KH Ahmad Manshur (tengah) bersama santri-santrinya saat praktik Rashdul Kiblat di Masjid Agung Buntet Pesantren (15/07/2016) |
Sepekan sudah sosok tegas dan humoris itu berpulang ke haribanNya.
Masih terngiang jelas laku lampahnya dalam menjalani kehidupan yang fana ini.
Setidaknya, ada sembilan sikap yang tampak jelas harus kita teladani dari
beliau.
Pertama, istiqomahnya dalam
membangun masjid dengan jalan jamaah. Ndalem beliau yang terletak di
ujung barat Pondok Buntet Pesantren tak menyurutkannya datang berjamaah. Beliau
bahkan dipercaya menjadi imam rawatib. Sampai pun dalam keadaan yang sangat
payah, beliau masih mengusahakan diri untuk hadir dalam barisan saf jamaah.
Saat itu, beliau tak seperti biasanya yang datang ke masjid dengan
berjalan kaki. Saat itu, beliau harus membonceng motor demi berjamaah di
masjid. Ini beliau lakukan karena keadannya tak lagi memungkinkan untuk
berjalan jauh. Padahal, saya seringkali menyaksikan beliau berjalan-jalan
sebelum dan seusai salat Subuh.
Saat beliau terbaring di rumah sakit, pun beliau meminta di
hadapkan ke arah kiblat. Bahkan, beliau masih meminta istrinya untuk menjadi
makmumnya kala beliau salat.
Kedua, kecintaan dan
khidmatnya terhadap ilmu tidak diragukan semua orang. Sampai akhir hayatnya,
beliau masih tercatat sebagai salah satu pengajar di Madrasah Aliyah Nahdlatul
Ulama (MA NU) Putra Buntet Pesantren. Baru pada tahun lalu, beliau menarik diri
dari MANU Putri Buntet Pesantren. Di rumahnya, beliau juga masih mengajar
santri-santri yang ingin memperdalam berbagai ilmu agama.
Beliau lebih dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu
fiqh dan ilmu falak. Fan terakhir itu menjadi fokus garapan beliau. Hingga tindaknya,
beliau selalu menitipkan Komunitas Falak Buntet Pesantren yang telah beliau
dirikan pada tanggal 28 Januari 2014 saat penutupan Pelatihan Ilmu Falak
kerjasama MA NU Putra dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Falak Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang (saat ini UIN Walisongo).
Sejak tahun 2007 hingga angkatan terakhir tahun 2016, beliau
mengantarkan sendiri santri-santri yang secara khusus belajar ilmu falak ke pesantren
Daarun Najaah asuhan Dr KH Ahmad Izzuddin, Ketua Asosiasi Dosen Falak
Indonesia. Kiai Mamad menitipkan langsung santri-santrinya pada Kiai Izzuddin.
Di usia senjanya, masih ada satu cita-cita beliau yang sampai saat
ini belum tercapai sebagai seorang ahli dalam bidang ilmu falak. Beliau ingin
berkeliling ke pesantren-pesantren Jawa Barat untuk mendirikan
komunitas-komunitas falak baru.
Ketiga, ketegasannya
dalam bersikap dan memegang prinsip. Seringkali banyak orang dibuat tak kerasan
dengan sikapnya yang tegas. KH Wawan Arwani dalam pidatonya untuk mengambil
persaksian dari seluruh masyarakat di Masjid Agung Buntet Pesantren
menyampaikan bahwa sikapnya Kiai Mamad adalah demi tegaknya syariah.
Bersambung...
(Syakirnf)
Posting Komentar