Oleh Muhammad Syakir Niamillah
“Kamu sore ini nanti ke Jalan
Amil, Pejaten Barat. Dari Lebak Bulus kamu naik kopaja P 20 nanti turun di
halte buncit indah. Setelah itu kamu jalan aja ke arah kanan dari halte. Nanti
kirim pesan aja ke saya atau telepon kalau sudah sampai”.
Begitulah pesan yang dikirim
sopir pribadi kiai. Dia mengabarkanku untuk datang membantu dan mendampingi
kiai saat di Jakarta.
“Nggih”, begitulah
pesan yang saya kirim sebagai jawaban singkat. Saya tak perlu bertanya ada
perlu apa. Saya pun saat itu sedang tidak memiliki uang sama sekali, meski
hanya untuk ongkos ke Pejaten. Iya. Beasiswa saya belum turun beberapa bulan. Saya
pun terpaksa, untuk makan sehari-hari harus meminjam ke teman-teman dengan
jaminan uang beasiswa saya yang (mungkin) akan cair langsung dirapel beberapa
bulan. Namun saya tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk menolak undangan
kiai. Ini adalah sebagai wujud khidmat kepada seorang guru. Kewajibanku hanya
manut saja. Saya yakin, kalaupun tidak sekarang, nanti akan dapat berkahnya.
Kiai pernah dawuh dalam suatu pengajian yang pernah saya ikuti saat saya masih
di pesantren dulu, kalau tidak salah, saat itu saya masih kelas satu
tsanawiyah, masih hangat menjadi santri, “Barokah atau yang biasa kalian sebut
berkah itu artinya adalah ziyadatul khoir, tambahnya kebaikan”, begitu
dawuh beliau. Aku masih sangat ingat beliau berbicara di depan ratusan
santrinya saat itu.
“Yu, bisa pinjam uang lagi
gak? Untuk ongkos ke Pejaten saja”, pinta saya dengan memelas.
“Emang ada apa di Pejaten?”
“Ada kiaiku Yu. Tolong
banget. Saya dipanggil beliau.”
Wahyu mengeluarkan dompet
hitamnya yang terlihat tetap baru semenjak saya lihat pertama setahun lalu
ketika perkenalan di masa awal kuliah.
“Berapa?” tanya Wahyu.
“Saya gak tahu Yu. Yang
penting ongkos ke sana aja. Soalnya saya juga belum pernah ke sana”
“Terus pulangnya bagaimana?”
“Ya, maksudnya sekalian,
pulang pergi gitu.”
Wahyu selalu berbaik hati
meminjamkan jatah jajan dari orangtuanya yang kaya itu untuk saya. Dia pun hampir tak pernah menagih uangnya
kembali. Asal alasannya jelas untuk kebaikan, dia tak pernah keberatan untuk
memberikan atau meminjamkan uang sakunya ke temannya. Selagi masih ada untuk
dirinya, kenapa tidak? Begitulah pikirnya. Tapi, saya selalu mengingat hutang-hutangku.
Jumlahnya pun sangat saya ingat. Pokoknya, kalau nanti cair, saya harus segera
menggantinya, meski sepertinya Wahyu pun tak menagih atau bahkan tak
membutuhkannya.
***
Malam itu bulan bersinar
penuh. Langit pun sangat cerah. Terlihat bintang-bintang saling berkedipan.
Berbeda dengan perasaanku yang keruh. Saya bingung, ke mana saya harus
melangkah atau jalan mana yang saya harus pilih. Saya masih memandang langit
sembari terus berpikir tak jelas ke mana arahnya.
“Hayo!!!”, Ahmad
mengagetkanku sembari kedua tangannya menepuk pundakku keras-keras.
“Lagi mikirin siapa sih? Hani
yah? Atau Via yang putri kiai Basyar itu?”
“Apaan sih. Sudahlah. Tugas
kita di sini itu ngaji dan manut kiai. Itu saja. Ngomongin perempuan.”
“Eh, iya. Ngomong-ngomong
tentang kiai, kamu dipanggil beliau. Sore tadi aku bertemu beliau dan minta
kamu menghadapnya”
“Kenapa gak bilang dari
tadi?!”, ucapku sembari melangkah meninggalkan Ahmad. Kini dia yang gantian memandangi langit.
Saya duduk berlutut sembari kepala terus menunduk penuh takzim.
Tak berani sebutir huruf pun saya ucap sebelum saya diminta bicara oleh kiai.
Beliau menanyakan perihal
pengajian-pengajian yang telah saya ikuti sampai kelas tiga aliyah ini. Saya telah berhasil mengkhatamkan Alfiyyah
ibn Malik dan hafal seluruh nazamnya di hadapan beliau sendiri. Saya pun
semenjak duduk di bangku Aliyah disilakan untuk mengikuti pengajian di kiai
yang lain dalam lingkup pesantren itu. Iya. Pesantren yang saya huni itu merupakan
komplek yang terdiri lebih dari lima puluh pondok. Bahkan masih ada pula kiai
yang tidak memiliki pondok dan beliau-beliau ini mengajarkan santri-santri
pondok lain yang berkeinginan memiliki tambahan pengetahuan guna nanti berdiri
di tengah masyarakat.
Mulai aliyah kelas satu,
karena siang tidak ada kegiatan di pondok, saya mengikuti pengajian falak dan
faroid yang diadakan kiai Mansur di rumah beliau sendiri. Setiap pulang
sekolah, saya berangkat menuju rumah beliau yang berada di ujung paling barat
komplek pondok yang menyatu dengan rumah-rumah masyarakat biasa. Saya harus
melewati beberapa rumah kiai, dan setiap kali melewati rumah kiai, saya selalu
menunduk. Orang lain pun sama. Begitulah para santri menghormati gurunya.
Kecuali saat berpapasan dengan kiai, saya dan pasti para santri yang lain pun
langsung mendekati dan mencium tangan beliau yang pasti sangat wangi. Wangi
surga sepertinya. Saat itu saya merasa masalah lenyap seketika. Terlebih
seringkali setiap kali aku mencium tangan kanan beliau dan tentu dengan
membungkukkan badan, tangan kiri beliau menepuk-nepuk punggungku seraya
mendoakan kesuksesanku. Selain melewati rumah kiai, saya juga harus melewati pemakaman para sesepuh.
Biasanya sepulang mengaji dari kiai Mansur, aku sempatkan ziarah dahulu.
Terkadang, aku juga menghafalkan kitab ataupun al-Quran di pemakaman ini.
Selain tempatnya sepi sehingga menghadirkan ketenangan dan mudah untuk
menghafal, saya pun beranggapan kalau menghafal di makam ini, kiai yang
menghuni makam itu akan mengetahui betapa gairah saya untuk bisa itu sangat
besar. Dengan mengetahui keinginan saya, maka bukan tidak mungkin, beliau yang
meski raganya telah meninggal, tapi ruhnya tetap hidup dan saya percaya beliau
tidak bakal meninggalkan santrinya begitu saja. Meski aku tidak talaqi
dengan beliau, tapi mestinya beliau akan tetap menganggapku sebagai santrinya
karena saya mesantren di wilayah yang menjadi binaan beliau, karena saya pun
mengaji langsung ke murid-murid beliau yang sekarang menjadi kiai yang saya
temui untuk dimintai ilmunya. Pengajian itu sudah saya khatamkan.
Setiap hari jumat yang meski
menjadi hari libur untuk wilayah pesantren saja, itu tidak berlaku bagi saya.
Saya mengisinya dengan mengaji tilawah al-Quran dan belajar kaligrafi pada kiai
Rifai. Saya pun tiap tahun selalu diajak kiai Rifai untuk mengikuti Musabaqah
Tilawatil Quran tingkat kabupaten. Bahkan, saya pernah menjadi utusan provinsi
untuk tampil di kancah nasional. Hanya terpaut satu poin saja dari peringkat
ketiga, saya tidak berhasil menjadi juara. Tapi, ini saya jadikan motivasi
supaya saya dapat belajar dan berlatih lebih giat lagi.
Kiaiku kini semakin sepuh. Tapi, wajah beliau semakin
teduh. Setiap kali bertemu, aku tak berani
menatapnya. Wajahnya memancarkan cahaya yang membuatku menunduk begitu saja. Saat masih tak paham kenapa saya mesti diundang
oleh beliau. Pokoknya, saya manut saja, titik, tanpa koma apalagi tanda tanya.
Saat itu, saya ingin sekali matur
hendak merantau, melanjutkan studi di jenjang strata satu. Namun, sebelum
pernyataan itu mengalir, beliau lebih dulu mempersilakanku untuk mengembara
dengan penuh rida dan limpahan doa.
***
Sesaat setelah jamaah asar,
kami bertiga berangkat dengan mobil pribadi kiai yang masih sama seperti saat
saya masih tinggal di pesantren dulu, bahkan sebelum saya tinggal di pesantren.
Saya membukakan pintu depan dan membantu kiai masuk. Kiai dan sopir duduk di
bagian depan, saya membawa tas kiai yang entah isinya apa, duduk di bagian
belakang sendirian.
Setelah melewati kemacetan,
akhirnya kami tiba di sebuah hotel. Sebelumnya, aku tak pernah sekalipun
menginjakkan kaki di hotel. Terlebih hotel bintang lima seperti ini.
Kami pun masuk dan langsung
disambut oleh orang yang bakal kiai temui. Beliau langsung cium tangan kiai dan
memeluk kiai begitu erat dan seperti orang-orang besar bertemu, kiai dan entah
siapa yang beliau temui itu cium pipi kanan dan pipi kiri.
Aku mengekor saja di belakang
kiai bersama pak sopir. Aku pun tetap mengekor tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun. Pokoknya manut saja.
Kami masuk ke sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat meja bundar
dan telah hadir pula beberapa orang yang kemudian langsung melakukan hal yang
sama seperti orang pertama tadi, mencium tangannya, memeluk dan cium pipi kanan
dan kiri. Aku tak turut dalam lingkaran meja bundar itu. Aku dan pak sopir
duduk di belakang.
“Mau minum apa mas?”, seorang
perempuan berkemeja putih dilapisi rompi hitam dan bercelana panjang hitam
menawarkan kepada kami berdua.
“Kopi hitam aja Mba”, jawab
pak sopir tanpa pikir panjang.
“Kalau mas?”
“Samakan saja mba”
Saya dan pak sopir sama-sama
terdiam. Kami tak saling mengobrol khawatir mengganggu obrolan di meja bundar.
“Silakan mas”, pelayan itu
menyajikan kopi yang kami pesan.
Saya tak mengerti orang-orang
besar itu sedang membicarakan rencana apa, yang pasti, sepertinya mereka
membincangkan negara ke depan harus seperti apa. Entahlah, saya tak sengaja
mendengarnya, bukan saya mau menguping.
Setelah kurang lebih satu jam
dan kopiku telah habis seperempat jam yang lalu, akhirnya, mereka meyelesaikan
perbincangannya. Kiai diminta memimpin doa untuk kemaslahatan bangsa dan
negara. Saya dan pak sopir di belakang turut menengadahkan tangan, mengamini
segala yang dipanjatkan kiai.
“Al-Fatihah”, kiai
mengakhiri doanya. Setelahnya, kiai dan seluruh orang yang duduk melingkari
meja bundar itu saling bersalaman.
Aku dan pak sopir tetap mengekor
di belakang. Sebelum kami keluar ruangan, kami dicegat oleh seseorang yang juga
aku tak tahu siapa. Dia berperawakan tinggi dan kekar. Menyalamiku dan pak
sopir.
“Terima kasih, Pak”.
“Terima kasih, Mas”, ucapnya
sembari menyelipkan amplop cokelat ke tanganku.
“Apa ini Pak?”, tanyaku kaget.
“Sudah mas, terima saja. Ini anggap saja sebagai rasa terima kasih kami, mas telah mengantarkan kiai
ke mari”.
Pak sopir menyampaikan senyum
kepadaku. Saya pun menjawabnya dengan senyum pula. Kami langsung melangkah ke
tempat parkiran. Membawa mobil ke depan pintu keluar hotel.
Setelah saya membuka pintu
depan mobil sebelah kiri, saya langsung menuntun kiai masuk ke mobil. Tak lama,
mobil langsung melaju mengejar matahari terbenam. Kami kembali ke rumah.
“Besok kuliah gak, Han?”
tanya kiai di dalam mobil.
“Iya, kiai”.
Sesampainya di rumah, saya
menawarkan diri untuk memijat kiai. Puji syukur beliau kersa untuk dipijat.
Setelah memijat beliau, saya meminta diri pamit.
“Mohon izin pamit kiai. Mohon
doanya dan bimbingannya selalu kiai”
“Iya. Pulangnya bareng pak
Fandi ya”
“Fan, tolong antarkan Farhan
ke asramanya”.
Di asrama, saya langsung
membuka amplop cokelat pemberian orang yang berterima kasih telah mengantarkan
kiai ke hotel itu, dengan seraya mengucapkan lafal basmalah.
“bismillahirrohmanirrohim”
Saya melongo. Kaget bukan
kepalang. Uang ratusan ribu masih terikat dengan kertas putih yang di atasnya
tertera nominal Rp. 10.000.000.
Ciputat, Sabtu, 21 Maret 2015
Biodata
Cerpen ini adalah karya Muhammad Syakir Niamillah.
Saat ini penulis aktif di Forum Silaturrahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA
BPC) Jakarta Raya. Selain itu, penulis juga sedang "bermain-main" dengan bahasa
dan sastra Indonesia di Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia
juga aktif di Pusat Studi Linguistik Terapan (PSLT) dan Pusat Studi Gender dan
Anak (PSGA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, ia juga tercatat
sebagai anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Fakultas
Tarbiyah Cabang Ciputat (PMII KOMFAKTAR) dan Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta
Raya (HIMA CITA).

Posting Komentar