![]() |
Mas Dede saat di jalanan Kota Koln, Jerman |
Butuh waktu 19 jam untuk berpuasa di Jerman. Pukul 10 malam muslim
di sana baru bisa menikmati buka setelah terakhir menikmati sahur pada pukul
tiga pagi. Tokoh muda Buntet Pesantren Muhammad Abdullah Syukri yang sempat
menempuh studi di sana menyatakan hal itu sebagai tantangan.
“Menantang. Tapi bisa kok. Yang penting niat,” katanya diiringi
tawa kepada Media Buntet Pesantren pada Ahad (20/5).
Pada awal-awal ia memang merasa lemas. Tapi setelahnya, biasa.
Bahkan, kata pria yang akrab disapa Mas Dede oleh masyarakat Buntet Pesantren
itu, puasa seperti tak berasa setelah ia sudah kembali tinggal di Indonesia lagi
saat ini.
“Malah pas pulang ke Indonesia tidak terasa puasa,” kata alumnus
Universitas Duisber Essen itu.
Mas Dede menuturkan bahwa masyarakat asli Jerman heran ada orang
bisa menahan lapar dan dahaga seharian penuh. “Aneh, katanya, kok bisa gak
makan seharian full,” kata pria yang pernah tinggal di Pondok Pesantren
Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, itu.
Pengurus PB PMII itu menceritakan bahwa tarawih di masjid Jerman tak
berbeda dengan yang ia temui di Indonesia, yakni 23 rakaat dengan witir. Bangsa
Turki dan Arab yang banyak membangun masjid di sana, katanya.
Masjid di sana, cerita Mas Dede, setiap hari memberikan takjil
untuk jamaahnya. Namun, jamaah tidak setiap hari mendapatkan makan. “Di masjid
hari-hari tertentu ada bukber. Tapi tidak gak setiap hari,” pungkasnya.
Syakir NF
Posting Komentar