Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, Ramadhan punya kesan tersendiri. Jauh-jauh hari, semua bersiap-siap menyambut bulan yang mulia dan dimuliakan ini. Hingga kemudian Ramadhan tiba dan bergulir, masyarakat semakin asyik bersinggungan dengan ibadah setahun sekali ini. Terlepas dari reaksi berlebihan sebagian masyarakat dengan ‘menimbun’ bahan makanan, berbuka puasa di restoran-restoran mahal, atau berjubel di mal-mal untuk memborong pakaian, banyak juga tradisi baik di kalangan masyarakat yang masih utuh dan terjaga. Tradisi yang sudah turun-temurun sejak dulu. Salah satunya adalah tradisi Maleman Tanggal Selikure.
Tradisi Maleman Tanggal Selikure (selanjutnya disebut MTS) ini terdapat di sebuah perkampungan tempat beradanya pesantren tua di Kabupaten Cirebon, Pesantren Buntet. Kebetulan saya sendiri lahir dan besar di daerah tersebut. Sejak saya kecil hingga sekarang, tradisi MTS ini takpernah tidak diadakan. Dari tahun ke tahun selalu saja ada. Meskipun mungkin kesan yang didapat sekarang agak berbeda, namun esensinya tetap sama. Tradisi MTS ini dilakukan setiap pada malam ke-21 pada Bulan Ramadhan. Anak-anak dengan berbekal ‘oncor’ (Bahasa Indonesia: obor), berkeliling kampung sambil meneriakkan nyanyian pendek yang hanya beberapa baris:
Maleman tanggal selikure
Maleman tanggal selikure
Maleman tanggal selikure.. e.. e..
Ya, anak-anak. Belum pernah saya lihat ada orang dewasa yang ikut keliling kampung dengan oncor di tangan. Namun, bukan berarti orang dewasa tak berperan. Saat saya masih kecil, saya sering meminta bapak saya untuk membuatkan oncor untuk saya dan kedua saudara laki-laki saya. Bapak selalu saja memenuhi permintaan saya. Tiga buah oncor dari batang pohon bambu selalu tersedia untuk kami menjelang malam ke-21 Bulan Ramadhan. Waktu itu, kampung kami tak seterang sekarang. Aliran listrik yang ada pun seringkali terputus. Gerombolan anak-anak dengan oncor menyala terang adalah pemandangan yang menakjubkan.
Kini, hampir tidak ada yang menggunakan oncor untuk berkeliling kampung menjalankan tradisi MTS. Bukan batang pohon bambu yang jadi masalah. Minyak tanah yang biasa dipakai sebagai bahan bakar kini tak lagi dijual di warung-warung seperti dulu. Sebagai gantinya, anak-anak sekarang membawa ‘damar kurung’ berkeliling kampung. Damar kurung berbentuk seperti lampion dengan rangka bilah bambu dan hiasan kertas warna-warni. Di dalamnya terdapat batang lilin untuk dinyalakan. Lampion-lampion ini lalu digantungkan pada kerangka bambu dengan gagang panjang sebagai pegangan. Sama seperti saat saya masih kecil, gerombolan anak-anak berkeliling dengan damar kurung meneriakkan nyanyian pendek khas tradisi MTS. Agak berbeda dengan dulu, jarang ada orang dewasa yang bisa membuat damar kurung. Sehingga akhirnya anak-anak harus meminta orangtua mereka untuk membelikan mereka damar kurung dari pengrajin damar kurung. Sampai di sini, orang dewasa masih terlihat ikut berperan menjaga tradisi MTS meski dengan cara berbeda. Bahkan, orangtua yang tidak mampu membelikan damar kurung akan sukarela membelikan sebatang lilin untuk ditancapkan begitu saja di sela ranting bambu kecil yang dibelah. Atau mungkin untuk sekadar membiarkan anak-anak mereka membawa barang dari dalam rumah untuk dijadikan tetabuhan.
Jujur, sampai saat ini saya tidak pernah tahu filosofi tradisi MTS ini. Namun, dari apa yang saya dengar sejak kecil, tradisi MTS ini menyambut malam lailatul qadr yang biasanya muncul pada 10 malam terakhir Bulan Ramadhan yang diawali pada malam ke-21 Bulan Ramadhan. Dari waktu ke waktu, alasan perayaan tradisi MTS ini sepertinya tidak terlalu penting bagi siapapun. Saya sendiri, sebagai orang dewasa saat ini, hanya ingin tradisi ini tetap ada hingga nanti anak-cucu saya. Hal ini juga yang kemudian membuat saya bertanya: Apakah tradisi MTS ini tradisi anak-anak yang turun-temurun atau tradisi orang dewasa yang didelegasikan kepada anak-anak untuk diteruskan setiap tahun?
Pertanyaan tadi tentu saja bukan pertanyaan mudah. Jika saya seorang antropolog, mungkin saya sudah meneliti tradisi ini untuk dijadikan bahan penelitian saya. Ya, tradisi semacam ini sungguh sesuatu yang hebat. Di satu sisi, penggerak aktif tradisi ini adalah anak-anak. Di sisi lain, orang dewasa yang pernah mengalami masa kanak-kanak akan mendorong anak-anak sekarang untuk meneruskan tradisi yang pernah mereka jalani semasa kanak-kanak. Pada titik ini, jika kita tidak tahu sejarah lahirnya tradisi ini, kita akan berputar-putar pada pertanyaan apakah tradisi ini benar-benar berawal dari inisiatif anak-anak atau hasil pemikiran orang dewasa yang diserahkan pada anak-anak?
Mughits Rifai
*Peminat tradisi Maleman Tanggal Selikure
Tradisi Maleman Tanggal Selikure (selanjutnya disebut MTS) ini terdapat di sebuah perkampungan tempat beradanya pesantren tua di Kabupaten Cirebon, Pesantren Buntet. Kebetulan saya sendiri lahir dan besar di daerah tersebut. Sejak saya kecil hingga sekarang, tradisi MTS ini takpernah tidak diadakan. Dari tahun ke tahun selalu saja ada. Meskipun mungkin kesan yang didapat sekarang agak berbeda, namun esensinya tetap sama. Tradisi MTS ini dilakukan setiap pada malam ke-21 pada Bulan Ramadhan. Anak-anak dengan berbekal ‘oncor’ (Bahasa Indonesia: obor), berkeliling kampung sambil meneriakkan nyanyian pendek yang hanya beberapa baris:
Maleman tanggal selikure
Maleman tanggal selikure
Maleman tanggal selikure.. e.. e..
Ya, anak-anak. Belum pernah saya lihat ada orang dewasa yang ikut keliling kampung dengan oncor di tangan. Namun, bukan berarti orang dewasa tak berperan. Saat saya masih kecil, saya sering meminta bapak saya untuk membuatkan oncor untuk saya dan kedua saudara laki-laki saya. Bapak selalu saja memenuhi permintaan saya. Tiga buah oncor dari batang pohon bambu selalu tersedia untuk kami menjelang malam ke-21 Bulan Ramadhan. Waktu itu, kampung kami tak seterang sekarang. Aliran listrik yang ada pun seringkali terputus. Gerombolan anak-anak dengan oncor menyala terang adalah pemandangan yang menakjubkan.
Kini, hampir tidak ada yang menggunakan oncor untuk berkeliling kampung menjalankan tradisi MTS. Bukan batang pohon bambu yang jadi masalah. Minyak tanah yang biasa dipakai sebagai bahan bakar kini tak lagi dijual di warung-warung seperti dulu. Sebagai gantinya, anak-anak sekarang membawa ‘damar kurung’ berkeliling kampung. Damar kurung berbentuk seperti lampion dengan rangka bilah bambu dan hiasan kertas warna-warni. Di dalamnya terdapat batang lilin untuk dinyalakan. Lampion-lampion ini lalu digantungkan pada kerangka bambu dengan gagang panjang sebagai pegangan. Sama seperti saat saya masih kecil, gerombolan anak-anak berkeliling dengan damar kurung meneriakkan nyanyian pendek khas tradisi MTS. Agak berbeda dengan dulu, jarang ada orang dewasa yang bisa membuat damar kurung. Sehingga akhirnya anak-anak harus meminta orangtua mereka untuk membelikan mereka damar kurung dari pengrajin damar kurung. Sampai di sini, orang dewasa masih terlihat ikut berperan menjaga tradisi MTS meski dengan cara berbeda. Bahkan, orangtua yang tidak mampu membelikan damar kurung akan sukarela membelikan sebatang lilin untuk ditancapkan begitu saja di sela ranting bambu kecil yang dibelah. Atau mungkin untuk sekadar membiarkan anak-anak mereka membawa barang dari dalam rumah untuk dijadikan tetabuhan.
Jujur, sampai saat ini saya tidak pernah tahu filosofi tradisi MTS ini. Namun, dari apa yang saya dengar sejak kecil, tradisi MTS ini menyambut malam lailatul qadr yang biasanya muncul pada 10 malam terakhir Bulan Ramadhan yang diawali pada malam ke-21 Bulan Ramadhan. Dari waktu ke waktu, alasan perayaan tradisi MTS ini sepertinya tidak terlalu penting bagi siapapun. Saya sendiri, sebagai orang dewasa saat ini, hanya ingin tradisi ini tetap ada hingga nanti anak-cucu saya. Hal ini juga yang kemudian membuat saya bertanya: Apakah tradisi MTS ini tradisi anak-anak yang turun-temurun atau tradisi orang dewasa yang didelegasikan kepada anak-anak untuk diteruskan setiap tahun?
Pertanyaan tadi tentu saja bukan pertanyaan mudah. Jika saya seorang antropolog, mungkin saya sudah meneliti tradisi ini untuk dijadikan bahan penelitian saya. Ya, tradisi semacam ini sungguh sesuatu yang hebat. Di satu sisi, penggerak aktif tradisi ini adalah anak-anak. Di sisi lain, orang dewasa yang pernah mengalami masa kanak-kanak akan mendorong anak-anak sekarang untuk meneruskan tradisi yang pernah mereka jalani semasa kanak-kanak. Pada titik ini, jika kita tidak tahu sejarah lahirnya tradisi ini, kita akan berputar-putar pada pertanyaan apakah tradisi ini benar-benar berawal dari inisiatif anak-anak atau hasil pemikiran orang dewasa yang diserahkan pada anak-anak?
Mughits Rifai
*Peminat tradisi Maleman Tanggal Selikure
Posting Komentar