Oleh: KH. Luqmanul Hakim
Nabi besar Muhammad Saw, bersabda:
“Tegaknya bangsa di dunia ini karena empat pilar: Dengan ilmunya para Ulama, melalui keadilan para pemimpin, dengan kedermawanan orang kaya dan dengan doanya orang-orang miskin.”
Seluruh pilar-pilar yang disampaikan oleh penyelamat ummat, Sang Nabi Saw, benar-benar telah roboh hari ini, di negeri yang gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Seperti kata seorang Sufi besar, Ahmad ibnu Athaillah as-Sakandary, “Bukan mata kepala yang buta, tetapi mata hati yang ada di dalam dada, sebagaimana diungkap oleh Al-Qur’an, ‘Sesungguhnya bukan mata kepala yang buta tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada.’”
Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.
1. Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)
Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.
Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.
Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.
Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.
Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.
Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.
Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”
Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.
Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.
Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.
1. Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)
Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.
Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.
Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.
Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.
Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.
Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.
Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”
Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.
Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.
KH. Luqmanul Hakim, pemred buletin Cahaya Sufi
artikel ini diambil dari buletin tersebut.
Posting Komentar