Oleh: Dr. Komaruddin Hidayat
COBA hitung dan renungkan, berapa banyak kita berbuat salah dan
menyinggung perasaan orang setiap harinya? Entah kepada
keluarga,teman,mitra kerja,atau anak buah.
Lalu, jumlahkan kesalahan itu setiap akhir pekan
atau akhir bulan.Bayangkan,andaikan dalam komunikasi sosial tak ada
kata maaf, entah dalam konteks minta maaf atau memberi maaf, betapa
pengap dan tidak nyaman suasana serta relasi sosial di antara kita
semua. Maaf merupakan kata magis, apalagi diucapkan sepenuh hati,
membuat manusia semakin menjadi manusia. By forgiving one to another,we
are all becoming more human. Orang yang enggan atau bahkan tidak pernah
meminta maaf kepada orang lain pasti jiwanya tidak sehat.
Kepribadiannya
mentah. Sebab, sesungguhnya tiada hari kita tidak berbuat salah,
sengaja atau tidak sengaja, dan menyinggung perasaan orang lain yang
ada di sekeliling kita.Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin banyak
teman dan anak buah, maka semakin banyak pula seseorang berbuat salah,
sehingga mestinya semakin banyak pula sering meminta maaf.
Di
sisi lain, orang yang enggan dan pelit memberi maaf, jiwanya kurang
sehat, karena lama-kelamaan endapan kesal, kecewa, dan benci kepada
seseorang akan terasa semakin berat dan menjadi beban pikiran serta
perasaan.
Orang yang memaafkan secara tulus
sesungguhnya akan menyehatkan dirinya sendiri, karena dengan memaafkan,
berarti dia mampu menerima kenyataan pahit, kemudian berusaha
melupakan, dan seterusnya membuka lembaran baru yang putih dan segar.
Dengan demikian, memaafkan, melupakan, dan membangun lembaran baru di
hari esok adalah sumber kesehatan seseorang, masyarakat dan bangsa.
Tindakan
memaafkan juga meringankan beban psikologis yang akan menyehatkan.
Tentu saja, memaafkan yang sehat ada kalanya mesti disertai hukuman dan
kemarahan sebagai pendidikan bagi mereka yang berbuat salah. Saya
sering merenung, apakah bangsa ini mampu memaafkan terhadap sesamanya
ataukah lebih senang balas dendam?
Memaafkan
itu bukan aib, bukan pula menunjukkan pribadi yang lemah. Sebaliknya,
hanya mereka yang lapang, berjiwa besar, dan memiliki rasa percaya diri
serta menjalani hidup dengan ikhlas yang akan bisa memaafkan orang
lain. Mungkin Nelson Mandela termasuk pribadi yang mampu memaafkan
lawan-lawan politiknya sehingga jiwanya pun tampak sehat.
Berterima Kasih
Pasangan
dari maaf adalah terima kasih. Kata ini juga memiliki kandungan makna
yang amat mulia dan dalam. Jika kata maaf menyadarkan betapa kita
sering membuat salah dan menyakiti orang lain, dalam kata terima kasih
mengingatkan kita betapa banyak setiap harinya
seseorang menerima kebaikan hati dan pertolongan orang lain. Kita tidak
bisa hidup tanpa bantuan dan kebaikan hati orang lain.
Semakin
tinggi jabatan seseorang, semakin banyak memerlukan bantuan orang lain,
sehingga mestinya semakin banyak pula menyampaikan rasa terima kasih
kepada teman-teman atau keluarga yang telah memberi pertolongan.
Menarik direnungkan, apa pun pemberian orang,dijawab dengan ungkapan
”terima kasih”. Entah pemberian itu berupa tenaga,materi, moral, dan
bentuk apa pun lainnya, semuanya dijawab dengan kata terima kasih,
bukannya menyebut materi yang diberikan.
Apa
makna dan rahasia di balik ini semua? Maksudnya, dalam relasi sosial
kita mesti saling berbagi cinta kasih. Dengan dorongan kasih itulah,
kita tergerak untuk membantu orang lain sesuai dengan konteks dan
kemampuan. Jadi, adalah kasih yang mendorong kita menolong orang
lain,sehingga yang menerima akan merasakannya dan menjawab dengan kata
”terima kasih”.
Tanpa cinta kasih, perbuatan kita
kehilangan makna dan efek positifnya menguap.Jalinan cinta kasih di
antara kita yang terdalam adalah jika energi dan relasi kasih itu
merupakan pancaran dari kasih Tuhan. Bukankah setiap melakukan
perbuatan yang baik, kita dianjurkan mengucapkan
”Bismillahirrahmanirrahim”?
Maksudnya,
hendaknya orang yang beriman menjadi penerus sifat kasih-Nya untuk
menanamkan dan menyebarkan di manapun kita berada, dimulai dari
kehidupan keluarga, tempat bekerja,lalu melebar dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Rasanya kehidupan bangsa ini sedang
diterpa krisis nilai dan kejiwaan, enggan untuk saling memaafkan dan
saling berterima kasih secara tulus.
Tanpa kedua
nilai dan sikap itu, betapa pun melimpahnya sumber alam Indonesia, maka
tidak akan mendatangkan kedamaian. Betapa pun kaya,pintar, dan tampan
serta cantiknya pasangan suami-istri, kalau masingmasing egois, enggan
saling memaafkan dan berterima kasih, maka pertengkaran dan perceraian
yang terjadi. Coba perhatikan, pribadi yang matang, bangsa yang
beradab, dan politisi yang berkualitas selalu keluar dari lisannya
ucapan maaf dan terima kasih.
Contoh yang
paling mutakhir adalah hubungan sosial-politik Hillary dan Obama.Betapa
ketat dan mahalnya persaingan antara keduanya untuk memperebutkan
posisi sebagai calon dari Partai Demokrat untuk menuju Gedung Putih.
Namun, persahabatan dan persaingannya sangat memukau, penuh kecerdasan
dan kesantunan dalam berpolitik.
Ketika Hillary
kalah, dia memuji Obama dan menyatakan siap membantu sepenuhnya. Begitu
pun Obama, dia sangat berterima kasih atas persahabatannya dan
dukungannya dalam proses konvensi yang amat mahal itu. Dari segi ajaran
dan nilai, para pengkhotbah baik di masjid, gereja, maupun wihara
selalu menekankan agar kita saling memaafkan dan berterima kasih.
Kalau
saja nilai dan sikap ini dihayati dan dipraktikkan,sejak lingkungan dan
komunitas terdekat, pasti akan tercipta suasana yang damai,nyaman,dan
kondusif untuk berprestasi.Sebaliknya, kebencian dan perasaan tidak
dihargai akan membuat suasana tidak produktif bahkan cenderung saling
menjegal.Maaf dan terima kasih yang disampaikan secara tulus akan
membuka katupkatup penghubung empati dan simpati di antara kita yang
sudah tertutup.
Energi maaf dan terima kasih
akan memperlebar saluran sambung rasa positif yang semula menyempit.
Akan lebih terasa kalau ekspresi maaf dan terima kasih diperkuat dengan
tatapan mata simpati, senyum apresiasi, dan jabat tangan persahabatan,
terjadilah pergeseran dari rasa ”ke-aku-an” menjadi ke ”ke-kami-an”dan
”ke-kita-an”.
Energi semacam inilah yang mesti
kita sebarkan di Indonesia saat ini. Sebagai umat yang beriman,
ditambah lagi melihat kondisi bangsa yang berjalan tertatih-tatih di
tengah negara- negara lain yang berjalan melaju,tidak layak dan hanya
merugi memelihara sikap saling membenci, memfitnah, dan menjatuhkan
pesaingnya setiap ada peluang untuk berebut kursi kekuasaan,baik
sebagai bupati, gubernur, maupun presiden. Persaingan dan kompetisi itu
perlu, bahkan suatu keharusan.
Namun,mari kita
buat kompetisi itu indah dan meriah bagaikan festival permainan sepak
bola Eropa yangkitanikmatibeberapapekan ini. Siapa pun yang menang,
mesti berterima kasih kepada yang kalah, karena tanpa lawan tanding
tidak akan ada sang juara. Masingmasing saling memuji dan bersikap
sportif di depan publik dan wasit.
* Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kliping dari Koran SINDO, 27 Juni 2008
Posting Komentar