Sekolah "Full Day System" Pesantren Pionirnya
DUNIA pendidikan kini tengah menggandrungi sekolah "full day system". Sekolah sehari penuh. Dimulai dari pagi hingga sore hari. Namun tidak sampai menginap. System ini ternyata disambut antusias oleh masyarakat meskipun biayanya selangit. Kenapa pesantren yang telah mapan memegang system ini, justru tidak diminati kebanyakan kalangan?
Sekolah dengan system sehari penuh (full day system) dianggap mampu mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik. (AntaraNews). Tetapi ada indikasi sekolah yang dikembangkan di berbagai wilayah besar Indonesia itu hanya trik dan akal-akalan bagi stackholder (pemodal) karena sekolah ini menerapkan biaya yang mahal dan digandrungi oleh sebagian besar orang tua yang sibuk bekerja. Sementara Dikbud sendiri sebenarnya tidak menganjurkan tetapi juga tidak melarang.
Awal mula jenis sekolah yang dianggap unggul itu pertama kali muncul pada pertengahan tahun 1990. Waktu itu dikenal dengan istilah excellent school yang tiba-tiba saja tumbuh subur seperti "jamur sembagi" di musim hujan. Waktu itu, sekolah yang mengembangkan system ini dirintis oleh swasta dan sekolah Islam dengan tarif biaya tinggi. Tentu saja menawarkan faslitas, eltis, ekslusif dan guru-gurunya diambil dari kalangan professional. Sekolah yang berkategori excellent ini sendiri belum teruji keunggulannya. Hal itu bisa dilihat dari sebuah penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Dari istilah excellent sechool ini kemudian digandrungi dan diminati oleh masyarakat dan tentu saja berkembanglah istilah ini sebagai sebuah gerakan (educational movement). Sekolah-sekolah yang dianggap mempunyai positioning di masyarkat itu berlomba-lomba membuat system sekolah unggul misalnya Istilah sekolah pulus,
Sejarah sekolah "plus" dimulai pada pertengahan 1990. Awalnya muncul istilah sekolah unggul an (excellent schools) yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sudah bisa dipastikan, sekolah ini dirintis oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah Islam dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba lux, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional.
Namun pada dasarnya, sekolah-sekolah yang berorientasi elitis-eklusif ini belum teruji keprofesionalannya. Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Gerakan rame-rame membuat sekolah unggulan ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur. Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melakat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Nah pada sekolah full day ini dianggap sebagai model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 15.15 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB.
Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.
Nampaknya, dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kelangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal, sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.
Hemat penulis, sekolah full day seharusnya tidak hanya bersifat transaksional yang semata-mata memuaskan kebutuhan stakeholders sekolah, melainkan lebih dari itu yang bersifat transformasional yang sangat menekankan prestasi sekolah pada pada tataran unggul (excellence), atau jika memungkinkan, diarahkan pada tataran prestasi yang lebih tinggi levelnya. Dengan kata lain, sekolah full day itu ditandai oleh peningkatan yang terus menerus prestasi akademik maupun non akademik.
Pelaksanaan sekolah full day membutuhkan pemikiran-pemikiran analitis dalam penyusunan rencana strategik yang membutuhkan kemampuan prediktif berdasarkan data dan fakta, sehingga kebutuhan-kebutuhan pelaksanaannya dapat terpenuhi pada saat ini dan masa yang akan datang. Namun kunci keberhasilan sekolah full day ini sebenarnya terletak pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengejawantahkan konsep-konsep ideal. Dengan kata lain, reliabilitas personal dan profesional para pengelola sekolah menjadi faktor dominan bagi tercapainya tujuan sekolah serta memberi kontribusi terbesar bagi peningkatan akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin.***
http://mkpd.wordpress.com/2007/05/21/menakar-kapitali-sasi-%E2%80%9Cfull-day-school%E2%80%9D/
_--- antara
Medan (ANTARA News) - Konsep pendidikan "Full Day School" yang diterapkan oleh beberapa sekolah swasta di Medan, Sumatera Utara, sangat diminati karena dianggap mampu mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik.
Konsep belajar sehari penuh di sekolah (full day school) ini dapat meningkatkan kreatifitas anak didik lebih cepat karena waktu mereka di sekolah lebih panjang. Selain diajarkan ilmu pengetahuan, mereka juga dididik ilmu agama sehingga seimbang, kata Kepala Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ilmi, Mus,ab Chaniago, di Medan, Rabu.
Bahkan, siswa tersebut tidak hanya dilatih agar pintar dalam ilmu eksakta atau sosial tetapi juga ilmu agama.
Siswa dididik tidak hanya berdasarkan pengetahuan keilmuan, tetapi juga ahklak dan moral serta budi pekerti yang luhur.
"Konsep ini mirip dengan yang diterapkan di pesantren selama ini, namun perbedaannya hanya terletak pada sistem pembelajarannya yakni penerapan pola pelajaran agama dan umum sama yakni 50:50 dan siswa tidak diinapkan di sekolah," katanya.
Menurut dia, konsep ini juga sekaligus membantu orang tua yang memiliki kesibukan di luar, tidak memiliki waktu penuh mengawasi anaknya karena anaknya dari pagi hingga sore hari dibawah pengawasan sekolah.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Medan, Matsyuhito Solin, mengatakan, pola pengajaran full day scholl sangat baik untuk memaksimalkan potensi pembentukan karakter siswa.
Sekolah tersebut diharapkan harus mampu membimbing dan membina anak-anak secara baik agar proses belajar itu dapat diterima siswa dengan baik.
Untuk itu, katanya, para guru dan kepala sekolah harus memikirkan program-program yang terukur dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Misalnya bagi sekolah berbasis agama, pendidikan keagamaan perlu lebih diperdalam karena sangat bermanfaat bagi pembentukan mental siswa.
DUNIA pendidikan kini tengah menggandrungi sekolah "full day system". Sekolah sehari penuh. Dimulai dari pagi hingga sore hari. Namun tidak sampai menginap. System ini ternyata disambut antusias oleh masyarakat meskipun biayanya selangit. Kenapa pesantren yang telah mapan memegang system ini, justru tidak diminati kebanyakan kalangan?
Sekolah dengan system sehari penuh (full day system) dianggap mampu mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik. (AntaraNews). Tetapi ada indikasi sekolah yang dikembangkan di berbagai wilayah besar Indonesia itu hanya trik dan akal-akalan bagi stackholder (pemodal) karena sekolah ini menerapkan biaya yang mahal dan digandrungi oleh sebagian besar orang tua yang sibuk bekerja. Sementara Dikbud sendiri sebenarnya tidak menganjurkan tetapi juga tidak melarang.
Awal mula jenis sekolah yang dianggap unggul itu pertama kali muncul pada pertengahan tahun 1990. Waktu itu dikenal dengan istilah excellent school yang tiba-tiba saja tumbuh subur seperti "jamur sembagi" di musim hujan. Waktu itu, sekolah yang mengembangkan system ini dirintis oleh swasta dan sekolah Islam dengan tarif biaya tinggi. Tentu saja menawarkan faslitas, eltis, ekslusif dan guru-gurunya diambil dari kalangan professional. Sekolah yang berkategori excellent ini sendiri belum teruji keunggulannya. Hal itu bisa dilihat dari sebuah penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Dari istilah excellent sechool ini kemudian digandrungi dan diminati oleh masyarakat dan tentu saja berkembanglah istilah ini sebagai sebuah gerakan (educational movement). Sekolah-sekolah yang dianggap mempunyai positioning di masyarkat itu berlomba-lomba membuat system sekolah unggul misalnya Istilah sekolah pulus,
Sejarah sekolah "plus" dimulai pada pertengahan 1990. Awalnya muncul istilah sekolah unggul an (excellent schools) yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sudah bisa dipastikan, sekolah ini dirintis oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah Islam dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba lux, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional.
Namun pada dasarnya, sekolah-sekolah yang berorientasi elitis-eklusif ini belum teruji keprofesionalannya. Indikasinya, terbukti dari adanya temuan penelitian Steenbrink (1986), seorang pastur dari Belanda yang sering mengkaji pendidikan Islam di Timur, tentang munculnya Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang bermutu tinggi di sejumlah kota besar di Indonesia yang mampu bersaing dengan sekolah dasar umum yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Gerakan rame-rame membuat sekolah unggulan ini kemudian dikembangkan dan diejawantahkan oleh pengelola pendidikan di tingkat satuan pendidikan (sekolah) dalam bentuk-bentuk sekolah yang mempunyai trademark di masyarakat, yang corak dan ragamnya kini sedang berkembang dan menjamur. Misalnya; sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melakat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
Nah pada sekolah full day ini dianggap sebagai model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 15.15 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB.
Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.
Nampaknya, dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kelangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal, sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.
Hemat penulis, sekolah full day seharusnya tidak hanya bersifat transaksional yang semata-mata memuaskan kebutuhan stakeholders sekolah, melainkan lebih dari itu yang bersifat transformasional yang sangat menekankan prestasi sekolah pada pada tataran unggul (excellence), atau jika memungkinkan, diarahkan pada tataran prestasi yang lebih tinggi levelnya. Dengan kata lain, sekolah full day itu ditandai oleh peningkatan yang terus menerus prestasi akademik maupun non akademik.
Pelaksanaan sekolah full day membutuhkan pemikiran-pemikiran analitis dalam penyusunan rencana strategik yang membutuhkan kemampuan prediktif berdasarkan data dan fakta, sehingga kebutuhan-kebutuhan pelaksanaannya dapat terpenuhi pada saat ini dan masa yang akan datang. Namun kunci keberhasilan sekolah full day ini sebenarnya terletak pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam mengejawantahkan konsep-konsep ideal. Dengan kata lain, reliabilitas personal dan profesional para pengelola sekolah menjadi faktor dominan bagi tercapainya tujuan sekolah serta memberi kontribusi terbesar bagi peningkatan akses masyarakat, khususnya masyarakat miskin.***
http://mkpd.wordpress.com/2007/05/21/menakar-kapitali-sasi-%E2%80%9Cfull-day-school%E2%80%9D/
_--- antara
Medan (ANTARA News) - Konsep pendidikan "Full Day School" yang diterapkan oleh beberapa sekolah swasta di Medan, Sumatera Utara, sangat diminati karena dianggap mampu mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik.
Konsep belajar sehari penuh di sekolah (full day school) ini dapat meningkatkan kreatifitas anak didik lebih cepat karena waktu mereka di sekolah lebih panjang. Selain diajarkan ilmu pengetahuan, mereka juga dididik ilmu agama sehingga seimbang, kata Kepala Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Ilmi, Mus,ab Chaniago, di Medan, Rabu.
Bahkan, siswa tersebut tidak hanya dilatih agar pintar dalam ilmu eksakta atau sosial tetapi juga ilmu agama.
Siswa dididik tidak hanya berdasarkan pengetahuan keilmuan, tetapi juga ahklak dan moral serta budi pekerti yang luhur.
"Konsep ini mirip dengan yang diterapkan di pesantren selama ini, namun perbedaannya hanya terletak pada sistem pembelajarannya yakni penerapan pola pelajaran agama dan umum sama yakni 50:50 dan siswa tidak diinapkan di sekolah," katanya.
Menurut dia, konsep ini juga sekaligus membantu orang tua yang memiliki kesibukan di luar, tidak memiliki waktu penuh mengawasi anaknya karena anaknya dari pagi hingga sore hari dibawah pengawasan sekolah.
Ketua Dewan Pendidikan Kota Medan, Matsyuhito Solin, mengatakan, pola pengajaran full day scholl sangat baik untuk memaksimalkan potensi pembentukan karakter siswa.
Sekolah tersebut diharapkan harus mampu membimbing dan membina anak-anak secara baik agar proses belajar itu dapat diterima siswa dengan baik.
Untuk itu, katanya, para guru dan kepala sekolah harus memikirkan program-program yang terukur dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Misalnya bagi sekolah berbasis agama, pendidikan keagamaan perlu lebih diperdalam karena sangat bermanfaat bagi pembentukan mental siswa.
Posting Komentar