Oleh: Redaksi
KOMUNITAS  tarekat dunia merasa "iri" dengan keberadaan tarekat di Indonesia yang bisa bersatu padu membangun negeri dan individu secara sinergis dalam naungan satu wadah bernama Jatman. Sementara kalangan tarekat di luar Indonesia berdiri sendiri tanpa ikatan. Kalangan pengikut tarekat sendiri merasakan ketenangan ketika kehidupan syariat dipadu dengan tasawuf.



“Para ulama dari Marokko dan Tunisia pada bertanya, kok bisa menyatukan Naqsabandiyah dan Tijaniyah. Disana semuanya berdiri sendiri-sendiri,” ungkap KH Yusuf Khumaidi seperti dikutip NU Online saat mempersiapkan acara Munas Jatman pada 26-28 Juni di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.

Jatman adalah singkatan dari Jamiyyah Ahlut Thariqah al Mu’tabarah an Nahdliyyah yang dipimpin oleh Al Habib Lutfi bin Yahya, seorang ulama dari Pekalongan yang mempunyai kerabat dekat dengan ulama Cirebon dan Buntet Pesantren. Anggota Jatman ada sekitar 40 tarekat yang mu'tabarah dimana tumbuh subur makmur di Indonesia dan bersinergi dalam membangun negeri dan Individu.

Keberadaan gerakan tarekat ini sendiri tidak saja berjihad untuk terus menekuni ibadah namun juga banyak berkembang tarekat di Indonesia itu melawan kolonial Belanda seperti tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah di Banten yang dipimpin oleh Maulana Syekh Abdul Karim.  DI Buntet Pesantren sendiri, KH. Abbas yang juga sebagai mursyid tarekat,  juga memimpin pemberontakan penajajah pada 10 November 1945 di Surabaya.

Eksistensi Jatman ini  telah menginspirasi para penganut tarekat di sejumlah negara Timur Tengah untuk membuat organisasi yang sama. Mereka telah bertemu dengan Rais Aam Jatman Habib Lutfi bin Ali bin Yahya untuk mengetahui konsep pengorganisasian jamaah tarekat.

“Kita juga berupaya mengembangkan jaringan ini ke luar negeri yang akan dibahas dalam munas ini,” ujar Habib yang suka berkunjung ke Buntet Pesantren ini.

Seperti diketahui, tarekat yang tergabung dalam Jatman meliputi tarekat muktabarah yang mencakup sebanyak 40 aliran tarekat yang para mursyidnya memiliki garis keturunan dengan rasulullah. Tarekat ini dianggap sesuai dengan ajaran Islam, bukan merupakan aliran sinkretisme dengan budaya lokal.

Ketenangan
Para ulama dari Nahdlatul Ulama juga orang-orang pesantren hampir semuanya menekuni kegiatan bertarekat. Dengan bertarekat dianggap mampu membawa dampak positif untuk terus menerus menyadari eksistensi kehambaan diri dan menyadari kelemahan di hadapan Allah SWT. Dampak lain seperti diakui oleh para pengikut tarekat adalah hidup penuh ketenangan, tidak brangasan dan tidak curigaan atau bahkan kecemasan.

"Saya baru enam bulan mengikuti tarekat, saya mengambil guru yaitu KH. Abdul Hamid Anas (Kyai Hamid) di Buntet Pesantren dan tarekat saya berbeda dengan suami. Jika suami ikut Tijani kalau saya mengikuti tarekat Ayah saya yaitu Syatariyah."  Ungkap Kang Nuning kepada redaksi.

Menurutnya, ketenangan itu misalnya jika dahulu, saya sangat menghwatirkan jika suami saya pergi jauh perasaan yang timbul adalah khawatir macam-macam menghantuiku. Namun kini, setelah mendalami dzikir dari tarekat, saya lebih enjoy dan tenang menghadapi tugas-tugas suami di tempat jauh.  "Yang ada di hati saya adalah bagaimana berdo'a kepada Allah swt, agar suami saya dilindungiNya baik dalam perjalanan maupun dalam tugas-tugasnya" kata isteri anggota DPR beranak satu ini  penuh mantap.

Lebih lanjut ia merasakan hidup berumah tangga jadi fresh always. maksudnya cinta-mencintai lebih mendalam baik kepada suami juga kepada Allah SWT. "Dalam hidup berdampingan bersama suami, biasanya saya merasa dicuekin, karena suami berdzikir lama banget setiap malam Jum'at  padahal sudah waktunya tidur. Namun kini, setelah sama-sama mendalami tarekat, saya merasa maklum karena saya sendiri pun juga sibuk berdzikir baik setiap habis shalat maupun malam-malam lainnya."  Ujar putri kelima alm. almaghfurlah, KH. Fuad Hasyim di rumah kediamannya ketika redaksi menerima Laptop sumbangan buat redaktur website Buntet. (Kurt)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama