Oleh: Idrus Ramli*
Ke
mana-mana selalu menyebarkan salam. Selalu memakai baju bercorak gamis
dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab.
Jenggotnya dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya
pemberlakuan syariat Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid’ah,
dan khurafat. Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya
serba keren, valid, islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi.
Sepintas dan secara lahiriah meyakinkan, mengagumkan.
Tapi
jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah
jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata
penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah r,
di antara tipologi kaum Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada
masa beliau, adalah ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi
ibadah kebanyakan orang, sehingga beliau perlu memperingatkan para
Sahabat t dengan bersabda, “Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan ibadah mereka.”
Demikian
pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren “kaum
Salafi”. Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari
pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328
M), akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek
keagamaan.
A. Sejarah Hitam
Sekte Wahabi, seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj
Islam Ahlusunah wal Jamaah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam
sejarah. Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan
memperhatikan sepak terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana
agresi dan aneksasi (pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti
Mekah, Madinah, Thaif,
dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara Amir Muhammad
bin Saud, mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah seperti halnya para
Sahabat t menaklukkan
Selain
menghalalkan darah kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz dan
sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan
menganggapnya sebagai ghanîmah (hasil jarahan perang) yang
posisinya sama dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat
dari paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan
darah dan harta benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota
itu. Lembaran hitam sejarah ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb; ‘Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da’watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad bin Hajar Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-‘Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer dari
B. Kerapuhan Ideologi
Dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)” (QS asy-Syura [42]: 11), dan dalil ‘aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah mukhâlafah lil-hawâdits,
yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baru (alam). Karenanya,
Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan Allah itu tidak duduk,
tidak bersemayam di ‘Arasy, tidak memiliki organ tubuh dan sifat
seperti manusia. Dan menurut ijmak ulama salaf Ahlusunah wal Jamaah,
sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (227-321
H/767-933 M), dalam al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, orang yang
menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat
duduk, bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh),
adalah kafir. Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukhâlafah lil-hawâdits.
Sementara Wahabi mengalami kerapuhan fatal dalam hal ideologi. Mereka terjerumus dalam faham tajsîm (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan sifat seperti manusia) dan tasybîh
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal menurut al-Imam
asy-Syafi’i (150-204 H/767-819 M) seperti diriwayatkan olah as-Suyuthi
(849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asybâh wan-Nazhâ’ir, orang yang berfaham tajsîm, adalah kafir. Karena berarti penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah).” (QS asy-Syura [42]: 11)
C. Kerapuhan Tradisi
Di antara ciri khas Ahlusunah wal Jamaah adalah mencintai, menghormati, dan mengagungkan Rasulullah r, para Sahabat t,
ulama salaf yang saleh, dan generasi penerus mereka yang saleh seperti
para habaib dan kiai yang diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal
tawasul, tabarruk, perayaan maulid, haul, dan lain-lain.
Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, dengan tidak mengagungkan Nabi r,
yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul dengan para nabi dan para
wali. Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat dalam Hadis-Hadis sahih
dan data-data kesejarahan yang mutawâtir, telah dilakukan oleh Nabi Adam u, para Sahabat t, dan ulama salaf yang saleh. Sehingga dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam u, para Sahabat t, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan tawasul.
Bahkan lebih jauh lagi, Nashiruddin al-Albani–ulama Wahabi kontemporer–sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-qubbah al-khadhrâ’ (kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah r) dan menyerukan pengeluaran jasad Nabi r
dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber kesyirikan.
Al-Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan al-Imam
al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya.
Demikian
sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini, kita
perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang
lahir di
*) penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Sidogiri, tinggal di Jember
Tulisan ini dimuat di Buletin Sidogiri edisi 26
sumber: situs resmi pondok pesantren sidogiri
Posting Komentar