Oleh: Aden (alumni buntet)

Tadi
siang, sembari menunggu acara kumpul-kumpul dengan orang-orang
seprofesi, ikut Jum’atan di masjid dekat tempat kantor. Agak telat
datang tapi masih bisa mendengarkan khutbah dari awal. Ada banyak
harapan ingin menambah ilmu, namun sayangnya, khatib yang ganteng dan
berwibawa itu lebih banyak memberikan cerita biasa daripada memberikan
ilmu baru. Jadilah khutbah itu kurang gregetnya.


Awalnya
menyinggung umat Islam itu katanya, saling bermusuhan. Misalnya kata
beliau, umat Islam yang ingin menegakkan syariat, dijegal oleh umat
Islam yang lain dengan terang-terangan. Padahal ia mengklaim bahwa
syaraiat Islam itu bisa membantu untuk mengatasi persoalan umat saat
ini.


Penjelasan point tersebut menurut saya sudah basi.
Hampir mirip dengan para khatib dari kalangan kader-kader PKS yang saya
kenal. Tidak jauh dari bagaimana menggambarkan umat saat ini, lihatlah
masalah terjadi di mana-mana dst. Bolehlah itu dijadikan sebagai
pembukaan atau latar belakang masalah dan biasanya di akhir pembahasan
kemudian merupakan jawaban darimasalah tersbut.


Sayangnya,
pada pembahasan berikut bukan jawaban, tetapi gambaran-gambaran yang
basi. Misalnya beliau menyebut: Banyak umat Islam yang tidak suka
mengaji dan lebih senang nonton Televisi dll. Kemudian dieksplorasi
masalah tayangan-tayangan yang aduhai.


Tayangan yang menjadi
pembahasan yang cukup lama menyita waktu adalah masalah perceraian.
“Kenapa perceraian umat islam yang ditayangkan di hampir semua stasiun
TV sedangkan tayangan perceraian umat non muslim tidak ditayangkan.”
Protesnya dalam khutbah itu.

Menurut saya, kenapa protes seperti itu disampaikan dalam khutbah yang intinya protes sebuah perceraian ditayangkan di televisi.


Bagi
saya pertanyaan itu cukuplahlah disampaikan oleh anak-anak rohis SMU
yang mencoba kritis. Sementara seorang Khatib yang banyak pendengarnya
adalah kalangan yang sudah tahu persoalan itu, mestinya mbok ya dibahas
persoalan perceraian itu apa, bagaimana hukum disampaikan di publik,
bagaiaman nilai positif dan negatif sebuah perceraian publik, Alasan
mengapa publik televisi begitu, apa apa kontribusi para ulama dalam hal
ini, bagaimana upaya dia sendiri dalam menangani masalah itu.

Pertanyaan-pertanyaan
itu tidak terjawab dalam khutbah tadi, hanya memberikan ulasan
masalah-masalah sosial yang sudah umum diketahui hatta anak-anak
sekolah. Jadilah khutbah hari itu kurang greget. Yang ada hanyalah
pancingan sentimen terhadap golongan agma lain.


Sepertinya
gambaran sebuah kecemburuan dan ketidak pedean sebagai umat Islam.
Alih-alih kemudian seperti para gerakan islam kota, mengusulkan
tegaknya syariat Islam. Baik syariat secara formal maupun informal.


Mestinya
protes seperti itu disampaikan saja kepada televisi yang bersangkutan
akan lebih manfaat dan di dengar oleh krue televisi. Sementara di
tempat itu, hampir dipastikan tidak ada petugas televisi jadi buat apa
protes kepada jamaah jumat.


Sayangnya, khatib-khatib kita
masih banyak yang kurang peka terhadap kebutuhan rohani tapi seringan
hanya membahas hal-hal peristiwa biasa saja. Padahal publik masyarakat
kota dalam hal membaca koran mungkin lebih banyak audien daripada
khatib. Saya jadi teringat seorang penulis berkata:

Mereka yang
berpikiran hebat membicarakan ide-ide. Mereka yang berpikiran sedang
membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang berpikiran sempit
membicarakan orang lain. - Eleanor Roosevelt (1884–1962).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama