![]() |
| Sumber: NU Online |
Subchi A. Fikri*
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"Adat (kebiasaan yang berlaku di masyarakat) itu bisa
dijadikan sandaran hukum”. Begitulah bunyi salah satu kaidah fiqih, asalkan kebiasaan
tersebut tidak bertentangan dengan dalil/nash Al-Qur'an dan Hadits. Berdasarkan
kaidah tersebut, maka kosakata dan tuduhan bid'ah terhadap tradisi-tradisi di
masyarakat yang bernilai religius seharusnya tak pantas muncul.
Layaknya ketupat atau kupat di Tanah Jawa yang tidak lepas dari
perayaan Idul Fitri. Dalam perayaan Idul Fitri, tentunya satu hal yang hampir
tidak pernah dilewatkan dalam sajian hidangan adalah ketupat. Lalu, apakah
ketupat ini hanya sekedar pelengkap hari raya saja ataukah ada sesuatu makna di
dalamnya?
Sejarah Ketupat
Adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan
pada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu Bakda
Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah lebaran. Pada
hari yang disebut BAKDA KUPAT tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap
rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah selesai dianyam, kupat diisi dengan beras kemudian
dimasak. Ketupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang
kebersamaan.
Arti Kata Kupat
Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan
khas hari raya lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam
bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat
artinya mengakui kesalahan, sedangkan laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan
lebaran.
Adapun empat tindakan tersebut adalah:
1. Lebaran, bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa.
Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.
2. Luberan, meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah
untuk kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain
menjadi ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian
kepada sesama manusia.
3. Leburan, habis dan melebur. Maksudnya pada momen lebaran,
dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat Islam dituntut
untuk saling memaafkan satu sama lain.
4. Laburan, berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah
zat yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya
supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Selain itu, kupat juga memiliki makna filosofis antara lain:
1. Mencerminkan beragam kesalahan manusia. Hal ini bisa terlihat
dari rumitnya bungkusan ketupat ini.
2. Kesucian hati. Setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat
nasi putih dan hal ini mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah
memohon ampunan dari segala kesalahan.
3. Mencerminkan kesempurnaan. Bentuk ketupat begitu sempurna
dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan lamanya
berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
4. Karena ketupat biasanya dihidangkan dengan lauk yang bersantan,
maka dalam pantun Jawa pun ada yang bilang KUPA SANTEN, Kulo Lepat Nyuwun
Ngapunten (Saya Salah Mohon Maaf).
Betapa besar peran para Wali dalam memperkenalkan agama Islam
dengan menumbuhkembangkan tradisi budaya sekitar, seperti tradisi lebaran dan
hidangan ketupat yang telah menjadi tradisi dan budaya hingga saat ini.
Tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah
simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat
(kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam
di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat.
Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu mengantarkan kesakralan
ketupat menjadi tradisi Islami ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada
di saat umat Islam merayakan Idul Fitri sebagai momen yang tepat untuk saling
meminta maaf dan mengakui kesalahan serta momen untuk saling berbagi dengan sesama.
Wallahu a'lam bishshowaab
(Dari berbagai sumber)
*Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren

Posting Komentar