Oleh : Prof. Dr. Komaruddin Hidayat*
DALAM acara peluncuran dan bedah buku Merajut Kembali Keindonesiaan
Kita karangan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kampus Universitas Gadjah
Mada, 15 Maret lalu, saya sempat merenung, betapa besar jasa
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam merajut keindonesiaan kita.
Saya melihat keduanya sebagai aset bangsa yang konsisten membela
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),Pancasila,dan meredam gerakan
radikalisme keagamaan. Tentu saja banyak organisasi masyarakat (ormas)
dan paguyuban daerah serta organisasi profesi yang juga berperan
sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Namun, izinkanlah saya untuk
melihat dua ormas ini karena keduanya memiliki keunikan tersendiri.
Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan NU tahun 1926 merupakan dua
ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan mungkin juga di seluruh
dunia Islam.
Meski tidak ada data statistik yang valid,
diperkirakan anggota NU sekitar 40 juta dan Muhammadiyah 35 juta.Namun,
kalau dihitung dari mereka yang pernah berstudi di lingkungan perguruan
Muhammadiyah, jumlahnya jauh lebih besar ketimbang mereka yang pernah
belajar di lingkungan pendidikan NU.
Pilar Kohesi Bangsa
Sekali
lagi, meski hanya menyebut kedua ormas Islam itu,tidak berarti saya
menafikan peran ormas lain yang juga berperan sebagai pilar kohesi
keindonesiaan.Namun, dua ormas ini bagi saya sangat fenomenal,terutama
ketika muncul gerakan radikalisme keagamaan yang bersifat eksklusif
serta begitu mudah menyalahkan dan bahkan mengafirkan pihak lain yang
berbeda.
Muhammadiyah dan NU dikenal moderat dalam paham
keagamaan dan sikap politiknya.Keduanya memiliki pandangan politik yang
sejalan dengan cita-cita kemerdekaan,yaitu menjadikan Pancasila sebagai
dasar bernegara serta menjaga keutuhan NKRI.Hal ini penting ditegaskan
ketika posisi negara lemah, iklim kebebasan terbuka, lalu muncul dan
berkembang ideologi transnasionalisme yang kurang setia pada NKRI dan
Pancasila sebagai ideologi negara.
Saat ini ada beberapa paham
dan gerakan keagamaan yang begitu militan dan cenderung kurang peduli
dengan agenda memperkuat rumah Indonesia agar warganya terlindungi dan
hidupnya nyaman dalam suasana kemajemukan dari segi bahasa,budaya,dan
agama.
Muhammadiyah dan NU konsisten mengajak seluruh warganya
yang tersebar di berbagai pulau Nusantara aktif di berbagai profesi
yang beragam; mereka yang tersebar di partai politik (parpol) yang
berbeda-beda juga diajak melebur serta aktif membangun Indonesia
sebagai rumah tinggal bersama.Itulah sebabnya keduanya menilai posisi
Pancasila sebagai ideologi bernegara sudah final,bahkan mesti dijaga.
Keduanya
secara realistis dan konstruktif ingin merajut dan menjaga
keindonesiaan kita yang majemuk,yang merupakan kekayaan dan realitas
sosial, tetapi harus dirawat agar keragaman tidak berubah menjadi
sumber konflik dan ancaman bagi kerukunan hidup berbangsa. Yang mesti
diperankan lebih aktif lagi oleh Muhammadiyah dan NU adalah tetap
menjaga independensinya sebagai kekuatan moral, sosial, dan intelektual.
Agar
ketika terjadi gerakan radikalisme keagamaan dan konflik
sosial,keduanya mampu sebagai peredam, wasit, dan pemberi solusi yang
cerdas dan berwibawa.Peran ini sangat penting terutama di saat posisi
pemerintah lemah dalam mengontrol warganya karena lebih sibuk dengan
urusan dirinya serta direpotkan oleh perilaku parpol yang kurang
produktif dan kooperatif dengan pihak pemerintah dalam menyelesaikan
berbagai persoalan bangsa.
Dalam situasi seperti saat ini,
kepemimpinan Muhammadiyah dan NU diharapkan mampu menjadi kekuatan
kontrol dan sumber pencerahan bagi para warganya yang aktif di parpol
yang akhir-akhir ini tampaknya semakin sibuk berbagi kekuasaan dalam
setiap pemilihan kepala daerah (pilkada) dan saat mendekati pemilihan
umum (pemilu).
Namun, peran ini tidak akan efektif kalau
kepemimpinan kedua ormas Islam terbesar ini tidak bisa menjaga jarak
dari politik praktis. Kita semua berharap, para pemimpin ormas ini
tidak akan menjadikan jabatannya sebagai ajang dan batu loncatan untuk
meraih jabatan politik sehingga menurunkan independensi, wibawa, dan
kredibilitas lembaga sebagai kekuatan moral, intelektual, dan pilar
keindonesiaan.
Pemerintah pantas berterima kasih kepada ormas
dan komunitas keagamaan, apa pun agamanya, yang telah berjasa
menyelenggarakan pendidikan bagi warga negara di saat negara tidak
mampu melaksanakan kewajiban untuk mencerdaskan warganya.
Bayangkan,tanpa partisipasi mereka, betapa semakin tertinggalnya dunia
pendidikan kita.
Namun, kita pun agak menyayangkan andai saja
ormas-ormas itu tergoda oleh gravitasi politik sehingga potensinya
sebagai kekuatan pendidikan, peradaban, dan pilar kebangsaan melemah.
Kebebasan yang Memabukkan
Sartre,
seorang filosof humanisme yang sangat gigih memperjuangkan kebebasan
atau kemerdekaan individu, pernah mengingatkan adanya jebakan yang
disebut the dizzyof freedombagi mereka yang mendambakan kebebasan
secara mutlak.
Pada tataran filosofis,mereka yang menginginkan
kebebasan secara absolut,yaitu tak ada lagi apa pun dan siapa pun yang
membatasi dan mengikat kebebasannya, justru akan mengalami pusing tujuh
keliling (dizzy).Seseorangakan mabuk dan bingung dengan kebebasan yang
dimilikinya. Bayangkan ketika hidup ini tak ada fondasi tempat
berpijak, kita akan jatuh pada situasi nihilisme dan keabsurdan.
Kebebasan
absolut justru akan berubah menjadi tirani bagi kebebasan itu sendiri.
Karena itu, khususnya bagi mereka yang beriman kepada Tuhan, di sana
pasti ada kaidah-kaidah moral yang diyakini sebagai pijakan dan sumber
makna hidup.
Hidup dikatakan bermakna ketika ada parameter
nilai dan sistem kepercayaan sebagai fondasi dan ikatan yang
dipertahankan agar kehidupan menjadi terstruktur serta memiliki tujuan
yang jelas dan mulia, yang membatasi sebuah kebebasan. Hanya saja,agar
agama dan keyakinan hidup tidak merusak kebebasan, ketaatan pada kaidah
agama haruslah dilakukan secara rasional dan sukarela, bukan karena
paksaan atau rasa takut. Demikian juga halnya pada tataran
sosial-politik.
Kebebasan yang tiada batas dan tidak terikat pada
aturan moral serta hukum yang disepakati pasti akan mendatangkan
keabsurdan, kekacauan, dan kebingungan (dizzy).Apa yang terjadi selama
10 tahun terakhir ini, orang mendambakan kebebasan tanpa mau terikat
dan menjunjung tinggi kaidah moral dan hukum.
Maka, yang
terjadi adalah kekacauan (chaos),bukannya keteraturan dan keindahan
(cosmos). Sayangnya, sebagian kelompok mengidentikkan demokrasi dengan
kebebasan berbuat dan berbicara apa saja, padahal demokrasi
meniscayakan ketaatan pada hukum, undang-undang, serta kaidah-kaidah
moral.
Di atas semuanya itu, sebebas dan sedemokratis apa pun
sebuah negara,kepentingan nasional tetap menjadi referensi dan motivasi
percaturan politiknya.Saya khawatir kebebasan yang berkembang di
Indonesia sekarang ini justru akan menggerogoti substansi dan
nilai-nilai demokrasi dan kita terjebak pada pemahaman yang dangkal
tentang makna kebebasan.
Sekali lagi,dalam konteks kehidupan
sosial politik dan berbangsa khususnya, peran Muhammadiyah dan NU
hendaknya bisa tampil lebih efektif, berwibawa, dan cerdas agar
kemajemukan agama dan budaya Indonesia ini tidak terjebak pada pusaran
kebebasan yang ujungnya akan mencabik-cabik kesatuan dan keharmonisan
hidup berbangsa dan bernegara.
Pendek kata,kedua ormas ini
memiliki potensi, peluang, dan panggilan sangat mulia untuk menjaga
kohesi bangsa dari berbagai gerakan radikalisme yang menggunakan
simbol-simbol agama.(*)
*)Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Sumber Kliping dari Koran SINDO
Posting Komentar