Nuning Oleh: Nuning Mumarisa Al Haq


KOMPETISI hidup dan tekanan ekonomi global dewasa ini sering kali menuntut wanita untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarga.Berbagai jenis pekerjaan dilakukan, seperti menjadi buruh, pembantu rumah tangga, pedagang kecil, dan pekerjaan-pekerjaan lain. Perempuan yang bekerja karena tidak ada pilihan lain selain harus bekerja kita sebut ‘pekerja perempuan’.



Disisi lain, ada banyak perempuan yang memiliki pengetahuan,
pendidikan, dan pengalaman yang memadai. kebutuhan mereka untuk
aktualisasi diri sesuai kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dunia
pendidikan, dan dunia-dunia lain yang memerlukan  kehadiran orang-orang yang
profesional dan kompeten.

Perempuan yang bisa memilih pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan dan
sekaligus menjadi sarana aktualisasi diri inilah yang biasa kita sebut
sebagai  ‘wanita karier’.


Apresiasi positif

Pada prinsipnya, dalam islam tidak ada larangan bagi perempuan untuk
bekerja dan berkarier di bidang apa saja,asal dilakukan dengan cara
yang baik, benar, dan halal  sesuai dengan ketentuan syari’at. Bahkan
pada tataran aplikatif, islam telah memberikan apresiasi positif dan
penghargaan yang tinggi terhadap perempuan ‘pekerja’ yang gigih
sekaligus berkenan membantu keluarganya.

Contoh kasus, Alqur’an sempat mengangkat kisah tentang dua perempuan
bersaudara suku madyan yang harus bekerja dan keluar agak jauh dari
rumah untuk mendapatkan air setiap harinya,  karena bapaknya seorang
tua renta yang lemah (QS. al qashash/28:23). Kedua perempuan ini, menurut
beberapa ahli tafsir, adalah puteri Nabi Syu’aib AS.

Kemudian, sejarah awal islam pun mencatat banyak figur perempuan
sahabat nabi yang terjun dalam berbagai bidang usaha. Sebut saja siti
Khadijah istri nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai komisaris
perusahaan, Ummu Salim binti Milhan yang menekuni bidang tata rias
pengantin, Zainab binti Jahsy yang berprofesi  sebagai penyamak kulit
binatang, dan Alsyifa’ yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah
diangkat khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai kepala pasar kota
Madinah, istri Abdullah ibn Mas’ud yang dikenal sebagai pengusaha
wiraswasta dari kalangan perempuan yang sukses.

Semua itu menandakan betapa islam, hingga pada tataran tertentu sangat
apresiatif dan welcome terhadap perempuan yang bekerja dan berkarier.
Tak heran bila siti Aisyah berkomentar “....... Alat pemintal di tangan
perempuan lebih baik daripada tombak di tangan  kaum laki laki (di saat
berjihad).


Nilai plus      
                          
Terkait dengan pembagian peran dalam keluarga, menurut ajaran islam,
keharusan memberi nafkah merupakan tanggung jawab utama suami. Dengan
kata lain, istri mempunyai hak mendapatkan sebagian harta suami untuk
mencukupi semua kebutuhan dasarnya.

Namun, fakta di lapangan tidak sepenuhnya sama dengan apa yang di
harapkan. Kenyataannya tidak semua suami mampu memenuhi semua kebutuhan
dasar istri dan keluarganya. Dalam situasi di mana istri sesungguhnya
tidak wajib menafkahi keluarga tetapi ia berkenan memberikan sebagian
hartanya kepada suami dan anak anaknya, maka hal itu tercatat sebagai
sedekah yang berpahala ganda, yakni pahala sedekah dan pahala membantu
keluarga (HR. Bukhari-Muslim).

Itulah ‘nilai plus’ yang diberikan kepada muslimah yang berkekayaan
dan berpenghasilan sendiri serta berkenan membantu meringankan beban
ekonomi keluarganya.


Teguh dan seimbang

Pada tataran operasional, hal hal yang prinsip harus di perhatiakan dan
dilakukan seorang muslimah dalam meniti karier dan bekerja adalah:


  1. Mendapatkan restu dari suami, sesuai dengan ajaran islam yang
    bersumber dari Alqur’an dan Hadits dan sesuai dengan tata nilai adat
    ketimuran, dalam kondisi tertentu muslimah yang bekerja perlu
    mendapatkan restu dari semua elemen keluarga untuk menghindari hal2
    yang tidak di inginkan.

  2. Terus membangun kesadaran bahwa bekerja dan berkarier adalah sarana
    mencapai ridha Allah.dengan demikian di lingkungan bekerja muslimah
    akan senantiasa menjaga integritas, moralitas, dedikasi serta
    profesinalitas sehingga citra positif muslimah terjaga.

  3. Senantiasa menjaga keseimbangan diri, perasaan, pikiran, tenaga dan
    waktu dalam peranan sebagai ibu bagi anak  anaknya, sebagai istri bagi
    suaminya, dan profesional dalam lingkungan kerjanya.

  4. Bersinergi dengan pasangan/suami  dan mitra keluarga dan lainnya
    dalam berbagi peran dan tugas rumah tangga sehingga tercapai
    kesepahaman yang baik dan kondusif.

  5. Senantiasa mengingatkan bahwa kepentingan dan kebutuhan keluarga adalah yang pertama dan terpenting.



Dalam konteks ini, teladan yang dapat dijadikan rujukan adalah sayyidah
Khadijah ra.yang telah memberikan contoh bagaimana perempuan muslimah
dapat sukses menekuni dan mengembangkan bidang usaha, tanpa kehilangan
jati diri tetap taat pada norma norma dan etika agama, serta mampu
menjaga keseimbanganperan dan pola relasi dalam keluarga.Wallahu a’lam
bish-Shawab.



Nuning Mumarisa Al Haq
adalah Putra KH. Fuad Hasyim, sedang menyelesaikan Tesis  S2 UI Jurusan Filsafat Umum.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama