Oleh: Fitri Kamalia
SUHU "politik - keagamaan" saat ini masih memanas, setidaknya dalam menyikapi kasus Ahmadiyah dan tertangkapnya Habib Rizieq Shihab dan Munarman. Namun aktivitas para pembimbing majlis ta'lim di kota masih ada yang terus membakar jamaahnya agar terus "berjihad". Sikap berbeda ditunjukkan pesantren di desa, para kyainya tidak menghasut.




Hari ini, pagi tadi saya tidak sengaja memutar radio RASfm Jakarta 
pada gelombang 95.5 MHz (RASfm Jakarta / PM2FPD). Saat itu terdengar
jamaah tengah berdzikir dan istighosah mendoakan umat Islam. Setelah
itu sambutan dari para pembicara ada dari FUI dan FPI. Dalam
sambutannya itu  terdengar mengajak
masyarakat dimana saja untuk datang datang berdemo pada hari Rabu depan menuntut
pembubaaran Ahmadiyah meskipun sudah ada SKBnya dan membebaskan Habib Rizieq dan Munrman. Demo itu katanya sebagai tindakan jihad. Seperti biasa suara Takbir menggema.

Bagi yang bisa datang nanti pada hari Rabu silahkan datang namun bagi
yang tidak bisa, sediakanlah dana, atau makanan untuk membantu kita
yang siap datang untuk berjihad nanti pada hari Rabu di depan Istana.
Begitulah kira-kira kutipan yang bisa saya tangkap dari radio Rass FM
yang diucapkan oleh salah satu pengurus Front Pembela Islam (FPI) yang saat
itu diberi kesempatan berbicara di hadapan jama'ah.

Bahkan salah satu pembawa acara berkata kepada pendengar radio agar
suara pengajian itu direlai di masjid-masjid dengan menghidupkan
speaker dan dihidupkan speaker masjidnya keras-keras untuk mendengarkan
pengurus FUI dan FPI berpidato berapi-api padahal saat itu kira-kira
pukul 9 pagi.

***

Apa yang dilakukan oleh jamaah "santri" kota dan "kyainya" itu menurut
saya wajar karena memang karakter dan gaya pengajian yang biasa dipakai
di kota-kota tidak jarang seperti itu. Jika ada suhu politik yang
menyulut umat Islam, reaksi pembina majlis ta'lim kota seperti itu.
Sayangnya para jamaah hanya mengetahui dari sisi gurunya saja. Kasihan
para jamaah yang semula tidak paham, kemudian diberi informasi yang
berapi-api sehinggalah terbakar emosinya. Tidak heran kemudian jika
para jamahnya itu bertidak melebihi pekikan para gurunya.

Dalam pengajian itu dari FPI mengklarifikasi tentang kejadian Monas yang dianggap tidak adil. Karena menurutnya anak-anak tidak dilukai dan intinya, kekerasan Monas itu bukan FPI pelakunya karena bukti jelas dimana anak-anak tidak ada yang luka. Demikian informasi itu disampaikan kepada Jamaah. Kemudian jaamah digiring pemikirannya terhadap Ahmadiyah yang jelas-jelas menodai akidah sehingga harus dibubarkan tanpa memberi solusi seperti apa cara membubarkannya. Terkahir, memberikan keyakinan bahwa Habib Rizieq dan Munarman itu adalah orang baik dengan pelan dan meyakinkan. Karena orang baik, maka polisi itu dianggap salah menangkap beliau sebab kedua orang inilah yang membela Islam. Allahu Akbar! Begitulah pengajian itu sekilas saya dengar seperti itu. Maaf ya kalau salah pendengaran saya.

Berbeda dari majlis di tempat lain yang tidak membakar jamaahnya. Seperti di kota atau di desan. Para santri di pondok Pesantren
melihat masalah ini juga memanaskan. Misalnya Banser, PMII dan Garda
Bangsa. Merekapun bereaksi keras. Namun buru-buru dengan sigapnya KH.
Hasyim Muzadi melarang tindakan para Nahdliyin itu agar jangan
ikut-ikutan bereaksi keras. Sebab masalah itu pertikaian antara AKKBB
dan FPI. "Jangan bawa-bawa NU" kata kyai Hasyim.

Berbeda lagi dengan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat Pemuda
Ansor bergerak dan berusaha ingin membubarkan FPI dengan mendatangi
markas FPI di daerah, justru Gus Dur berkata: "Banser itu iri kepada
FPI karena FPI lebih solid." Intinya Gus Dur tidak ingin para warga NU
itu ikut-ikutan bertindak kasar kepada organisasi atau orang lain.

Begitu pula di Buntet Pesantren para kyainya menahan para santri agar
tidak terjerumus untuk ikut-ikutan menyikapi kekerasan dengan
kekerasan. Dengan mengarahkan para santrinya untuk tidak bertindak anarkis merupakan kebiasaan kyai Buntet. Dalam sejarah banyak sekali dicatat meski dalam sanubari penyaksi sejarah bagaimana kyai-kyai Buntet itu menjadi juru damai dan perdamaian. Namun mengungkap bukti-bukti sejarah yang bagus ini juga dipesan kyai jangan diungkap. Mungkin para kyai berargumentasi bahwa kebaikan itu sebaiknya disembunyikan dan hanya Allah yang Maha Kuasa yang mengetahui.

Memasrahkan persoalan Ahmadiyah dan FPI kepada pemerintah merupakan
inti dari ucapan Kyai Hasyim kepada warga Nahdiyin. Jadi buat apa
bersusah-susah dan ikut-ikutan beradu otot.

Namun yang membingungkan adalah bagaimana sikap dan tindakan kyai-kyai dari kota itu. Baik yang terlibat
dalam organsasi "laskar" maupun yang hanya ikut-ikutan, terus-menerus
membakar massa jamaahnya untuk berjihad. Padahal yang akan dijihadi itu
juga adalah orang-orang bangsa sendiri.

sayangnya pula jihad dalam pengertian yang kabur dan tidak diterangkan
oleh habib dan kyai yang saat itu berceramah. Para habib dan kyai itu
hanya mengatakan "mari berjihad!" padahal maksudnya adalah ajakan
berdemo dan memaksa pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah dan
membebaskan Habib Rizieq serta Munarman.

Yah lagi-lagi, tulisan ini bukan untuk memancing kisruh, tetapi hanya
sebagai ungkapan rasa "mengurut dada" melihat keadaan yang kian tidak
kondusif. Padahal jika semuanya bisa bersabar, para jamaah tidak
dibakari semangatnya untuk "membenci orang lain" dan para kyai yang
berceramah di majlis ta'lim kota itu memberikan kedamaian dan kesejukan
dalam ceramahnya Insya Allah tidak separah ini.

Namun sekali lagi, karakter dalam ilmu pesikologi susah berubah.
Karenanya, istilah guru kencing berdiri murid kencing berlari hawatir
berlaku di sini. Jika gurunya mengartikan jihad dengan demo, maka
dihawatirkan muridnya akan mengartikan jihad itu dengan melukai orang
yang dianggap kafir.

Akhinrya, selama pemerintah masih tetapi diam dan selama warga yang
mendengar ceramah itu enjoy-enjoy saja, merasa dibela hak-haknya, maka
tunggulah saat dimana pendidikan masyarakat Islam semakin runyam. Bukan
damai yang ada tetapi justru rasa dendam membakar.  Maaf bila tulisan menyinggung pihak-pihak tertentu. Wallahul muwaffiq
ilaa aqwamittariq.


Fitri Kamalia,
anake wong Buntet tinggal di Jakarta.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama