Oleh: Fitri Kamalia





BILA ajang pemilihan wakil rakyat 2009 diibaratkan dengan dunia bisnis, maka para wakil rakyat yang akan dipilih itu ibaratnya "barang dagangan bagus" yang akan kita beli. Jika cocok tentu dibeli (dipilih), jika tidak, ya diam saja. Karenanya, para pemasar barang (sales) perlu ekstra hati-hati memberikan informasi dan demo produk melalui pendekatan khusus. Bahkan di antara para calon nasabah itu ada yang memerlukan layanan khusus secara pribadi.







Dalam perbankan kita mengenal sebuah program "pelayanan pribadi khusus". Nasabah potensial ini mereka layani layaknya raja secara pribadi. Pelayanan itu disebut prioritas karena nasabahnya itu potensial. Namun bagi calon nasabah yang biasa-biasa saja, cukuplah mereka itu diberi iming-iming hadiah berupa barang mewah seperti mobil, hingga barang-barang yang kecil semisal HP. Cukup efektif, mereka yang terkesima dengan janji hadiah itu beramai-ramai membeli jasa/produk itu. Namun yang memperoleh hadiah dengan para pembeli yang membludak, perusahaan mendapatkan keuntungan yang bejibun.



Di antara mereka itu ada yang tidak tertarik. Mungkin dianggap promosi itu hanya iming-iming surgawi yang sulit didapat dan hanya nasib baik yang bisa memperolehnya. Ada pul a yang tidak tertarik pada hadiah tetapi karena kesadaran pentingnya berbankan dalam kehidupan bisnisnya. Lain lagi bagi golongan yang tidak butuh perbankan karena berkali-kali berhubungan kekecewaaan yang mereka dapatkan. Padahal semula menaggap bahwa perbankan sebagai penopang untuk kelancaran perekonomian rakyat namun nyatanya hanya membela wong gedongan saja. Akhirnya mereka menganggap dunia perbankan itu hanya kapitalis berbungkus pelayanan nasabah.





"Bank Politik"




Bagi dunia politik perbankan diibartkan sebagai partai. Para konstituen nasabahnya. Sementara program dan para calon legislatif atau dalam pilkada merupakan produk yang diperjual belikan. Kekuatan partai tentu perlu dukungan "dana" dari para konstituenya; partai besar karena memiliki nasabah yang banyak sementara partai gurem, karena nasabahnya masih sedikit. Namun kini, dengan adanya produk jualan berupa calon legislatif atau calon kepala daerah, sebuah partai kecil bisa berkembang karena jualannya laku keras seperti kacang goreng. Sementara partai besar jika dagangannya kurang diminati masyarakat maka akan dibeli dengan harga murah alias tidak laku.




Karenanya, para bankir ramai-ramai menjemput bola turun ke desa-desa dan membuat janji-janji dan kalau perlu membuka kran promosi baik membagikan dana secara langsung atau hanya dengan membuat simpati warga. Ada lagi dengan kekuatan citra dirinya, maka dibuatkan paket pelayanan kepada masyarakat dengan berbungkus pelayanan sosial atau jika beriklan di televisi disebut iklan layanan masyarkat. Ada banyak cara dan trik untuk bisa menggaet nasabah poltik menjelang 2009.




Masing-masing "bank" berlomba mencari calon kandidat untuk menjadi wakil rakyatnya. Tidak tanggung-tanggung mereka pun menggelar layaknya "politisi idol" tujuannya agar dipilih oleh masyarakat. Setenar apa dan se kredibel apakah mereka itu nantinya, maka para pembelilah yang akan menentukan. Idola-idola politik kini bertebaran di jagad media televisi maupun koran guna tebar pesona dengan mengobral sejuta senyum. Ada yang beriklan sendiri ada pula yang dibiayai oleh bank itu sendiri, dengan meneken kontrak politik antara bank dengan kandidat tersebut.




Makin kemari masyarakat makin cerdas, dari mulai tukang serabi hingga petinggi meyakini bahwa politik itu adalah sistem yang bisa merubah wajah negara dari praktek-praktek yang merugikan menjadi keuntungan, dari tantangan menjadi peluang, dari banyak utang menjadi banyak piutang; dari negara yang terpuruk secara eknomi, kepada tatanan ekonomi yang berbasis kerakyatan yang kuat; dari negara yang tingkat korupsinya tinggi, menjadi negara yang berprilaku moral tinggi; dari negara yang dijuluki miskin menjadi negara yang kaya.




Tetapi apa yang terjadi, sistem politik itu tak ubahnya justru kebalikan dari pernyataan di atas. Negara sesubur dan sebesar Indonesia kalah tanding dengan negara sebesar Kelurahan, malah terpuruk menjadi negara pengimpor makanan pokok terbesar padahal tanahnya suburnya minta ampun. Belum lagi tingkat korupsi yang terus meningkat dan seakan menajam.





Apa yang dijual




Kalau begitu, apa yang layak mereka jual? Jika kandidat yang selama ini kita beli dengan darah atau dengan tenaga sukarela saat kampanye (promosi produk), tapi setelahnya masih saja menghirup nafas kehidupan di negara ini tersengal-sengal.

Apakah di negara ini tidak ada kandidat yang layak jual untuk tampil berani menumpas para koruptor kelas kakap, berani menantang hegemoni mafia Ekonomi dari Negeri Adikuasa semacam Amerika, berani tampil untuk tidak bisa dikalahkan oleh para petualang "Islam" yang merongrong sendi dasar negara.




Kalau tidak ada produk yang bisa bekerja secara otomatis menghadapi tantangan itu, buat apa membeli produk bank yang hanya menjanjikan bunga tinggi tapi mencekik leher setelahnya. Buat apa kerjasama dengan bank asing yang menawarkan senyum manis tapi uang kita dibawa ke negeri jauh; buat apa pula membeli produk bank yang suka bagi-bagi hadiah oleh para "pegawai sukarelanya" tetapi setelah itu hanyalah produk murahan yang tidak bisa mepertahankan diri dari serangan kedzaliman negeri.




Akhirnya, tanpa bank bisnis tidaklah mati. Karena bank bukanlah segalanya. Banyak sekali orang yang berusaha tapi tidak bersinggungan dengan bank, dan dunia bisnisnya tidaklah mati bahkan bisa menghirup udara kebebasan tanpa jerat hutang. Transasksi cash and carry pun bisa terjadi. Bank hanyalah pilihan dalam berbisnis. Keputusan mau kerjasama atau tidak, itu urusan masing-masing pedagang.




Jika ekonomi ditopang oleh bank, maka politik ditopang oleh partai. Jika produk banknya itu buruk terhadap nasabahnya bahkan cenderung suka menipu, maka jangan harap nasabah itu akan percaya. Demikian halnya, para konstituen yang memilih dagangan partai akan semakin menipis kepercayaanya. Jangan heran jika mereka ramai-ramai meninggalkan bank yang bersangkutan dan berpindah ke bank lain atau memilih tidak bekerjasama dengan bank itu alias golput.

Fitri Kamalia, anake wong Buntet Pesantren tinggal di Jakarta




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama