Komunitas wong Buntet di Jakarta ini, kebanyakan adalah guru formal dan informal yang setiap bulan bersilaturahmi bergantian dari rumah ke rumah. Dalam sesi obrolan itu kang Mudin, menceritakan pengalaman sekilas tentang KH. Mustahdi Abbas saat dulu masih remaja dan mengikuti pengajian Kyai Mustahdi di Buntet Pesantren.
Almarhum, almaghfurlah, KH. Mustahdi Abbas adalah putra KH. Abbas bin KH. Abdul Jamil, sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau memiliki adik kandung almaghfurlahum: Kyai Mustamid, KH. Abdullah (yang baru saja wafat) dan KH. Nahduddin Royandi Abbas (Sesepuh sekarang). Beliau memliki dua orang isteri: Nyai Asiah dan Nyai Zaenah.
Teguh Mengajar
Sistem mengaji yang diterapkan kyai Mustahdi sebagaimanan umumnya kyai Buntet lakukan adalah system bandungan, dimana kyai membaca kitab, dan para santri menyimak dengan seksama sambil melihat baris-demi baris tulisan arab gundul di kitabnya. Penjelasan kyai dalam memahami ayat demi ayat pada kitab itu, sangat jelas, singkat dan tegas. Kemudian apa yang diajarkan beliau dirasakan cepat melekat di benak santri. Sehingga dapat diingat jelas dalam waktu yang lama.
Kang Mudin, sebagai salah satu muridnya yang paling rajin itu setiap mengikuti pengajian selalu datang paling awal. Hal ini sengaja ia lakukan karena merasa senang. Apa yang dilakukan sebelum pengajian dimulai, Kang Mudin berusaha menyapu menyapu dan memberesi tempat yang siap untuk dipakai kyai mengajara.
Suatu hari, saat saya datang lebih awal tidak biasanya, Pak Kyai tengah membaca kitab sendirian padahal di depannya tidak ada siapa-siapa. Di kursi goyang kesayangan beliau itu, saya menyangka kalau kyai tengha mutholaah, sehingga kemudian saya tidak berani untuk masuk dan beres-beres. Saya hanya menunggu di luar ruangan dan tidak jadi menyapu di bagian dalam.
Ketika itu kemudian para santri pada berdatangan satu-demi satu ker ruangan. Ratusan santri sudah memenuhi rumah beliau hingga ke bagian latar depan. Saat itulah saya baru memahami mengapa beliau sebelum pengajian duduk sendirian sambil membaca kitab padahal santri-santri belum datang.
Di salah satu sesi pengjian itu, kyai menyelipkan penjelasan kenapa setiap mau mengajar beliau duduk di kursi panjang sambil membaca kitab. Ternyata beliau jelaskan kepada para santrinya dengan mengatakan: "Ari wong sih pada nyangka isun lagi mutolaah, padahal isun kuh lagi ngajar. (Orang menyangka saya sedang mutolaah, padahal sebenarnya saya itu tengah mengajar"). Kata beliau dengan tidak menjelaskan kepada siapa beliau mengajar.
Menahan Sakit
Pada hari lain, para santri sudah kumpul semua di ruangan belajar seperti biasanya. Tetapi Kang Mudin sangat kaget karena Pak Kyai belum juga memasuki ruangan pengajian. Dicari-cari kemanapun tidak ada. Kemana gerangan berada dan ditanyakankanlah kepada keluarganya keberadaan kyai. Tetapi tidak ada yang tahu, namun setelah sekian lama mencari barulah Kang Mudin bertemu beliau baru keluar dari WC lalu bicara kepada saya.
"Isun kuh wis seminggu ngising getih (Saya itu sudah seminggu buang air besar dan yang keluar itu darah." Beliau itu tidak pernah bercerita dan bercerita hanya kepada saya. Kemudian setelah itu beliau langsung mengajar kembali seperti biasa. Beliau itu berarti dalam kondisi sakit masih mampu menyimpan rahasia sakitnya dan tidak diketahui orang lain dan beliau tetap mengajar. Ini persis seperti tingkah laku Imam Syafi'i dimana sang Imam besar itu konon memiliki penyakit Wasir hingga puluhan tahun. namun meski berdarah-darah Imam Syafi'i tetapi istiqomah mengajar.
Pasaran
Setiap bulan puasa seperti biasa di Buntet Pesantren dan pesantren pada umumnya mengadakan pengajian Pasaran termasuk di rumah kyai Mustahdi. Dalam waktu itu, biasanya beliau melanjutkan bacaan pengajian kitab tafsir. Kalau saat pasaran santri-santri penuh luar biasa hingga ke halaman teras rumah, di samaping rumah hingga ke musholla dan di dalam rumah itu santri yang mengikuti pengajian pasaran itu bisa 4-5 kali lipat dari hari-hari biasanya.
Dalam pandangan Kang Mudin, waktu mengikuti pasaran bulan Ramadhan itu dari sekian banyak yang mengikuti pengajian itu hanya satu dua santri yang saya kenal. Padahal saat pengajian biasa hampir semuanya saya kenal. Itu hal aneh.
Dari sekian banyak orang yang mengaji itu pula, anehnya orang-orang yang mengaji dalam radius yang cukup panjang tersebut suara kyai tanpa dibantu pengeras suara, namun masih jelas terdengar oleh semua santri meskipun tempat duduknya jauh dari kyai. Padahal suara yang dikeluarkan beliau standar seperti biasanya.
Ditakutkan
Lain lagi penuturan H. Abdul Wahid, LC, sarjana lulusan dari Irak, putra kyai Buntet Pesantren yang tinggal di Jakarta ini mempunyai cerita tentang KH. Mustahdi Abbas.
Satu masa, katanya saat di Jakarta tengah rawan karena banyaknya preman yang jahat dan gampang sekali melukai korbannya, Kyai Mustahdi mengalami kejadian tersebut. Di saat beliau datang ke Jakarta, turunlah di Stasiun Senen. Benar saja dugaan tersebut. Saat itu kyai baru turun dari kereta. Tiba-tiba dikerumuni oleh penjahat. Namun anehnya orang yang berani menyentuh beliau langsung terpental badannya.
Ada salah satu penjahat itu tangannya berhasil masuk ke kantong bajunya untuk mengambil sesuatu, namun anehnya tidak bisa keluar. Saat itu orang orang sekitar ingin menghajarnya tapi bagi beliau melarangnya dan akhirnya penjahat itu dimaafkan. Akhirnya perjalanan beliau aman aman saja dari gangguan penjahat.
Menurut penuturan Ust. Wahid salah satu murid setia beliau. Suatu ketika, hendak mengaji dan melewati rumah Kyai Arsyad. Kebetulan kang Wahid belari karena menghindari agar kyai berada di posisi depan saya. Kemudian saya berlari menuju rumah Kyai Arsyad yang cukup jauh. Tetapi saat saya berlari kencang sampai di rumah Kyai Arsyad ternyata kehawatiranku terbukti, beliau sudah berada di depan saat saya berjalan. Tentu saja saya kaget sekali. Padahal Kyai Mustahdi berjalan biasa saja (pelan-pelan) kok secepat itu bisa menyusul dan tiba-tiba berada di depan. (Zaldeeho)
Posting Komentar