Kita sering melihat dan membaca berbagai kejadian tidak enak yang dialamai para sufi. Mereka mengalami pembunuhan karakter, seperti hukuman mati, dihujat, dianggap sesat, mulhid, pelaku bid’ah, pelaku khurafat, pembohong besar, sampai pengklaiman musyrik dan kafir.
Biasanya pengklaiman-pengklaiman yang dialamatkan kepada para sufi ini dicetuskan oleh sekalangan ahli hadits dan fuqaha yang bukan sufi. Mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh para sufi sebenarnya mengandung kedustaaan dan kesesatan. Kita bisa melihat dari berbagai buku yang menghujat pemikiran tasawuf dan kaum sufi seperti, buku-buku Darah hitam tasawuf, Sejarah hitam Tasawuf, Kontroversi dan kesesatan pemikiran Ibnu Arabi, Kesesatan Alam Pikiran Sufisme, dan yang terakhir Amalan-amalan Musyrik Tahlilan, Tarekat, membaca Barzanji dan Maulidan karya Hartono Ahmad Jaiz.
Kita juga pernah membaca sejarah meninggalnya sufi muda Ainul Qudlat al-Hamadzani yang dihukum mati karena dituduh telah menyodorkan hadits-hadits palsu. Begitu pula dengan kematian Syuhrawardi al-Maqtul yang dituduh dengan tuduhan serupa. Atau pula nasib tragis al-Hallaj.
Dari beberapa pertikaian antara fuqaha dan ahlul hadits dengan para sufi dapat diambil kesimpulan bahwa pertikaian diantara mereka dikarenakan kaum sufi dituduh sering menggunakan hadits lemah dan bahkan palsu. Hal ini yang menyebabkan kalangan ahli hadits dan fuqaha menganggap kaum sufi sebagai kaum pembual yang menghalalkan segala cara untuk mencari simpati dan membenarkan pengalaman batinnya. Ini dibuktikan oleh saya sendiri ketika menghadiri perkuliahan Dr. Luhfi Fathullah seorang doktor hadits lulusan Syiria. Beliau menyatakan bahwa orang-orang sufi selalu mengatasnamakan Nabi dalam berbagai permasalahan dan persoalan kaum sufi. Mereka menjustifikasi bahwa teori-teori tasawuf berdasarkan hadits-hadist yang disebutkan para sufi yang menurutnya hadits tersebut adalah palsu. Hal ini juga bertujuan untuk mengambil hati orang-orang agar mengikuti jejak para sufi.
Dilain waktu saya juga pernah mendengar perkataan KH. Ali Musthafa Ya’qub, salah satu ketua MUI yang dikatakan sebagai ahli hadits di Indonesia. Beliau menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Beliau menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfi…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah. Menurutnya bagaimana mungkin dua orang yang berbeda masa dan zaman bertemu secara mubasyarah dan saling bercakap. Jika demikian bisa dilakukan kenapa Rasulullah tidak menemui Sayyidina Ali atau Muawiyah ketika mereka berperang?
Dengan kata lain menurut kalangan ahli hadits hadits yang shahih adalah hadits yang tsiqah rawinya, dan sampai pada peringkat sahabat sehingga sahabat yang mendapatkan hadits tersebut dari rasulullah langsung. Dan mustahil seorang tabi’in-atau tabiuttabi’in mendapatkan hadits langsung dari rasulullah saw.
Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan.
Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfi…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih.
Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.
Solusinya…
Menurut hemat saya ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf. Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
Dari perbedaan sistem yang diterapkan kedua kubu ini saya mengharapkan agar ummat Islam, khususnya and-anda lulusan Buntet dapat bersikap bijaksana ketika menghadapi berbagai kasus fiqh, tasawuf dan mengambilan dalil-dalil hukumnya supaya tidak menjadi orang yang ekslusif. Maka jadilan anda orang Islam yang inklusif!
Semoga bermanfaat. Wallahua’lam. Wassalam!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama