Oleh: Redaksi
DI TENGAH perselisihan Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), Front Pembela Islam (FPI), dan Ahmadiyah kini hadir pesta spektakuler ERURO 2008. Lumayan bisa mengendorkan sedikit urat-urat syaraf ketegangan. Mata publik tertuju ke perhelatan akbar di Austria dan Switzerland dari 7 Juni hingga 29 Juni 2008.
Apa yang menarik dari sepak bola tentu setiap orang akan mengatakan karena permainan olahraga jenis ini masuk dalam kategori tontonan universal. ia tidak mengenal sekte-sekte atau firqoh. Kita bisa melihat dari mulai politisi, kiai, intelektual, pengusaha hingga warga biasa, mampu menikmati gebyar Euro 2008 sebagai tontonan yang menggairahkan. Mirip shalat jamaah dalam hal tidak membedakan siapa penontonnya. Mereka bisa rileks dan mendapatkan hiburan yang sama-sama digemari.
Tentu saja bagi kalangan santri, menonton bola tidak serta merta akan melupakan kewajiban yang seharusnya dijalankan untuk agama dan masyarakat. Apakah shalatnya, dzikirnya atau amalan lain semisal menemui tamu, bekerja dan lain-lain.
Euro 2008 memang cukup penting disaat bangsa ini tengah didera oleh konflik horizontal yang kini muali berkembang. Terlepas itu rekayasa atau tidak, yang jelas sangat merugikan kita semua.
"Bangsa ini mulai terjebak pada persoalan lama yang sebenarnya sudah dikubur, tetapi berusaha dibangkitkan kembali hanya untuk membuat hubungan kebangsaan retak. Yang sangat disayangkan, instrumen-instrumen kebangsaan kita sebagian ikut terlibat dalam perselisihan yang tidak bermutu ini hanya karena menuruti hasrat politik yang bertujuan jangka pendek." Ujar Faruqi Sururi, wartawan senior.
Apa yang dikatakan Faruqi memang benar, bahwa tindakan tersebut hanyalah sebuah hasrat politik yang tujuannya pendek, tidak sepanjang tujuan dari penciptaaan manusia itu sendiri untuk saling ta'arafu dengan kalangan yang berbeda keyakinan dan kepentingan.
Ketegangan terus berkembang dan media massa ramai membicarakannya. Komponen satu menginginkan agar pemerintah bisa menuruti hasrat sebagian kelompok kecil. Di lain pihak, justru menentangnya. Tarik ulur ini diperparah dengan lambanya sikap pemerintah dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah.
Indonesia butuh segera keluar dari intrik-interik internal semacam itu, sebab energi dihabiskan untuk sekedar membuat statement dan mengomentari. Sementara bangsa kita sendiri membmtuhakan pemimpin dan rakyatnya agar segera bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan dari negara lain. Bagaimana kemudian, jika terus-menerus terjebak dalam konflik ini.
Karenanya, mestinya kita kembalikan pada seluruh instrumen kebangsaan kita, apakah tidak peka dengan permainan political trap (jebakan) yang bisa dibuat oleh siapa saja yang tujuannya untuk mengaburkan suasana. "Seharusnya komitmen kebangsaan kita bisa fokus pada masa depan bangsa tanpa harus melihat siapa pemimpinnya. Pemimpin kapan pun bisa berganti, tetapi komitmen kebangsaan tidak boleh berubah dan harus tetap fokus pada cita-cita Indonesia yang sejahtera dan bermartabat." lanjut Faruqi.
Ia pun menambahkan bahwa demi cita-cita kebangsaan kita, tidak ada salahnya kita mengembangkan prinsip saling mengingatkan. Bahwa bangsa ini sudah beberapa kali terjebak pada perselisihan antarinstrumen kebangsaan yang bersifat komunal. Kita masih ingat bagaimana masyarakat kita pernah digemparkan oleh isu kolor ijo, dukun santet yang akhirnya menyebar sehingga berakibat antarkomponen bangsa saling tuduh dan bermusuhan.
Yang mengeherankan di saat yang sama, dimana negara tengah menghadapi gempuran masalah dampak eknomi global, justru pemerintah kewalahan membuat keseimbangan. Tiba-tiba saja komponen bangsa justru berselisih paham. Jadilah kemudian negara ikut-ikutan mencampuri masalah ideologi padahal yang mesti dihadapi adalah ekonomi.
Timbul anggapan, adanya upaya pembelokan masalah utama karena ingin agar bangsa ini jangan terfokus kepada perhatian yang masalah serius yang sesungguhnya sedang terjadi.
Di Amerika sana publiknya lebih memilih kepada akal sehat yaitu menghargai marbatan bangsa yang harus dibela ketimbang isu-isu sektarian yang menggelayutinya. Kita tahu, Obama sang calon presiden juga didera kepada masalah ideologi, keturunan dan seterusnya. Namun bagi warga Amerika, lebih memilih isu agama dan ras tidak lagi utama tetapi lebih memilih kepada bagaimana membangun bangsa ke depannya.
Fokus membangun bangsa ke depan tentu banyak urusan yang harus dikedapankan. Ekonomi misalnya. urusan satu ini, bangsa kita masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga yang sama-sama terpuruk tetapi mereka bangun lebih pagi sementara kita masih ucek-ucek mata (tangi turu). Jepang, Korea, China dan India sudah melanglang buana ke seantero jagad membawa perekonomian negara itu dikiblati dunia.
Kita bisa belajar dari Amerika, meskipun secara ideologi berbeda, namun dalam urusan keduniaan mereka sangat fokus dan tidak menunda-nunda dalam persoalan yang krusial. Menurut William Knaus, seorang psikolog di Longmeadow Massachusetts yang mendalami kebiasaan menunda untuk menolong orang-orang dengan kebiasaan buruk mengatakan bahwa sikap menunda dari pemerintah ini bukannya tidak disadari oleh para pengindapnya tetapi karena telah terbiasa.
Disamping itu, untuk melihat ke depan, dan terus fokus ke depan, kita pun sepakat untuk menjadi bangsa yang fokus, kita juga bisa belajar dari tim-tim sepak bola Eropa yang sedang berlaga di kancah Euro 2008.
Seperti yang menarik dari bola adalah bagaimana semua tim mengerahkan semangat, kemampuan berjuang, sekill mengelola bola, dan kemampuan networking kepada team worknya untuk menjadi yang terbaik memasukkan sebuah tujuan: Gol!.
Akhirnya, Indonesia sebenarnya memiliki semangat besar ada banyak skill dan sumber daya manusia yang besar. Tinggal bagaimana belajar menjadi team work yang solid, sehingga "tim kesebelasan" Indonesia itu menjadi pemenang. La'allakum tattaqun, mudah-mudahan menjadi pemenang. Wallahu a'alam. (Zaldeeho)
Posting Komentar