Oleh : Edy Prawiradirja


Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, hukum dan undang-undang dalam prakteknya bisa dibeli. Hanya ideal dalam tataran teori, tapi mandul ketika sampai di tingkat implementasi. Ini penyakit mendasar sejak lama, tapi herannya tetap dipelihara, bahkan terkadang dengan bangga, sampai sekarang.


 


Hukum dan peraturan dibuat dengan bahasa multitafsir, sehingga bisa menjadi bahan permainan aparat birokrasi. Kita bisa melihat bagaimana Nenek Soetarti Soekarno dan Roekmini dipermainkan oleh peraturan. Menurut PP No 40/1994, kedua nenek ini sudah bisa membeli rumah dinas yang telah mereka tempati sejak puluhan tahun, Tapi menurut Perum Pegadaian, mereka ditudauh menyerobot rumah negara.


 


Andaikan kedua nenek ini punya uang banyak, mungkin kasus ini tidak akan mencuat ke permukaan.


 


Tapi kasus rumah dinas ini hanyalah puncak gunung es dari kesukaan kita mempermainkan peraturan. Betapa banyak rumah dinas yang ditempati oleh mereka yang tidak berhak dan mereka tetap merasa berhak menempati walau sudah tidak berdinas lagi. Sedangkan mereka yang berhak tidak bisa menempati karena tidak mampu mengeluarkan uang, yang tidak sedikit, untuk menyuap petugas. Ini seperti lingkaran setan yang tidak hanya kita temukan pada persoalan rumah dinas, tapi juga hampir di semua instansi yang menyangkut perizinan.


 


Lihatlah juga penggusuran demi penggusuran yang dilakukan oleh penguasa, yang pada prakteknya di lapangan sering dilakukan secara tidak manusiawi. Dulunya penguasamemberi izin, karena sesuatu dan lain hal. Lalu ketika pedagang semakin banyak dan tak terkendali, dilakukan upaya paksa, dan sering tanpa melakukan pendekatan persuasif.


 


Jadi kita tidak kaget ketika negeri ini kembali merebut " tahtanya " -nya sebagai kampiun negara terkorup di Asia Pasifik, berdasarkan survai PERC, HONGKONG. Ya, rupanya kita tetap konsisten mempertahankan kebobrokan kita.


 


Tampaknya belum ada tindakan signifikan penguasa dalam melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi tetap dengan " KREDO " lamanya: kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah. Hasrat untuk menjadi manusia yang baik, dengan cara memberikan pelayanan terbaik, dan kemudahan kepada sesama, benar-benar tidak ada sedikit pun dalam benak mereka.


 


Ironosnya, kita ini mayoritas pemwluk Islam, agama agung yang selalu mengajarkan kesucian dan berkomunikasi dengan Allah minimal lima kali sehari semalam, tapi anehnya nilai-nilai itu tidak pernah teraktualisai dalam praktek sehari-hari.....

2 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama