sosial yang
terjadi di dalam masyarkat. Lebih parahnya lagi, realitas masyarkat
dianggap sebagai given, sebagai sunnatullah. Bagaimana bisa kemiskinan
struktural, ketidakadilan struktural, penindasan struktural dianggap
sebagai sesuatu yang turun dari langit, sebagai taqdir yang tidak bisa
dibantah atau dirombak lagi.
Kalau memang benar agama seperti itu, maka benar
kata Marx "agama adalah candu" buat masyarkatnya, agama hanya sebagai
legitimasi kekuasaan dan kedudukan elit untuk memeras kaum papa, para
buruh, petani, para TKI, atau para pemulung sampah di sudut-sudut kota,
atau jangan-jangan para sarjana pengangguran yang punya cita-cita besar
bagi sebuah perubahan.
Di dalam kesadaran teologis
semacam ini, mereka lalu kehilangan orientasi objektif untuk menerapkan
strategi gerakan religio-sosialnya. Oleh karena itu, mereka misalnya
akan kebingungannya untuk melakukan pemihakan ketika dalam kenyataan
empiris tertentu terjadi polarisasi yang tajam antara kelompok sosial
yang satu dengan kelompok sosial yang lain.
Dalam masyarakat kolonial, ketika terjadi polarisasi antara kelas
penjajah dengan kelas terjajah, mereka memang mudah melakukan pemihakan
karena dapat mengidentifikasi kaum penjajah sebagai kaum kafir. Tentu
ini adalah identifikasi yang normatif. Tetapi yang menjadi persoalaan
kini adalah siapakah kaum kafir di zaman konglomerat ini? Siapakah
kafir di era korupsi yang merambat bagai jamur dimusim hujan? Siapa
pula yang dianggap kafir ketika tanah-tanah rakyat digusur dengan tanpa
tendeng aling-aling? Siapa pula kafir itu ketika kini
korporasi-korporasi transnasional yang menghisap darah rakyat lebih
dimenangkan ketimbang penjual kaki lima yang berjuang menyambung nasib
mereka di pinggir-pinggir jalan? Siapa yang disebut kafir ketika
kebijakan tidak memihak pada kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat?
Siapakah yang harus dibela ketika ketidakadilan struktural tampak
begitu nyata?
Benar bahwa bagi umat Islam yang memegangi al-Qur'an, meyakini bahwa di
dalamnya terdapat gagasan yang otentik bahwa mereka harus membela kaum
yang lemah dan kelas yang tertindas, tetapi ini tentu harus
didefinisikan secara sosial, politik dan ekonomi, bahkan juga kultural.
Namun, karena para ulama kita, para aktivis sosial kita yang cenderung
kurang memahami realitas sosial, maka mereka secara empiris belum
tuntas mendefinisikan siapa yang lemah dan siapa yang tertindas. Mereka
misalnya belum pernah menganggap buruh-buruh industri yang muncul
secara begitu massif akhir-akhir ini sebagai golongan yang harus
dibela.
Mereka juga sering juga tidak pernah melihat proses-proses penindasan
yang bersifat struktural terhadap para petani di pedesaan. padahal
fenomena-fenomena seperti itu jelas akan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sosial, mungkin bahkan akan menjadi faktor yang dapat
menimbulkan revolusi sosial. Mereka lebih peka terhadap isu-isu yang
laku di pasar, klaim-klaim kebenaran diusung dalam ajang-ajang
perdebatan di seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan dalih
kebebasan. Di sisi yang lain para aktivis gerakan Islam yang menganggap
paling murni Islamnya mengusung gerakan Islam Syari'at tanpa jelas
siapa yang mereka bela, klaim Muslim Kaafah dan Kafir menjadi senjata
ampuh untuk memulai genderang perang bagi kelompok yang tidak sepaham
dengan golongan mereka.
Apa yang dihasilkan dari ketidakpekaan sosial mereka itu adalah agama
yang mereka dakwahkan dan khutbahkan lalu cenderung menjadi sesuatu
yang tidak fungsional. Agama hanya menjadi atribut kesalehan pribadi,
dan tidak pernah menjadi kekuatan yang dapat memotivasi terjadinya
perubahan sosial untuk memperbaiki situasi objektif umatnya. Dari sini,
maka lalu agama menjadi isolasi struktural yang tidak lain nama dan
bentuk lain dari sekularisasi. Ini bukan sesuatu yang hal yang mustahil
akan menyebakan munculnya sekularisasi subjektif yang menyebabkan agama
tidak lagi mempunyai kredibilitas untuk terlibat dalam urusan-urusan
duniawi.
Berangkat dari sini perlu pemikiran bagaimana membuat Islam agar
fungsional sebagai sebuah gerakan sosial, sekaligus agar kita dapat
secara efektif membela mereka yang tergusur dari proses struktural
akibat perubahan sosial dalam kurun akhir di negeri ini. Tentu saja
upaya-upaya ini bukan sekadar upaya konseptualisasi normatif, tanpa
perspektif yang empiris terhadap rakyat atau umat, apalagi tanpa
aksi-aksi praksis yang membumi. Bukankah al-Qur'an diturunkan bukan
dalam keadaan kehidupan yang kosong, abstrak? Kendatipun al-Qur'an
mengandung nilai-nilai absolut, tetapi al-Qur'an tidak dapat dilepaskan
dalam ruang sosial-budaya ketika Nabi Muhammad menerimanya lalu
menyampaikankan pada kaum Muslim.
Agus Iswanto, Alumni Buntet Pesantren Cirebon, aktif menulis dan kini tengah menyelesaikan S2 di Yogyakarta.
Posting Komentar