KH Abbas Abdul Jamil, Panglima Perang 10 November 1945 |
Oleh: Winda Novia
Perang 10 November 1945 di Surabaya secara singkat sebenarnya
terjadi dalam dua fase. Disebut perang 10 November 1945 karena merupakan puncak
pertempuran.
Fase pertama dimulai pascakedatangan pasukan Sekutu pada tanggal 25
Oktober 1945. Perang terjadi akibat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
tentara Sekutu. Perang tersebut terjadi tanggal 27-29 Oktober 1945 yang
dinamakan sebagai Perang Tiga Hari dengan pasukan Sekutu berjumlah 5000-6000
tentara. Dalam fase pertama, Indonesia memperoleh kemenangan. Namun, kemenangan
tersebut justru diakali oleh Mallaby yang mengakibatkan terjadilah gencatan
senjata. Ketika dilakukan sosialisasi gencatan senjata, ironisnya Mallaby tewas
dalam waktu dan tempat yang tidak tepat. Peristiwa tersebut mengakibatkan
Sekutu memborbardir Surabaya pada tanggal 4 November 1945 dengan jumlah pasukan
sebanyak 24.000.
Indonesia, khususnya rakyat Surabaya, pada saat itu diminta untuk
menyerah. Namun bangsa Indonesia enggan mengangkat tangan. Akhirnya terjadilah
ultimatum melalui pamflet-pamflet yang bertebaran di penjuru Surabaya. Ada dua
pilihan bagi Indonesia antara diplomasi dan berperang.
Diplomasi sudah dilakukan ketika Presiden Soekarno datang ke
Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1945, kemudian tanggal 30 Oktober 1945
dilakukannya perundingan dengan pihak Sekutu. Namun, bertepatan dengan itu,
Mallaby tewas akhirnya Sekutu menyerang. Dari Jakarta atau pusat pemerintahan,
keputusan untuk berperang ada di tangan Surabaya. Pimpinan tertinggi Surabaya,
Gubernur Suryo dalam pidatonya menentang habis-habisan ultimatum tersebut.
Sementara itu, Inggris mempunyai target mengalahkan rakyat Surabaya
dalam waktu 3-5 hari. Namun perang berlanjut hingga 21 hari tepatnya tanggal 30
November 1945. Hasilnya rakyat Surabaya mengalami kekalahan karena sudah mundur
terlalu jauh dari titik pusat medan perang tepatnya di Tugu Pahlawan saat ini
dan berhadapan dengan kantor Gubernur Jawa Timur, ke arah Surabaya yaitu
Wonokromo hingga Sepanjang. Yang dimaksud kalah dalam pertempuran adalah kalah
dalam hal logistik maupun senjata yang tidak memadai. Namun, semangat perang
terus berkobar dan pantang menyerah dengan semboyan “Kalah dalam Pertempuran,
Menang dalam Peperangan”. Di mata internasional, dunia pun mengakui kemerdekaan
Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat.[1]
Perang 10 November 1945 merupakan peristiwa heroik pada masa itu
yang membuat para pemuda bangkit semangatnya untuk membela dan mempertahankan
keutuhan kemerdekaan negaranya. Para pemuda dari penjuru kota manapun
berbondong-bondong pergi ke Surabaya dalam peperangan tersebut. Mereka datang dari
berbagai kalangan, termasuk dari kalangan santri. Ada yang datang atas nama
pribadi, laskar ataupun organisasi.
Pesantren menjadi sayap terpenting yang banyak mengirimkan
pasukannya pada perang 10 November 1945. Setelah dikeluarkannya fatwa Resolusi
Jihad oleh KH Hasyim Asy’ari, para santri ataupun seluruh pemuda dari berbagai
kalangan melebur bersatu dalam perang melawan Sekutu. Membela tanah air
hukumnya wajib dan mati di medan perang adalah syahid dan masuk surga menjadi
faktor psikologis bagi para pejuang tersebut dan menambah semangat mereka.
Dalam perang Surabaya itu, Hizbullah Mojokerto mengirimkan pasukan
sebanyak 120 orang dipimpin oleh Ahmad Efendi, Hizbullah Malang mengirimkan
pasukannya 168 orang dipimpin oleh KH Nawawi Thohir dan Abbas Sato, Hizbullah
Situbondo mengirimkan pasukannya berjumlah 100 orang dipimpin oleh KH As’ad
Syamsul Arifin, Hizbullah Bondowoso mengirimkan pasukan 90 orang dipimpin oleh
Kiai Moedzakkir, Hizbullah Gresik mengirimkan 100 pasukannya yang dipimpin oleh
Rodhi As’ad, Hizbullah Blitar dan Tulungagung mengirimkan 170 pasukannya yang
bergabung menjadi satu kompi dipimpin oleh KH Mudawari dan Mu’min, Hizbullah
Pasuruan mengirimkan 160 pasukannya yang dipimpin oleh KH Djufri dan Mahfudz,
dan Hizbullah Gempol yang terdiri dari empat kompi.[2]
Selain itu, Hizbullah Jember juga mengirimkan 145 pasukannya di bawah pimpinan
Haji Syech dan Sulthon Fadjar Njoto. Hizbullah Jember menempati front
pertempuran di Kapasari. Setelah bertempur mereka terpaksa mundur ke Gubeng dan
terakhir ikut mempertahankan jembatan Wonokromo.[3]
Penulis adalah alumnus Pondok Buntet Pesantren yang telah
menyelesaikan studi sarjananya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada
jurusan Sejarah Peradaban Islam
[1]Wawancara
dengan Bapak Agustiono, Sub. Unit Konservasi Reparasi dan Bimbingan Edukasi
Museum 10 Nopember Surabaya, pada tanggal 27 Februari 2018 jam 13.55
[2]Isno
El-Kayyis, Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur...., h.189.
[3]Ayuhanafiq,
Garis Depan Pertempuran Lasykar Hizbullah 1945-1950...., h.67.
Posting Komentar