Oleh : Habil Ahmad Saklitinov *
Semester ganjil sudah usai, putra-putri bapak /ibu sudah
menerima buku rapor yang menunjukkan hasil prestasi belajar selama 1
semester. Demikian pula dengan saya, saya sudah menerima rapor dari
anak saya yang pertama, Alhamdulillah sekarang di tahun pertama semester
pertama ini, Zabrina Nahdiah Mumtazah, mendapatkan peringkat ke 3 di
sekolahnya.
Saya sering kali bertanya kepada anak saya bahwa apakah dia menemukan
beberapa teman yang mencontek ataukah anak saya sendiri yang mencontek.
Saya bersyukur kepada Tuhan YME sekalligus berterima kasih kepada istri
saya, Siti Fathonah S.Pd.I, yang telah menanamkan prinsip-prinsip
kejujuran dan belajar dengan sungguh-sungguh. Sehingga saya mendapatkan
jawaban bahwa Taza, nama kecil anak saya, tidak mencontek tetapi justru
membantu dengan memberikan jalan keluar bagi temannya yang akan
mencontek pada dirinya.
Mencontek, adalah sebuah kata yang sama sekali tidak asing di
kalangan pelajar. Mencontek merupakan salah satu prilaku menyimpang yang
menjadi salah satu jalan singkat bagi sisaw/i yang menginginkan nilai
atau prestasi baik, yang kemudian akan diperlihatkan kepada teman,
saudara dan juga yang pasti orang tuanya.
Mencontek adalah prilaku yang mematahkan semangat berkompetisi di
kalangan pelajar. Sebut saja, Olip, salah satu anak teman saya yang
sekarang ini sedang menempuh pendidikan di salah satu SMA terbaik. Dia
mengatakan bahwa teman satu kelasnya tetap saja menontek meskipun HP,
buku, tas, lembaran kertas, bahkan tepak pinsil karena HP tercanggihnya
tetap berada di saku mereka sementara HP jadul dikumpulkan.
HP menjadi salah satu media canggih yang mereka gunakan untuk
mencontek. Belum lagi keberanian temannya untuk meminta jawaban secara
langsung kepada kawan lainnya. Kegiatan mencontek ini bahkan terjadi
secara merata dan tidak dapat dihindari.
Siswa pun mengakui bahwa mencontek adalah cara tercepat untuk
mengnalahkan siswa berprestasi di kelasnya atau mereka yang mencontek
beranggapan bahwa temannya yang pintar pun tetap mencontek.
Hal tersebut menjadi pemandangan yang agak lazim untuk beberapa
sekolah namun berbeda sekali dengan tempat saya mengajar. Karena kami
menganggap bahwa mencontek adalah salah satu prilaku keji dan pembodohan
sekaligus menunjukkan pribadi yang tidak jujur. Kami tidak segan untuk
tidak memberikan nilai kepada siswa yang mencontek atau kami
menggugurkan ulangannya dengan menggantinya dengan remedial dengan
syarat nilai minimal 80, dan terkadang teman kami memberikan ulangan
tambahan secara lisan. Belum lagi ada resiko dipermalukan di depan
temannya manakala ada siswa/i yang mencontek. Wal hasil, siswa/i kami
menganggap bahwa mencontek sebagai salah satu cikal bakal tindakan
kriminal atau jahat.
Siswa/i yang mencontek biasanya hanya terjadi pada dua bulan pertama
pada saat panen ulangan harian. Sebagian siswa yang belum mengenal betul
karakter sekolah kami atau mempunyai keberanian untuk mencontek
biasanya mereka akan memberanikan diri untuk mncoba nyontek di saat
ulangan harian. Namun, ketika beberapa siswa/i mendapatkan hadiah
pembelajaran yang saya sebutkan sebelumnya, maka berita tersebut akan
segera menyebar dan sekaligus menjadi peringatan bagi yang lainnya.
Belum lagi, penanaman kejujuran yang kami terapkan di dalam masjid.
Insya Allah, penanaman kejujuran pada pribadi siswa/i akan terus menuai
manfaat di kemudian hari. Hal tersebut sangat dirasakan betul oleh
beberapa alumni yang datang ke sekolah di saat liburan ini, seperti
Yunisa yang baru saja lulus dari ITB farmasi, Andri yang baru lulus dari
UPI Bandung, Anto yang masih berkuliah di UNPAD manajemen, IGA yang
masih berkuliah di ITB arsitek, Ditia yang berkuliah di UGM, Setio di
Undip dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
*Penulis adalah guru di SMP-SMA Insan Cendikia Sekar Kemuning
Posting Komentar