Oleh: M. Zaim Nugroho


Saya perlu menegaskan kembali di dalam tulisan ini pentingnya waawasan nusantara, dimana dalam nusanatara kita ini mempunyai sebuah warisan yang sangat berharga yakin Pancasila, pertama, karena pancasila merupakan  simbol dari saripati budaya indonesia. Kedua, pancasila merupakan pengejahwantahan dari nilai nilai Islam seperti ketuhanan, persatuan, musyawarah, berprikemanusiaan dan berkeadailan sosial.




.

Pancasila memang bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payah
dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang menyumbang
gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berumbung. Dengan demikian
ia mengakui perbedaan manusia dan ketidak sempurnaanya. Ia tak
menganggap diri doktrin yang maha benar.

Tetapi justru itulah sebabnya
saya telah belajar untuk tidak menjadi manusia yang menganggap diri
maha benar. Oleh karenanya saya tidak ingin indoneisa menganggap
pancasila sebagai agama. Sebagaimana Indoneisa tidak pernah dan tidak
hendak mendasarkan dirinya pada suatu agama apapun, tapi justru nilai
luhur agama –agama yang mengilhami Indonesia.

Dulu kakek saya adalah pejuang, beliau tergabung dalam pasukan
Hizbullah untuk melawan tentara Kolonial Belanda, menurut nenek saya,
beliau pernah ditangkap oleh penjajah Belanda selama dua tahun.
Perjuangan kakek saya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah contoh nyata orang Buntet dalam mempertahankan
NKRI.

Setelah NKRI merdeka, hampir semua orang Buntet yang ikut berperang 
(tergabung dalam pasukan Hizbullah) balik ke Pesantren dan tidak lagi
aktif dalam perpolitikan maupun ketentaraan, perpolitikan mereka
diwakili oleh partai Nahdhatul Ulama yang saat itu menjadi Paartai
Politik setelah sebelumnya bergabung dengan Partai Masyumi.

Setelah Orde lama Tumbang dan diganti oleh Orde baru perjuangan warga
Buntet dalam mempertahankan NKRI tidaklah selesai. Meskipun pada awal
munculnya Orde Baru banyak yang menjadi korban atas kezaliman Suharto
dan militernya pada waktu itu tetapi perjuagan pesantren tidak selesai.
Saya pernah mendengarkan Wa Min ( Nyai Min) istri dari Alm. KH. Fuad
Hasyim, bercerita bahwa  KH. Fuad Hasyim pernah di hadang oleh ribuan
massa  yang ingin melukai beliau, tapi berkat pertolongan Allah beliau
selamat.

Tapi apa sebenarnya  ingin Kyai Buntet Pesantren perjuangkan? Mereka
berjuang demi Islam, Islam yang damai, Islam yang ala santri dan bukan
Islam yang keras. Pada waktu awal tahun 80an gerakan Islamisme mulai
tumbuh, mereka ingin sekali mengganti Pancasila sebagai idiologi dan
digantikan dengan ideologi Islam. Mereka adalah kelompok kelompok Islam
Garis keras, sama kerasnya dengan pemerintahan Orde Baru waktu itu.
Tetapi saat itu salah satu Kyai buntet tidak sepakat dengan ide
tersebut, terbukti pada Sidang Umum MPR Tahun 1983 KH. Mustamid Abbas
yang pada saat itu menjabat sebagai anggota MPR dari Fraksi utusan
golongan menerima Pancasila sebagai Idiologi negara, setahun sebelum
muktamar NU di Situbondo.

Semangat yang lebih mememintingkan aspek kemaslahatan ternyata terus
dipertahankan oleh generasi sesudahnya, yaitu KH. Abdullah Abbas,
beliau selalu menampilkan wajah Islam yang santun dan sangat menghargai
perbedaan. Semangat toleransi KH Abdullah Abbas diakui bukan saja oleh
warga Nahdiyyin tetapi juga oleh komunitas lain. Pada ulang tahun Mas
Dawam (Dawam Raharjo) yang ke 70 di Auditorium Paramadina, dimana pada
saat itu saya hadir, saya duduk bersama Rahman seoroang yang dianggap
Rasul oleh Komunitas Eden. Dia panjang lebar bercerita tentang
pengalaman Spiritualnya hingga akhirnya dia bercerita tentang KH.
Abdullah Abbas, baginya KH. Abdullah Abbas merupakan sosok yang Humais,
dan Toleran, bahkan sang “rasul” tersebut bersama Lia Eden pernah
melakukan Doa bersama dengan KH. Abdullah Abbas untuk kemaslahatan
bangsa Indonesia di kediaman beliau di Buntet Pesantren.       

Pesantren Buntet Budaya dan Kearifan Lokal

Sejatinya, watak dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap
kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah dan toleran. Karena
watak pesantren yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan
(penetracion pacifigure) untuk mendialogkan pesantren dengan kebudayaan
lokal. Hal ini diambil dari kenyatan historis penyebaran Islam di
Indonesia yang dilakukan pesantren memunculkan konsekuansi bahwa Islam
di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan,
praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Nikii Keddie (1987), pengamat
Timur Tengah, justru memandang karakter inilah yang menjadi kebangggan
Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.

Bagi Kalangan Pesantren, Wali songo merupakan tokoh penting  yang
sangat dihormati karena jasanya menyebarkan Islam di Indonesia melalui
jalan tengah dan moderat.   Dakwah yang di jalankan Wali Songo adalah
Dakwah dengan akulturasi budaya, Wali Songo dalam menjalankan Dakwahnya
sangat menghormati kearifan lokal, Sunan Kali Jaga misalnya,  dalam
salah satu Dakwahnya adalah melalui media wayang kulit, beliau
mengganti cerita agama Hindu  dan digantikan dengan cerita Agama Islam.
Begitu juga dengan wali yang lain.

Masyarakat Buntet Pesantren sama seperti kaum sarungan yang lain.
Mereka  melakukan tradisi yang sudah berakulturasi dengan nilai lokal.
Seperti Tahlilan, ngerujaki, Mangku, Ngupati, Puputan, Mudun lemah,
Curak, Genjringan, Majluran dan sebagainya. Keaneka ragaman ini adalah
hasil (Hybrid Culture) dari tradisi budaya Lokal dan Nilai nilai Islam.
Mereka seterusnya di sebut Islam Pribumi.

Disini Islam Pribumi tidak digunakan dalam konteks politik, melainkan
digunakan dalam konteks keagamaan. Yakni, ketika Islam sebagai agama
diyakini, diekspresikan dan dipraktikkan oleh seluruh lapisan
masyarakat Buntet Pesantren. Maka, landasan yang dapat dijadikan untuk
menilai sesuatu sebagai yang asli atau pribumi terletak pada praktik
beragama masyarakat dalam setiap wilayah yang berbeda-beda, yang sering
disebut sebagai agama rakyat. Model keberagamaan Islam yang sudah lama
melekat dalam kehidupan masyarakat Buntet khusunya merupakan watak
pribumi/asli yang juga dialami oleh masyarakat lainnya.

 Islam Pribumi yang di gagas oleh KH. Abdurahman Wahid patut kita
lanjutkan kembali untuk menjawab problem radikalisme Islam. Dalam
“Pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang
normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang
berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan
praktek keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisasi
atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti
tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini,
pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari
kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu
tidak hilang. Inti “Pribumisasi Islam” adalah kebutuhan bukan untuk
menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi
demikian memang tidak terhindarkan (Abdurrahman Wahid, 2001).

Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam)
yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud “Islam Pribumi”
sebagai jawaban dari “Islam Otentitik” atau  “Islam Murni” yang ingin
melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh
penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberikan keanekaragaman
interpretasi dalam praktek kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak lagi anggapan Islam yang di
Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam
sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

Ada nasihat yang jarang orang tahu dari KH. Abbas bin KH. Abdul Jamil
kepada muridnya KH. Ibrohim Hosen. Sewaktu Ibrohim hendak meningalakan
Buntet, “Fiqih itu Luas, jangan hanya terpaku dengan satu mazhab,
contoh :menurut Syafi’i, tidak sah nikah kecuali ada wali dan pakai
saksi. Menurut malik bin Annas, harus pakai wali. Kalau tidak pakai
saksi, maka cukup dengan I’lan. Menurut Dawud Dzahiri sah nikah
walaupun tanpa wali dan tanpa saksi.

Selanjutnya, jika seseorang menggunakan Mazhab Zdhahiri , dan dia
merahasiakan kepada masyarakat agar tidak di ketahui Qodli. Kalau Qodli
tahu, maka ia akan bertanya, siapa perempuan itu? Jawab saja “temanku”
tentu masalahnya selesai. Tentu kalau dijawab bahwa perempuan itu
“istriku” maka Qodli bertanya lagi “ kapan nikahnya, siapa walinya,
siapa saksinya ? Dijawab “aku nikah tanpa saksi”. Jika si Qodli
menyatakan nikahnya “batal” maka batalah pernikahan tersebut, tetapi
jika tidak ada reaksi dari Qodli tersebut , berarti pernikahan tersebut
tidak dibatlkanya.” ( Ibrohim Hosen, 1990)

Pemurnian ajaaran Islam akhir akhir ini sama sekali tidak dapat saya
terima, karena bagaimanapun juga pemurnian Islam tersebut lebih kepada
Arabisasi ketimbang perjuagan nilai untuk menegakan nilai nilai Islam
di bumi nusantara ini.

Akhirul kalam mari kita kembali kepada kaidah Ushul Fiqih berikut ini. Almuhafadhatu A’la qodimshaalih Wal Ahdu bijaadidil Ashlah (melestariakan sesuatu yang baik dan menggali nilai baru yang lebih baik.)

Wallahu A’lam bissawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama