![]() |
Dr. K.H. Muhammad Abbas Fuad Hasyim, M.A., saat tausyiah Nuzulul Quran di Jakarta Islamic Center, 1434 H. |
“Ramadan sudah berlalu. Amal saya pada bulan
itu tidak maksimal.”
“Kenapa saya sering tidak taraweh, padahal
taraweh itu hanya pada Ramadan saja?”
“Tadarus saya gak sampai khatam”
“Saya gak memaksimalkan pengajian
pasaran dengan mengikuti pengajian di kiai-kiai, malah sibuk ngabuburit di LPI”
Pernyataan dan pertanyaan yang merujuk pada
penyesalan ini seringkali muncul dalam benak diri kita seusai Ramadan itu
pergi. Penyesalan memang selalu datang di belakang. Penyesalan hanya
meninggalkan sesak dalam dada. Penyesalan tidak akan berarti tanpa perbaikan diri.
Pendidikan Ketakwaan*
يا ايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من
قبلكم لعلكم تتقون (البقرة : ١٨٣)
“Wahai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian supaya kalian bertakwa”, begitulah firman Allah Swt. dalam surat
Al-Baqarah ayat 183.
Fulan selalu berprestasi di masa sekolahnya.
Di setiap pembagian hasil belajar, ia selalu mendapat peringkat pertama. Dia
juga meraih prestasi gemilang dengan memperoleh peringkat satu, dua, ataupun
tiga dalam setiap kali ajang perlombaan. Lantas, prestasi itu tidak lagi
terlihat saat ia telah keluar dari sekolahnya. Tentu ini tidak sebanding dan
bahkan hal ini merupakan suatu kerugian. Hal yang paling penting dari sekolah
adalah pembuktian diri setelah keluar dari sekolah tersebut bukan saja pada
masa sekolahnya.
Ramadan pada intinya adalah proses pendidikan
ketakwaan. Kita disunnahkan salat Tarawih, tadarus, dan sebagainya adalah untuk
bertakwa. Kita ikut pengajian pasaran di pesantren itu juga tujuannya untuk
bertakwa. Kita diwajibkan untuk tidak makan dan minum serta menahan syahwat
sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari itu pun untuk supaya kita bertakwa.
Kalau saja semua kegiatan yang dilakukan itu tidak membentuk kita menjadi orang
yang bertakwa, maka puasa kita bisa dianggap gagal karena tidak mencapai tujuan
yang semestinya.
Seperti cerita di atas, kita berhasil mengkhatamkan Quran dua
bahkan tiga kali. Kita juga selalu melaksanakan salat tarawih tanpa ada yang
bolong. Salat malam tak pernah ditinggal. Puasa kita pun tidak ada yang batal. Kita
ikut ngaji pasaran sepanjang hari. Tetapi setelah bulan Ramadan kegiatan
tersebut tidak berbekas apa-apa, artinya tidak dilanjutkan, tidak diteruskan,
hal ini seakan percuma saja. Kenapa? Mari kita selami ayat al-Quran di atas.
Dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kalimat
fiil, tattaqun. Kalimat fiil menunjukkan bahwa pekerjaan itu benar-benar
dilakukan oleh pelakunya. Artinya, kalimat fiil menuntut keaktifan pelaku.
Selain itu, tattaqun tergolong fiil mudari. Fiil mudari memiliki dua
zaman, yakni zaman hal (saat ini) dan istiqbal (akan datang). Namun, dalam ayat
tersebut, tattaqun jatuh setelah laalla. Imam Ibnu Hisyam dalam
kitabnya, Mughni Al-Labib menjelaskan bahwa laalla digunakan
untuk zaman istiqbal. Di samping itu, fiil mudari juga memiliki fungsi lil
istimror, terus menerus (kontinyuitas). Bila kita kembali terjemahkan laallakum
tattaqun akan berarti supaya kalian nanti bertakwa secara aktif dan
terus menerus.
Takwa berakar dari kata waqa. Dalam
Kamus Al-Munawwir, waqa berarti menjaga, melindungi, dan memperbaiki.
Dalam hal ini, takwa berarti menjaga dan melindungi diri dari perbuatan maksiat
atau dapat mengalahkan syahwat seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Jalalain.
Bila kita kembali terjemahkan laallakum tattaqun akan berarti, supaya
kalian nanti dapat menjaga dan melindungi (mengalahkan syahwat) secara aktif
dan terus menerus.
Melihat tafsiran di atas, kesuksesan kita
dalam menjalani Ramadan bukan saja dilihat dari saat bulan Ramadan saja, tetapi
justru lebih ditekankan pada bagaimana kita dapat menjaga diri dari maksiat seusai
Ramadan itu, melanjutkan pelaksanaan ibadah-ibadah bulan Ramadan pada bulan-bulan berikutnya. Ibarat Madrasah, Ramadan adalah masa pendidikan yang isinya
tentang ketakwaan dan pembuktian diri bahwa telah lulus dari pendidikan ketakwaan
tersebut adalah saat telah tidak lagi Ramadan, yakni pada 11 bulan selanjutnya. Pada
bulan-bulan itulah kita mengamalkan pendidikan yang telah kita peroleh selama
Ramadan.
*Disarikan dari tausyiah Dr. K.H. Muhammad
Abbas Fuad Hasyim, M.A. pada Nuzulul Quran di Jakarta Islamic Center, 1434 H.
Buntet Pesantren, 7 Syawal 1436 H
Muhammad Syakir Niamillah Fiza
Anggota Forum
Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC) Jakarta Raya
Posting Komentar