Oleh: KH. M. Luqmanul Hakim

KEMANA para Ulama Islam yang hebat? Mereka diambil oleh Allah, karena memang begitulah cara Allah mencabut ilmu-ilmuNya dari muka bumi. Kemana para Kyai yang arif dan bijak bestari? Mereka sudah lama mendahului kita, dan jika ada beberapa diantara mereka, para Kyai yang arif itu pun tidak muncul di permukaan, daripada terkontaminasi oleh kealpaan pada Allah dan fasilitas duniawi, lebih baik menyelamatkan ummat yang dibimbingnya.




Lalu yang muncul di permukaan hanyalah Ulama dan Kyai yang sudah
berbaur dengan kekuasaan, uang, dan publisitas murahan. Allah telah
memperingatkan mereka dengan bencana demi bencana. Jika peringatan tak
digubris juga, hijab kegelapan menjadi selimut mereka. Na’udzubillah
min dzaalik.

Jika ilmunya para Ulama telah roboh, maka puing-puing peradaban sebuah
bangsa hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Jika Ilmunya Allah
mulai dicabut, maka dunia pendidikan di negeri ini telah mundur jauh.

Betapa tidak? Ketika bangsa ini belum merdeka, dengan fasilitas yang
sangat terbatas, muncul cendekiawan dan intelektual Indonesia yang
mendunia, muncul para Ulama Indonesia yang diakui dunia dengan
karya-karya besarnya. Tetapi hari ini, dunia pesantren tak berdaya,
industri ilmu-ilmu Islam yang luar biasa itu, telah mulai menyusut
kearah degradasinya. Sementara kebijakan pendidikan kita dan kemajuan
yang diraihnya, jauh dibanding negara-negara di Afrika, atau Negara
yang baru merdeka seperti Vietnam.

Hari ini berjuta-juta anak bangsa terlantar sekolah karena biaya yang
mahal. Ada sekolah gratis, tapi masih terbatas, itu pun masih disertai
dana-dana sumbangan siluman di sana sini.

Dunia pendidikan kita telah dirobohkan oleh kebodohan mereka yang
mengkonsep system pendidikan, stategi pendidikan, dan politik
pendidikan yang justru membodohkan bangsa, seperti runtuhnya
pengetahuan agama kita dirobohkan oleh mereka yang menjual ilmunya
dengan fasilitas duniawi yang murah dan hina, lalu muncullah
Ulama-ulama tolol yang berbau sampah kemunafikan meruyak  pengetahuan
agama dengan fatwanya.

Ilmunya para Ulama berarti hadirnya dunia pendidikan yang memproduksi
kualitas manusia yang bermoral. Namun hari ini, yang disebut moral
Islam, lebih banyak ditampilkan dengan formalitas pakaian, formalitas
senyuman, formalitas agar disebut beretika dan beradab. Sebuah
kebanggaan yang retak, semu dan menyesakkan nafas luhur dari Islam itu
sendiri. Sungguh sangat menakutkan. Karena budi pekerti tidak muncul
dari hati. Tetapi muncul dari hawa nafsu yang mencari keuntungan
dibalik Nama-nama Ilahi.
Apalagi ilmunya Ulama-ulama yang mengenal Allah (ma’rifat billah),
tahun-tahun terakhir ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, langka,
dan bahkan sering disesatkan oleh ketololan dan kegelapan nafsu.



2.  Keadilan pemimpin (Pribadi pemimpian dan system pemerintahan yang bersih dan memihak rakyat)

Apakah para pemimpin negeri ini tidak adil?  Apakah peristiwa peradilan
itu bukti sebagai keadilan para pemimpin? Apakah banyaknya lembaga
peradilan itu menunjukkan kesungguhan penegakan keadilan? Siapa yang
mendapatkan kelayakan keadilan? Kenapa ada pilihan-pilihan penegakan
hukum dan keadilan? Apakah penegakan keadilan itu professi lantas
dijadikan lahan pekerjaan, bukan dijadikan sebagai tugas mulia?

Apakah rakyat kecil yang diam membisu itu wujud setuju atas kebijakan
penguasa yang sesungguhnya tidak memihak mereka? Sampai kapankah  atas
nama keadilan menipu berjuta-juta bangsa ini?

Bukankah jeritan ketidak adilan sudah lama muncul dari hati nurani
rakyat kecil, lalu mereka hanya bisa berucap dengan putus asa, “Biar
Tuhan yang mengadili…!”?  Sampai kapan mereka menjadi konsumen
kebohongan dari industri kekuasaan yang zalim?

Siapa sebenarnya yang mereka pimpin? Apakah mereka ini pemimpin
rakyatnya atau menjadi boneka orang yang memiliki kepentingan? Apakah
mereka ini pemimpin rakyat, bangsa dan ummat, ataukah mereka ini
seakan-akan pemimpin, karena jabatan itu adalah lambang dari sebuah
prestisius? Apakah mereka ini sudah matirasa dengan Keadilan Tuhan?
Apakah mereka yang mengibarkan lambang dan bendera keadilan itu
benar-benar adil? Beranikah mereka mengadili orang yang mengangkat
mereka? Hati nurani yang menjawab.

Karena ketidak adilan dan kebohongan senantiasa muncul dari mulut, yang
malah bisa sebaliknya dari apa yang diucapkannya. Seperti orang yang
mengatakan, “Saya tidak sombong!” Sebenarnya hatinya sangat sombong dan
arogan. “Saya dengan ikhlas memberikan semua ini…” Pasti hatinya tidak
ikhlas.

Ayat Al-Qur’an benar, “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan
yang menjabat pemimpin dari kalian…” Tetapi ayat ini tidak boleh dibaca
oleh para penguasa. Karena ayat ini hanya layak dibaca rakyat. Ayat
yang harus dibaca penguasa adalah “Perintahlah dengan adil dan baik…”.
Sejenak kita renungkan refleksi di bawah ini:



  • Jika pemimpin adil, rakyat akan menghormati dan mendukung pemimpinnya.


  • Jika pemimpin adil, rakyat tidak akan berteriak dimana-mana dan menghormati hukum.


  • Jika pemimpin adil pasti akan ada system keadilan yang kuat
    didukung lembaga peradilan yang lepas dari segala campur tangan
    termasuk campur tangan kekuasaan dan kepentingan mana pun.


  • Jika pemimpin adil demokrasi tidak berjalan liar dan liberal, juga tidak diktatoral.


  • Jika pemimpin adil tidak ada kelaparan dan kemiskinan


  • Jika pemimpin adil ketakutan berubah jadi harapan, krisis pun jadi peluang.


  • Jika pemimpin adil, seluruh aparatnya tertib, dunia akan menaruh kembali kepercayaan penuh negeri ini.


  • Jika pemimpin adil rakyat akan tumbuh harga dirinya, dan semangat bangkit dari keterpurukan jadi nyata.


  • Kepemimpinan yang adil berarti ketegasan tanpa emosi, keberanian tanpa tanpa kepentingan kelompok dan pribadi.


  • Kepemimpinan yang adil berarti system politik yang terbuka, tanpa
    memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan korupsi kekuasaan.


  • Kepemimpinan yang adil berarti tidak memihak pada kekerasan



Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Pemimpin itu berorientasi pada
kemashlahatan rakyat”. Begitu juga soal pilihan dari dua hal yang
buruk, “Pemimpin yang  secara pribadi banyak dosanya (kemaksiatan
pribadi) namun sangat peduli pada rakyatnya, lebih baik ketimbang
pemimpin yang saleh, ahli ibadah, tetapi tidak memihak kepentingan
rakyatnya.”


3.  Kedermawanan orang-orang kaya

(Pelaku ekonomi dan system ekonomi berdimensi kerakyatan)
Negeri kita bangkit ekonominya sejak tahun 70-an. Tetapi tiba-tiba
ambruk ketika peredaran modal, konglomerasi dan kapitalisasi memihak
pada orang-orang kaya. “Jangan sampai modal itu berputar ditangan
orang-orang kaya diantara kalian,” demikian tegas Al-Qur’an.
Sentralisasi ekonomi pada pengusaha-pengusaha kaya harus dikendalikan
Negara, apalagi konsep globalisasi yang hendak dicanangkan dunia,
semakin menjepit mayoritas warga bangsa dunia, karena modal dan
kebijakan ekonomi hanya akan dipegang oleh seperlima (1/5) warga dunia.

Al-Qur’an memberikan sinyal luar biasa, “Kalian tidak meraih kebajikan
selama kalian tidak menafklahkan  harta yang kalian cintai…”
Allah mengecam 115 kali lebih pada dunia, agar para hambaNya tidak
mencintai dunia walau pun ia kaya. Karena harta itu titipan Allah,
hakikatnya bukan hasil karya dan kerja kerasnya. Mencintai harta adalah
awal tragedy dunia dan akhirat.

Pasar adalah nafsu. Mengendalikan nafsu berarti perjuangan membersihkan
kerakusan hewaniyah dan kekejaman emosional dalam diri manusia.
Pengendalian nafsu ini harus diterjemahkan dalam system ekonomi dan
pasar, apa pun namanya. Bahkan jika menggunakan nama syariat, nama
Islamy, tetapi muatannya justru liberalisasi ekonomi, jelas
bertentangan dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.

Robohnya ekonomi kita diakibatkan oleh konsentrasi kekayaan pada para
elit pengusaha. Bahkan kalau perlu atas nama pengentasan kemiskinan,
sebagai topeng politis untuk menutupi  gurita-gurita ekonominya,
akhirnya kebijakan pemihakan terhadap kaum miskin muncul dalam gerakan
karikatif, BLT, bantuan-bantuan semu yang membius. Rakyat toh, tak
pernah dididik berhubungan dengan bank secara benar, dan
kemudahan-kemudahan modal hanya wacana yang membubung tak pernah punya
fondasi struktur yang kokoh.

Coba  kita renungkan tragedy orang-orang kaya di bawah ini:



  • Orang-orang kaya membagikan zakat dan sedekahnya, sembari bangga
    dirinya, sembari merasa bahwa dia telah berbuat bagi kemanusiaan,
    sementara hatinya sedang mengambil jarak status sosial dengan mereka
    yang diberi. Mereka bangga melihat orang-orang miskin berderet, antri
    sembako murah, antri bantuan sosial, antrian panjang, seakan-akan
    tangan suci orang kaya telah mengulur dan bersentuhan dengan kaum
    miskin itu. Pemandangan yang sangat menyakitkan. Karena bukan demikian
    sesungguhnya mencintai orang-orang miskin.


  • Ada orang kaya yang memanfaatkan orang-orang miskin, dengan cara
    bersedekah kepada mereka, agar bisnisnya semakin menggurita, semakin
    kaya. Sedekah dalam rangka meraih kekayaan. Sedekah dalam rangka
    penguatan kekuasaan ekonomi. Sedekah dijadikan ajang dua mata gunting,
    dimata publik biar disebut dermawan, dan di mata Tuhan agar di beri
    banyak peluang usaha. Jelas ini adalah tragedy spiritual dalam
    beragama. Karena keikhlasan telah sirna, riya’ telah menjadi konsumsi,
    kesombongan telah dipupuknya.


  • Ada orang kaya yang menabur-naburkan hartanya, bahkan dari
    pesawat udara, sekadar hiburan semu yang menambah luka, atau sekadar
    buang sial? Dan orang-orang miskin menikmati sampah sial itu? Atau
    sebenarnya hanya ingin membuat popularitas atas nama keteladanan?
    Teladan macam apa?


  • Ada orang kaya yang berambisi kuasa. Lalu hartanya ditumpuk untuk
    membiayai ambisi kekuasaannya, sampai nasionalisme dan agama dibeli,
    membiayai perpecahan, atau menciptakan perpecahan untuk dikuasainya.
    Hartanya dibagikan demi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Inilah
    penyuapan spirit, agar jiwa-jiwa besar menjadi kerdil, agar segalanya
    bisa dipermainkan. Inilah bencana harta!


  • Ada orang yang beranjak mulai sukses dengan kekayaannya. Ketika
    beranjak ia berharap bisa membantu orang-orang miskin, tetapi ketika
    sukses, ia masih terus berambisi menambah kekayaannya, karena ia merasa
    belum kaya, karena pemburu harta memang tak pernah kaya. Hanya liang
    kubur yang menghentikan ambisi menumpuk hartanya.




4. Doa orang-orang miskin (Mengentaskan Kemiskinan)
Di negeri ini berjuta-juta orang berada di bawah garis kemiskinan.
“Kemiskinan itu mendekati kekufuran,” sabda Nabi Saw. Berarti sebuah
proses, system, atau kekuasaan yang membuat rakyat menjadi miskin,
adalah wahana penjerumusan krisis terhadap keimanan.
Kata seorang Wali, jika kemiskinan mengarahkan seseorang pada kekafiran, maka kekayaan mengarahkan seseorang pada kesombongan.

Berjuta-juta orang miskin di negeri ini, sudah enggan mendoakan
orang-orang kaya dan penguasanya, karena mereka terlempar dari
kepedulian system dan manusia-manusia yang sombong oleh kepemilikan dan
kedudukannya.

Berjuta orang miskin di negeri ini lebih banyak memaki dan melaknat
mereka, dalam kesunyian dan kedekilan nuraninya akibat ketertindasan.

Ada seorang sufi, setiap mau makan selalu mengundang para muridnya
untuk makan bersama. Ketika ramai orang makan dengan lahapnya, siapa
tahu sang sufi ini lupa pada orang-orang miskin. Kadang sang sufi
beberapa hari tidak makan, karena setiap suap yang hendak menyentuh
bibirnya, Allah membukakan hatinya tentang kondisi orang-orang miskin
di negeri ini. Maka suapan itu tidak lagi bisa masuk ke mulutnya,
tenggorokannya tercekak. Bagaimana ia bisa makan ketika di hadapannya
serasa banyak orang yang lapar?
Tetapi di negeri ini sangat ironis. Para penguasanya malu mengakui
tingkat kemiskinan yang bertambah, dan malu kepada tetangga negeri jika
bangsanya tambah miskin.

Namun, anehnya mereka bangga dengan deretan orang-orang miskin, deretan
tangan-tangan yang meminta, menengadahkan bantuan. Apakah kemiskinan
itu juga lahan bagi kepentingan-kepentingan? Dimanakah nurani mereka
itu, ketika harta dikuras, sekarang justru keringat dan airmata
orang-orang miskin juga dikuras?
Masya Allah!

KH.M. Luqmanul Hakim, pemred buletin Cahaya Sufi, artikel ini diambil dari buletin teresbut melalui situs sufinews.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama