Oleh:
Ahmad Irvan Maulana, SH
Bahan Bakar Minyak (BBM) sekarang sudah naik
pangkat "setinggi langit". Harga sekarang sudah mencapai $140/barel (aaaargh ). Parahnya, kebijakan menaikkan BBM oleh Presiden dan wakilnya
mengundang protes bukan saja para mahasiswa, tetapi juga anggota DPR di hampir
semua fraksi kecuali Golkar dan Partai Demokrat. "Keroyokan" politik
atau bukan, hak angket ini dikhawatirkan berimbas pada impachment
(pemakzulan) alias penurunan jabatan Presiden. Wah bisa seperti zaman Gus Dur
dong yah.
Dari tayangan televisi berkali-kali, juga
koran-koran yang membahas masalah ini ada kehawatiran kalau hak angket yang
semula sebagai bentuk dari hak bertanya wakil rakyat pada kebijakan Presiden
yang dianggap melanggar undang-undang itu menjadi kehawatiran dari pihak yang
tidak setuju dalam hal ini adalahpartai Golkar.
Ada banyak pertanyaan di benak kita, untuk apa
sebenarnya hak angket itu diizinkan oleh sebagian besar anggota dewan
terhormat. Lalu pertanyaan berikutnya, apakah hak angket itu memang sengaja
dikemas sebagai pintu masuk untuk bisa memberikan mosi tidak percaya kepada
Presiden yang berujung pada pemakzulan. Atau sampai sejauhmana penggunaan hak
angket itu apakah hanya sekedar mengoreksi Presiden ataukah sekedar promosi
partai menjelang pemilu 2009?
Beberapa alasan diajukannya hak angket ini, diantaranya karena
pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak tanpa memberikan
penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu pemerintah
dianggap melakukan tindakan inkonstitusional karena tidak mendapat
persetujuan dari DPR. Pemerintah juga dianggap melanggar UU No.36 tahun
2004 dan UU No. 17 tahun 2004 tentang APBN. Dalam kedua undang-undang
tersebut diatur mengenai asumsi-asumsi dasar yang harus disepakati. (Tempo)
Namanya politik penuh liku-liku. Bagaimana tidak,
partai pilar Presiden seperti PKS, PAN dan PPP semula tidak mau mengikuti hak
angket namun tiba-tiba -apakah tekanan mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat
ataukah memang panggilan nuraninya sendiri- mereka tiba-tiba berubah haluan
dengan setuju untuk menggunakan hak angket kepada Presiden. Alasan yang
dikemukakan adalah karena perubahan yang tiba-tiba dalam lobi-lobi. Lagi-lagi,
lobi memang dahsyat.
Sedangkan kalangan yang beroposisi dengan pemerintah seperti PKB dan PDIP sudah jelas hak angket harus dikedepankan. Bahkan keluarga besar Nahdiyin mendukung hak angket. Mereka terdiri dari GP Ansor, Fatayat NU, Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri NU, Lembaga
Kemaslahatan Keluarga NU, The Wahid Institute, Desantara dan
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Sebenarnya dari pengakuan mayoritas anggota DPR
yang setuju hak angket PKB, PDIP dan lainnya adalah untuk mengungkapkan misteri
di balik kenaikan harga BBM. Salah satu asumsi yang dimunculkan, masalah BBM
bukan karena kenaikan harga minyak global semata, melainkan juga terkait
penurunan produksi minyak beberapa tahun terakhir.
Tentu saja bagi presiden, hak angket adalah semacam ancaman kekuasaan. Sejauh ini, kalangan
di sekitar presiden masih sangat yakin bola salju politik tidak akan menjadi
besar, hingga bisa menjatuhkan kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Hal ini karena mengacu pada sistem presidensial, bahwa pemakzulan
(impeachment) bisa dilakukan jika presiden melanggar, mengkhianati negara,
melakukan KKN, menyuap, dan melakukan pidana berat.
Namun dalam dunia politik, apapun bisa berubah
seketika.Pelajaran yang masih terngiang di telinga, menunjukkan kasus Bulog
Gate dulu bisa menjadi senjata menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid. Nah,
pada kasus BBM ini bisa jadi merupakan pintu masuknya yang sama dengan Bulogate
yaitu hak angket. Tentu saja, siapa yang memenangkan ajang tanding politik
kekuasaan, dialah yang menghegemoni kebenaran.
Tapi itu hanya kehawatiran yang berlebihan, dari
beberapa dialog di televisi misalnya menurut Efendi Khori, anggota dewan dari
FKB, menyatakan bahwa hak angket itu sendiri sebenarnya adalah untuk menolong
Presiden. Sebab nanti dalam penyelidikan terhadap kasus naiknya harga BBM dan
merosotnya sumber daya minyak dalam negeri akan diektahui oleh semua pihak.
Dengan demikian pemerintah dianggap akan bisa bekerjasama dengan DPR dan
kalangan dewanpun bisa memberikan solusi-solusi yang berarti.
Sementara itu, dari Fraksi PDIP, seperti dalam
debat terbuka di televisi beberapa hari lalu menyatakan bahwa kebijakan
menaikkan harga BBM itu sendiri tidak banyak memberikan keuntungan yang berarti
bagi rakyat. Kelebihan dari subsidi yang mendapat kelebihan untuk APBN hanya 10
trilyun dianggap kecil. Karenanya, kebijakan pemeritah menaikkan BBM itu tentu
akan menyengsarakan rakyat. Padahal baik PKB maupun PDIP, sebenarnya banyak
cara selain menaikkan harga BBM, namun pemerintah dinilai jalan sendiri dan
menganggap bahwa menaikkan harga BBM sebagai satu-satunya jalan menyelamatkan
APBN negara yang semakin kalut.
Ya sudahlah, bola sudah digelindingkan tinggal
bagaimana Presiden bisa memberikan keyakinan kepada wakil rakyat yang akan
menggunakan hak angket itu. Kita sepakat bahwa bangunan politik itu mestinya
dibangun bukan dalam wacana saling menjatuhkan tetapi bagaimana bisa memberikan
keterbukaan publik. Baik presiden maupun DPR, sama-sama bersinergi itulah yang
seharusnya dikedepankan bukan lagi kasus ini sebagai promosi politik menjelang
2009.
Kita juga berharap, jangan sampai ada lagi
jatuh-bangun kekuasaan (ingat lagu Kristina tkah), yang menambah daftar
sengsaranya masyarakat. Kedewasaan politik hanya bisa terwujud jika
parpol-parpol yang menjadi aktor dalam mengembangkan pemerintahan yang sehat
dan stabil. Banyak wacana yang dimunculkan, seperti koalisi permanen. Bukankah
kita bisa belajar bagaimana pertandingan Eropa dimana politik juga harus fair
sebagaimana main bola. Wallahu a'lam.
Ahmad Irfan Maulana, SH. Almuni Univ. Islam Malang (UNISMA) th. 2005 kini aktif mengajar di Asrama dan sekolah di lingkungan Pondok Buntet Pesantren.
Posting Komentar