Semester ganjil sudah usai, putra-putri bapak /ibu  sudah  menerima buku rapor yang menunjukkan hasil prestasi belajar selama 1 semester. Demikian pula dengan saya,  saya sudah  menerima rapor dari anak saya yang pertama, Alhamdulillah sekarang di tahun pertama semester pertama ini, Zabrina Nahdiah Mumtazah, mendapatkan peringkat ke 3 di sekolahnya.

Saya sering kali bertanya kepada anak saya bahwa apakah dia menemukan beberapa teman yang mencontek ataukah anak saya sendiri yang mencontek. Saya bersyukur kepada Tuhan YME sekalligus berterima kasih kepada istri saya, Siti Fathonah S.Pd.I, yang telah menanamkan prinsip-prinsip kejujuran dan belajar dengan sungguh-sungguh. Sehingga saya mendapatkan jawaban bahwa Taza, nama kecil anak saya, tidak mencontek tetapi justru membantu dengan memberikan jalan keluar bagi temannya yang akan mencontek pada dirinya.

Mencontek, adalah sebuah kata yang sama sekali tidak asing di kalangan pelajar. Mencontek merupakan salah satu prilaku menyimpang yang menjadi  salah satu jalan singkat bagi sisaw/i yang menginginkan nilai atau prestasi baik, yang kemudian akan diperlihatkan kepada teman, saudara dan juga yang pasti orang tuanya.

Mencontek adalah prilaku yang mematahkan semangat berkompetisi di kalangan pelajar. Sebut saja, Olip, salah satu anak teman saya yang sekarang ini sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA terbaik. Dia mengatakan bahwa teman satu kelasnya tetap saja menontek meskipun HP, buku, tas, lembaran kertas, bahkan tepak pinsil karena HP tercanggihnya tetap berada di saku mereka sementara HP jadul dikumpulkan.

HP menjadi salah satu media canggih yang mereka gunakan untuk mencontek. Belum lagi keberanian temannya untuk meminta jawaban secara langsung kepada kawan lainnya. Kegiatan mencontek ini bahkan terjadi secara merata dan tidak dapat dihindari.

Siswa pun mengakui bahwa mencontek adalah cara tercepat untuk mengnalahkan siswa berprestasi di kelasnya atau mereka yang mencontek beranggapan bahwa temannya yang pintar pun tetap mencontek.

Hal tersebut menjadi pemandangan yang agak lazim untuk beberapa sekolah namun berbeda sekali dengan tempat saya mengajar. Karena kami menganggap bahwa mencontek adalah salah satu prilaku keji dan pembodohan sekaligus menunjukkan pribadi yang tidak jujur. Kami tidak segan untuk tidak memberikan nilai kepada siswa yang mencontek atau kami menggugurkan ulangannya dengan menggantinya dengan remedial dengan syarat nilai minimal 80, dan terkadang teman kami memberikan ulangan tambahan secara lisan. Belum lagi ada resiko dipermalukan di depan temannya manakala ada siswa/i yang mencontek. Wal hasil, siswa/i kami menganggap bahwa mencontek sebagai salah satu cikal bakal tindakan kriminal atau jahat.

Siswa/i yang mencontek biasanya hanya terjadi pada dua bulan pertama pada saat panen ulangan harian. Sebagian siswa yang belum mengenal betul karakter sekolah kami atau mempunyai keberanian untuk mencontek biasanya mereka akan memberanikan diri untuk mncoba nyontek di saat ulangan harian. Namun, ketika beberapa siswa/i mendapatkan hadiah pembelajaran yang saya sebutkan sebelumnya, maka berita tersebut akan segera menyebar dan sekaligus menjadi peringatan bagi yang lainnya. Belum lagi, penanaman kejujuran yang kami terapkan di dalam masjid. Insya Allah, penanaman kejujuran pada pribadi siswa/i akan terus menuai  manfaat di kemudian hari. Hal tersebut sangat dirasakan betul oleh beberapa alumni yang datang ke sekolah di saat liburan ini, seperti Yunisa yang baru saja lulus dari ITB farmasi, Andri yang baru lulus dari UPI Bandung, Anto yang masih berkuliah di UNPAD manajemen, IGA yang masih berkuliah di ITB arsitek, Ditia yang berkuliah di UGM, Setio di Undip dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 

*Penulis adalah guru di SMP-SMA Insan Cendikia Sekar Kemuning

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama