Oleh Jabir Alfaruqi
ALQURAN ditutunkan kepada manusia untuk dibaca. Hal ini sesuai
dengan ayat yang pertama kali turun yakni perintah untuk membaca. Dengan
membaca itu manusia akan mendapatkan petunjuk akan segela sesuatu yang
dibutuhkan.
Tetapi bagaimana cara membaca Alquran yang benar dan cakupan apa saja
yang bisa disebut membaca? Apakah membaca itu sekadar mempelajari dan melafalkan
huruf-huruf yang tertulis secara fasih dan benar berdasarkan ilmu qiraah
dan ilmu taj-wid yang ada?
Apakah membaca itu harus dengan lantunan suara yang lantang, merdu,
memukau dan pe-nuh daya seni? Apakah membaca Alquran itu hanya bisa dilakukan
dengan mata kepala dan dibantu mulut saja atau bisa dilakukan dengan mata
batin, perasaan, pikiran dan intelektual yang dibantu dengan seperangkat
alat canggih?
Akhir-akhir ini umat Islam membaca Alquran sebatas membaca dengan mata
kepala yang dibantu dengan mulut beserta qiraah dan tajwidnya saja. Maka
wajar kalau membaca atau tadarus Alquran diidentikkan dengan melafalkan
dan melagukan. Membaca secara verbal belum il-miah. Inilah pangkal kemun-duran
umat Islam.
Membaca Alquran yang benar adalah menggunakan segenap panca indera disertai
dengan bantuan teknologi jika diperlukan sehingga manusia memiliki ke-mampuan
untuk mengetahui kandungan dan isinya bukan hanya terjemahan harfiahnya.
Misalnya saja pada awal surat AlBaqarah disebutkan:
Kitab(Alquran) ini tidak ada keraguan baginya, petunjuk bagi mereka
yang bertakwa yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib.
Dalam terjemahan Alquran yang diterbitkan oleh Mujamma' khadim al Haramain
asy Syarifain al Malik al Fahd li thibaíat al mushhaf asy syarif
(Kompleks Percetakan Alquran Khadim al Haramain asy Syarif Raja Fahd) di
Madinah menerjemahkan makna gaib dengan pengertian yang tidak bisa ditangkap
oleh panca indera.
Percaya kepada yang gaib yaitu meng-i'tikadkan adanya sesuatu yang
maujud yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera, karena ada dalil
yang menunjukkan kepada adanya Allah, Malaikat, hari akhir dan sebagainya.
Arti gaib di atas adalah makna terjemahan bukan pengertian yang didasarkan
pada kandungan maknanya.
Sebab ayat Allah itu ada dua yakni ayat yang dhahir dan gaib
(alam gaib dan makluk gaib). Alam gaib dan makhluk gaib tidak bisa dilihat
dengan mata ke-pala tetapi bisa dilihat dengan mata hati. Semua yang bersifat
makluk termasuk malaikat, surga dan neraka meskipun gaib karena berperan
sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah maka bisa dilihat.
Lalu mengapa mata batin manusia tidak bisa melihat? Jawabnya karena
mata batin manusia sekarang berlumuran dosa dan di-tutup dengan kesombongan
akan dirinya. Orang-orang suci (para nabi dan para sufi) mereka biasa berkomunikasi
dengan makluk lain termasuk malaikat dan biasa rekreasi melihat surga dan
neraka.
Logikanya semua alam gaib diciptakan oleh Allah adalah se-bagai tanda
kebesaran-Nya. Lalu bagaimana orang akan semakin yakin akan kebesaran Allah
kalau tidak bisa menyaksikan tanda-tandanya? Bagaimana manusia akan benar-benar
beriman dan bertakwa kalau tidak pernah menyaksikan betapa pedihnya orang
disiksa kalau melanggar ajaran Allah.
Barangkali model beragama gaya para Nabi, rasul dan sufi inilah yang
disebut beragama secara ilmiah. Orang yakin akan adanya yang gaib karena
mereka me-nyaksikan dengan mata batinnya. Sebaliknya, bagaimana beragama
bisa ilmiah kalau keyakinannya hanya didasarkan pada mitos atau yang penting
diyakini adanya yang gaib.
Keverbalan cara membaca Alquran inilah barangkali yang menyebabkan orang
sudah hafidz Alquran tetapi masih mau korupsi, sudah haji berkali-kali
masih suka menyikat uang rakyat dan sebagainya.
Ketidakmampuan mata hati manusia menyaksikan yang gaib sebagai ayat
Allah karena manusia kurang pas dan benar didalam membaca Alquran.
Jika bisa membaca dengan be-nar maka hanya Allah yang tidak bisa dilihat.
Makluk halus, alam lain bahkan kejadian-kejadian yang akan datang baik
yang ditemukan lewat teknologi dan kemukzijatan Allah akan diperoleh bocorannya.
Dulu umat islam bisa memimpin peradaban karena bisa membaca Alquran dengan
benar.
Orang sekarang membaca Alquran hanya dengan mata kepala dan mulut tidak
mengikutsertakan hati, perasaan dan pikiran. Model seperti ini menjadikan
manusia sulit menemukan hati dan jantungnya Alquran. Sebab hati dan jantungnya
hanya bisa dibaca dengan menggunakan mata hati dan perasaan. Ketika mata
hati manusia tertutup, maka tertutup pula kunci dan pintu rahasia untuk
memahaminya.
Secara ilmu pengetahuan, tertinggalnya umat Islam dengan bangsa lain
karena umat Islam ti-dak mau membaca kandungan Alquran dengan teknologi.
Misi ilmiah, misi sosial-kemanusiaan tidak dipahami lewat penelitian yang
akurat sehingga umat tercerahkan.
Sekarang Alquran diagung-kan dengan bacaan, ditulis de-ngan tinta emas,
diukir indah bernilai seni dan ekonomis tinggi tetapi tidak diagungkan
isinya, perintahnya dan tujuannya.
Alquran menjadi benda mati bukan benda hidup dan berkembang isinya.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya kita takut dengan sabda Nabi yang
artinya kurang lebih : banyak orang membaca Alquran tetapi Alquran sendiri
justru melaknatinya. Semoga kita terhindar dari ancaman ini.
Jadi dangkal atau dalamnya pengetahuan seseorang akan makna Islam tergantung
sejauhmana memahami kitab sucinya. Maka ingat pesan almarhum Prof.Dr. Nur
Cholish Madjid kepada dua anaknya agar belajar bahasa Arab supaya mengerti
kandungan Alquran. Sebab dengan mengerti kandungan Alquran manusia akan
bisa mengerti hakikat kehidupan beserta rahasianya. (11)
- Jabir Alfaruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan
(LSAP) Semarang.
Posting Komentar