Oleh: M. Kurtubi
KPU telah gagal menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu 2009. Angka 34 yang lulus verifikasi menunjukkan kegagalan elit. Namun keputusan sudah final, Indonesia menurut KH. Hasyim Muzadi berarti lebih suka kembali ke masa lampau yaitu menganut sistem multipartai yang gagal.
Masa 1950-an itu sejumlah partai politik telah gagal menerapkan demokrasi yang akhirnya memunculkan dekrit presiden. Di masa kini juga, dengan multi partai yang begitu banyak, menurut Kyai ketua PBNU itu, lembaga seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif sifatnya lemah karenanya tidak efektif.
Menurut hemat kami, pernyataan kyai Hasyim ini sangat tepat karena memang demikian kondisi negara ini. Legislatif yang banyak itu terdiri dari partai-partai yang saling beradu argumen. Kekuatan untuk bisa menggalang sebuah keputusan tidak serta merta bisa lolos dengan mudah namun harus melalui perjalanan interupsi di mana-mana guna memuaskan seluruh anggtota dewan.
Antara legislatif dan eksekutif pun juga demikian. Ketidak harmonisan terjadi apabila ada masalah yang tidak cocok di sana. Semisal adanya ketidak puasan masalah kenaikan harga BBM. Pihak legislatif berhak mengajukan hak angket guna membongkar habis akar masalah kenaiakan itu apakah sesuai hukum atau tidak. Pada kasus ini sangat tepat namun yang dicurigai bukan semangat kinerjanya tetapi nuansa politisnya lebih kentara.
Kita masih ingat saat Presiden KH. Abdurrahman Wahid dilengserkan, gara-gara terkait kasus Buloggate, memicu pemakzulan. Waktu itu seluruh partai di legislatif beramai-ramai untuk berusaha menutupi segala macam argumen dan tujuan akhirnya adalah keputusan politik kekuasaan yaitu presiden harus lengser.
Menurut hemat penulis, demokrasi yang terdiri dari banyak partai inilah penyebab kurang efektifnya lembaga negara untuk bisa bekerja dengan baik. Kita bisa melihat bagaimana Amerika yang hanya 2 partai bermain cukup elegan.
Kita juga bisa belajar bagaimana awal pertarungan antara Barrack Obama dengan Ny Clinton itu begitu sengit di media, namun tetap bermain dengan apik. Terbukti saat kalah Ny. Clinton itu benar=benar mengakui kekalahannya dan justru berbalik 180 derajat mendukung Obama untuk menjadi presiden.
Multi partai yang disemangatkan di masa reformasi ini seharusnya bisa lebih efektif dan bisa belajar dari masa lampau. Tapi lagi-lagi kekuasaan yang bermain dalam tataran nafsu berkuasa rupanya mendominasi gelagat (fenomena) perpolitikan indonesia.
Meski demikian banyak rakyat merasa tidak menguntungkan adanya politik itu sendiri. Bagi mereka perbaikan eknomi, lapangan kerja dan rasa aman merupakan tujuan untuk mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan, untuk mengarungi hidup.
Namun bagi para elit partai, rakyat justru menjadi raja bagi mereka. Rakyat diperlakukan sebagai obyek yang dipercaya akan memuluskan jalan ke "surga" kekuasaan.
Para elit partai apalagi yang baru mestinya belajar bagaiaman rakyat sudah tidak banyak yang peduli dengan politik atau partai sekalipun. Bukti baru seperti pemilu kepala daerah di Jawa Tengah lebih dari 45% golput. Ini tentu bukan salah rakyat itu sendiri, tetapi karena sistem demokrasi multipartai yang membuat mereka bingung.
Akanakh kebingungan ini menjadi bola salju yang memicu lahirnya angka golput yang makin besar? wallahu a'lam.
KPU telah gagal menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu 2009. Angka 34 yang lulus verifikasi menunjukkan kegagalan elit. Namun keputusan sudah final, Indonesia menurut KH. Hasyim Muzadi berarti lebih suka kembali ke masa lampau yaitu menganut sistem multipartai yang gagal.
Masa 1950-an itu sejumlah partai politik telah gagal menerapkan demokrasi yang akhirnya memunculkan dekrit presiden. Di masa kini juga, dengan multi partai yang begitu banyak, menurut Kyai ketua PBNU itu, lembaga seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif sifatnya lemah karenanya tidak efektif.
Menurut hemat kami, pernyataan kyai Hasyim ini sangat tepat karena memang demikian kondisi negara ini. Legislatif yang banyak itu terdiri dari partai-partai yang saling beradu argumen. Kekuatan untuk bisa menggalang sebuah keputusan tidak serta merta bisa lolos dengan mudah namun harus melalui perjalanan interupsi di mana-mana guna memuaskan seluruh anggtota dewan.
Antara legislatif dan eksekutif pun juga demikian. Ketidak harmonisan terjadi apabila ada masalah yang tidak cocok di sana. Semisal adanya ketidak puasan masalah kenaikan harga BBM. Pihak legislatif berhak mengajukan hak angket guna membongkar habis akar masalah kenaiakan itu apakah sesuai hukum atau tidak. Pada kasus ini sangat tepat namun yang dicurigai bukan semangat kinerjanya tetapi nuansa politisnya lebih kentara.
Kita masih ingat saat Presiden KH. Abdurrahman Wahid dilengserkan, gara-gara terkait kasus Buloggate, memicu pemakzulan. Waktu itu seluruh partai di legislatif beramai-ramai untuk berusaha menutupi segala macam argumen dan tujuan akhirnya adalah keputusan politik kekuasaan yaitu presiden harus lengser.
Menurut hemat penulis, demokrasi yang terdiri dari banyak partai inilah penyebab kurang efektifnya lembaga negara untuk bisa bekerja dengan baik. Kita bisa melihat bagaimana Amerika yang hanya 2 partai bermain cukup elegan.
Kita juga bisa belajar bagaimana awal pertarungan antara Barrack Obama dengan Ny Clinton itu begitu sengit di media, namun tetap bermain dengan apik. Terbukti saat kalah Ny. Clinton itu benar=benar mengakui kekalahannya dan justru berbalik 180 derajat mendukung Obama untuk menjadi presiden.
Multi partai yang disemangatkan di masa reformasi ini seharusnya bisa lebih efektif dan bisa belajar dari masa lampau. Tapi lagi-lagi kekuasaan yang bermain dalam tataran nafsu berkuasa rupanya mendominasi gelagat (fenomena) perpolitikan indonesia.
Meski demikian banyak rakyat merasa tidak menguntungkan adanya politik itu sendiri. Bagi mereka perbaikan eknomi, lapangan kerja dan rasa aman merupakan tujuan untuk mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan, untuk mengarungi hidup.
Namun bagi para elit partai, rakyat justru menjadi raja bagi mereka. Rakyat diperlakukan sebagai obyek yang dipercaya akan memuluskan jalan ke "surga" kekuasaan.
Para elit partai apalagi yang baru mestinya belajar bagaiaman rakyat sudah tidak banyak yang peduli dengan politik atau partai sekalipun. Bukti baru seperti pemilu kepala daerah di Jawa Tengah lebih dari 45% golput. Ini tentu bukan salah rakyat itu sendiri, tetapi karena sistem demokrasi multipartai yang membuat mereka bingung.
Akanakh kebingungan ini menjadi bola salju yang memicu lahirnya angka golput yang makin besar? wallahu a'lam.
Posting Komentar