(Kajian terhadap Cerpen Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan dan Pertolongan)
![]() |
Kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (tengah) |
Navis tidak saja mengangkat tema-tema sosial dalam karya-karyanya
sebagai sebuah kritik, tetapi karyanya itu juga menghubungkan
masalah sosial tersebut dengan agama. Hal ini
dilatarbelakangi karena daerah tempat dia lahir dan tinggal itu memiliki
tradisi adat dan agama yang kuat. Dalam hal ini, tentu agama Islam dan adat Minang.
Pada buku Sastra dan Agama karya Marwan Saridjo, ada satu bagian yang khusus membahas Robohnya Surau
Kami. Ternyata di sana sedikit dikupas tentang hubungan Al-Quran Surat
Al-Balad Ayat 11-16 dengan cerpen tersebut. Bagi saya, ini cukup menarik dan
perlu dikaji lebih dalam lagi.
Sinopsis
Kumpulan cerpen karya Ali Akbar Navis itu
diberi judul yang sama dengan cerpen pertama di buku tersebut, yakni Robohnya Surau Kami. Cerpen pertama ini dimulai dengan penggambaran
lokasi surau.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan
menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan
raya arah ke barat. maka kira-kira sekilometer dari pasa akan sampailah Tuan di
jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kana, simpang yang kelima, membeloklah
ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua.
Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran
mandi.[1]
Setelah itu, pengarang mulai mengenalkan tokoh utama, yakni Haji
Saleh. Di sini, Navis bercerita bahwa sebelumnya di surau itu pernah ada
seorang kakek yang hidupnya hanya mengandalkan belas orang meski ia sendiri
tidak mengharapkannya. Ia dikenal sebagai pengasah pisau dan gunting.
“… Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir
dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak
pernah meminta imbalan apa-apa…”[2]
“Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…”[3]
Cerpen ini mengisahkan tentang keputusasaan kakek yang bernama Haji Saleh, seorang ahli ibadah di surau, karena
mendengar cerita atau Navis mengatakannya sebagai dongeng bualan Ajo Sidi yang
seolah memojokkannya bakal masuk neraka karena hanya memikirkan diri sendiri
saja, beribadah terus menerus tanpa memedulikan keluarganya.
“Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya,
punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir atin,
kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala…”[4]
Cerpen kedua berjudul Anak Kebanggaan. Sastrawan kelahiran 17 November 1924 di Padang Panjang, Sumatera Barat itu
mengisahkan tentang seorang ayah bernama Ompi yang sangat memiliki harapan
besar terhadap anaknya yang bernama Indra Budiman untuk menjadi seorang dokter.
Ompi digambarkan tidak peduli dengan omongan orang lain. Padahal orang lain
memberikan komentar dan kritik terhadap perilaku anaknya di Jakarta. Mereka
yang tahu kehidupan anaknya seperti apa di sana. Namun karena harapannya yang
besar terhadap anaknya itu dan sebelumnya Indra Budiman sempat mengirim rapor
dengan nilai yang baik, ia menutup mata dan telinga terhadap orang lain yang
mengkritik dan memberikan komentar terhadapnya. Malah, ia beranggapan
orang-orang yang demikian itu iri terhadap anaknya.
“Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi
ayah mengerti, kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidumpmu
yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kiita sumpal mulut mereka
yang jahat itu,” tulisnya dalam sepucuk surat.[5]
Anaknya sendiri meski tidak langsung
memberikan ucapan, tetapi melalui orang-orang yang membicarakannya, Indra
Budiman itu memiliki citra yang negatif karena ternyata di sana ia berlaku
tidak seperti yang Ompi harapkan. Jauh bahkan.
Tapi semua orang tahu, bahkan tidak menjadi
rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi semata. Namun
orang hharus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya.
Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang dicapai
anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala
akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama
baik anaknya.[6]
Di antara keduanya, ada sosok aku. Tokoh aku
di sini berlaku baik karena membantu mengurusi Ompi saat ia menderita sakit
yang berakibat hanya bisa tiduran saja.
Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu
dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama.
Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah
berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya.[7]
Cerpen ini beralur maju.
Pertolongan sebagai cerpen terakhir yang dibahas dalam
tulisan ini. Cerpen ini mengisahkan perjuangan seorang Sidin yang menjadi
relawan pada kecelakaan kereta. Ia menolong
korban tanpa pandang bulu. Awalnya ia hanya ingin melihat kecelakaan itu. Lalu
karena ada yang meminta bantuannya, akhirnya ia turut menolong beberapa korban.
Kemudian, ia setelah membantu memindahkan korban yang dianggap sebagai Mak
Gadang, ia melanjutkan tugasnya lagi. Di dalam gerbong, dengan satu orang lain,
ia mencoba mengeluarkan seorang gadis kecil. Tetapi orang Jepang malah memberi
orang lain yang di sampingnya itu kampak. Dan kaki gadis itu dipotong dengan
kampak oleh orang itu. Seketika setelah melihat kaki gadis tersebut terpisah
dari badannya, ia jatuh terkulai dan mayat yang menumpuk di atasnya pun
menimpanya.
Setelah ia siuman, ia berjalan menuju perawat dengan maksud ingin
menanyakan gadis kecil yang dipotong kakinya itu. Tetapi, ada orang yang
tertawa menyeringai kepadanya. Ia ingat bahwa orang itu adalah orang yang
membantunya di dalam gerbong. Seorang perawat pun akhirnya mengatakan bahwa
orang yang diikat kaki dan tangannya itu adalah orang gila.
Cerpen ini beralur maju, diawali dengan cerita Sidin yang berlari
menuju tempat tragedi kecelakaan kereta itu. Kemudian Sidin turut membantu
proses pengangkatan korban dari tempat kejadian. Lalu sampai akhirnya dia
pingsan gegara melihat seorang gadis kecil yang dipotong kakinya. Sampai ia
menyesal karena orang yang di sampingnya dalam membantu mengangkati korban itu
adalah orang gila.
Semua cerpen di atas berlatar Minangkabau.
Pada cerpen terakhir, Anak Kebanggaan, digambarkan Indra Budiman dan
beberapa warga sekampungnya tinggal di Jakarta. Tetapi cerpen tersebut
menggambarkan suasana keadaan saat di Jakartanya.
“Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta,
Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai
pasti.”[8]
Cerpen Penolong berlatar Lembah Anai.
“Dalam berlari Sidin selalu ingat, bahwa ada kereta api jatuh di
jembatan Lembah Anai. …”[9]
Bahasa yang digunakan oleh pemimpin redaksi
harian Semangat di Padang (1971-1982) pada kumpulan cerpen ini adalah
meliputi bahasa daerah, yakni bahasa Minang dan bahasa Indonesia. Selain itu,
karena cerpen-cerpen yang ditulis oleh penerima hadiah seni (1988) dan hadiah
sastra (1992) dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga membahas kritik
terhadap perilaku beragama sebagian penganutnya, maka bahasa agama banyak juga
ditulis oleh dia, seperti surga, neraka, haji, Tuhan. Bahkan sampai nama yang
digunakan pun menggunakan bahasa agama, seperi Saleh, Sidi dan Sidin.
Sudut pandang yang diterapkan oleh pengarang
yang pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan di Bukittinggi
(1952-1955) itu ada dua, yakni pada dua cerpen pertama, Robohnya Surau Kami
dan Anak Kebanggaan, menggunakan orang pertama, aku, sedangkan pada
cerpen terakhir, Pertolongan, Navis menerapkan sudut pandang orang
ketiga, yakni penulis sebagai orang yang serba tahu.
Meskipun bila kita kaji lebih dalam
satu-persatu akan kita temukan tema yang berbeda, tapi di sini saya akan
menggarisbawahi pada tema tentang pentingnya ibadah sosial. Ibadah sosial ini
meliputi pentingnya berbagi dan saling mengingatkan tentang kesabaran dan kasih
sayang. Tema ini diangkat salah satu alasannya adalah sebagai penyesuaian
kajian dengan isi kandungan Al-Quran Surat Al-Balad ayat 11-16 itu. Antara
keduanya ternyata memiliki hubungan yang cukup erat. Dari tema ini, kita akan
dapat amanat bahwa berbagi dengan orang lain itu sangat penting dan harus
dilakukan, seperti yang dilakukan oleh tokoh aku pada Ompi di Anak
Kebanggaan dan tokoh Sidin pada Pertolongan. Kita jangan sampai
melakoni apa yang dilakukan oleh Haji Saleh yang enggan melakukan kewajibannya
untuk menghidupi keluarganya.
Analisis
Ibadah pada asalnya terbagi menjadi dua, yakni
ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah. Ibadah mahdlah adalah
ibadah yang hubungannya langsung dengan Allah, seperti salat, puasa, dan haji.
Ketiganya ini tidak ada hubungannya dengan makhluk lain. Semuanya ini murni
hubungan pribadi antara seorang hamba secara individual, bukan komunal, dengan
Allah Swt. Adapun ibadah ghairu mahdlah adalah ibadah yang tujuannya sama
seperti ibadah mahdlah, yakni ke Allah swt. tetapi hubungannya melalui
perantara makhluk lain, seperti zakat, sedekah, nafkah, dan semacamnya.
Kakek pada cerpen Robohnya Surau Kami
hanya mementingkan ibadah yang taalluqnya langsung kepada Allah saja.
Dia melupakan kewajibannya selain itu, yakni ibadah ghairu mahdlah atau dalam
konteks cerpen ini dan konteks saat ini, ibadah model demikian disebut juga
ibadah sosial.
Allah Swt. mengingatkan hamba-Nya untuk
berbagi kepada orang-orang yang sedang tertimpa kesulitan, kesusahan,
kelaparan, anak yatim yang memiliki kedekatan dengan kita dan orang-orang fakir
miskin melalui Al-Quran Surat Al-Balad ayat 11-16, fala (i)qtahama
al-aqabah, wa maa adraka ma al-aqabah, fakku raqabah, aw ith’amun fii yaumin
dzi masghabah, yatiman dza maqrabah, aw miskinan dza matrabah. Meskipun ini
hanya sebuah anjuran, tetapi efek sosialnya cukup besar dilakukan atau
tidaknya.
Allah swt. menyatakan dengan terang-terangan
bahwa anjuran yang sudah disampaikan di atas itu adalah juga sebuah rintangan.
Dia menggunakan kata aqabah pada ayat 11-12, falaa (i)qtahama
al-aqabah (11) wa maa adraka ma al-aqabah (12), yang pada asalnya
bermakna jalan yang sulit di gunung untuk melewatinya.[10]
Begitu Imam As-Shawi memberikan penjelasan pada kata tersebut. Hal ini hampir
senada dengan Warson Munawwir dalam kamusnya, Al-Munawwir. Kata aqabah
di sana diartikan sebagai jalan di atas bukit dan halangan atau rintangan.[11]
Pertanyaannya setelah membaca keterangan di
atas adalah mengapa hal tersebut (berbagi dst.) dianggap sebagai rintangan?
Imam al-Shawi menetapkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk dari mujahadatu
an-nafs, jihad melawan diri sendiri dalam melakukan perkara-perkara
ketaatan dan meninggalkan yang diharamkan.[12]
Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. pernah bersabda setelah memenangi perang,
bahwa perang besar yang sesungguhnya baru akan dimulai, yakni perang melawan
kehendak sendiri.
Di sinilah Ajo Sidi mengkritik kakek yang
kelihatannya seperti ahli ibadah itu. Kakek hanya memikirkan diri sendiri untuk
mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya dengan jalan memperbanyak ibadah
mahdlahnya. Padahal ada yang terlewat dari itu, yakni kewajibannya dalam
memberi nafkah keluarganya. Di situ kakek belum bisa memerangi kehendak
nafsunya (pribadinya) untuk
memperoleh surga yang diidamkannya. Ia bahkan
mengajak orang-orang untuk menghadap Tuhan guna mendapatkan haknya sebagai ahli
ibadah yang hanya memikirkan Dia.
Untuk melaksanakan ibadah itu tentu saja butuh
tenaga. Tenaga itu bisa kita dapatkan dari makanan. Makanan dapat kita peroleh
dengan cara membelinya dengan uang yang tentu hasil dari pekerjaan kita. Dari sini
bisa kita ambil premis, orang yang tidak bekerja itu tidak bisa ibadah.
Terlepas dari nanti bakal ibadah atau tidak,
manusia itu butuh makan. Itu hal kodrati yang tidak bisa diubah. Bahkan seorang
Nabi pun karena manusia seperti kita, tentu juga merasakan hal yang sama
seperti kita, merasakan lapar. Pada cerpen Robohnya Surau Kami itu,
kakek tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga
istri dan anaknya teraniaya.
“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu
melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan
orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menupu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang
kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beibadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku meyuruh engkau semuanya
beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah
saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja tidak. Kamu
semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat. Halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!”[13]
Padahal, Allah telah memerintahkan kita untuk memberi makan kepada
orang yang kelaparan dan kesusahan. Aqabah atau rintangan yang dimaksud
dalam surat Al-Balad adalah memerdekakan budak, memberi makan kepada anak yatim
dan orang miskin yang kesusahan. Di sini, Allah lebih menekankan kepada orang
yang terdekat, yatiman dza maqrabah. Mengapa demikian? Karena Nabi
pernah bersabda: “Sedekah kepada orang miskin itu (akan mendapatkan pahala)
sedekah (saja) dan (sedekah) kepada sanak saudara (kerabat) itu (mendapatkan)
dua (pahala), yakni (pahala) sedekah dan (menjaga) hubungan silaturahmi.”[14]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Pada cerpen Anak Kebanggaan, tokoh aku
mengurusi dan memotivasi Ompi yang sudah mulai berputus asa. Ia
menceritakan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu dan masa yang akan
datang. Bila kita tafsirkan ayat di atas secara kontekstual, ith’amun fii
yaumin dzi masghabah akan berarti memberikan motivasi saat putus asa.
Meskipun makna asalnya menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Dlahak dan
Qatadah, masghabah itu bermakna sama dengan maja’ah, artinya
kelaparan[15],
sedangkan ith’am berarti memberi makan. Namun dalam konteks ini, ith’am
dapat diartikan dengan memberi motivasi dan masghabah berarti saat
berputus asa.
Kontekstualisasi ayat tersebut juga dapat kita
terapkan pada cerpen Pertolongan. Sidin memberikan pertolongan kepada
siapa pun termasuk kepada Mak Gadang yang dikenal sebagai seorang pencatut
dan lebih dikenal lagi sebagai pencari perempuan untuk orang-orang Jepang.
“Sidin kenal nama Mak Gadang di kotanya. Dikenal pencatut. Tapi
lebih terkenal sebagai pencari perempuan untuk orang-orang Jepang dan mendapat
upah dengan menjualkan barang-barang curian milik Jepang langganannya itu. Dan
Mak Gadang menjadi kaya karenanya.”[16]
Pada cerpen ini, ith’am berarti
memberikan pertolongan, sedangkan masghabah bermakna kecelakaan.
Ayat al-Quran dapat dimaknai secara tekstual
dan kontekstual. Bila kita lihat, ada kesamaan pada ketiga cerpen ini yang
melandasi kontekstualisasi ayat tersebut. Pertama, objek yang diberi
semuanya dalam keadaan kesusahan, yakni kelaparan, kecelakaan dan keputusasaan.
Ketiganya butuh asupan, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu,
pemberian asupan yang harus dilakukan oleh Haji Saleh kepada keluarganya adalah
berupa makanan sesuai dengan teks ayat di atas.
Berbeda dengan Haji Saleh, aku dalam Anak
Kebanggaan tidak memberikan makanan, karena Ompi dalam harta ia sangat
berkecukupan, terbukti ia mampu membiayai Indra Budiman untuk sekolah
kedokteran di Jakarta.
“Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena
orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Oooo,
perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa
tidakl?”[17]
Kutipan di atas sangat menggambarkan betapa Ompi adalah orang yang
berkecukupan. Bahkan dia tergolong orang yang kaya. Ia tidak segan-segan
mengeluarkan uang banyak demi anaknya mendapatkan gelar seorang dokter.
Aku memberikan asupan yang Ompi butuhkan,
yakni motivasi, kata-kata yang membangunkan jiwanya dari keterpurukan dan
keputusasaan karena kehilangan kabar tentang anaknya yang berada jauh darinya.
Di samping itu secara samar-samar aku elus terus harapannya yang
indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita masa lalu dan angan-angan
masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut.[18]
Sidin juga memberikan sesuatu yang dibutuhkan
oleh korban kecelakaan itu, yakni pertolongan.
Sesorang menyuruh Sidin ikut menggotong korban yang baru saja
dikeluarkan dari gerbong-gerbong itu. Dengan beberapa orang ia mengangkatnya.[19]
Saya tidak melihat Navis menulis Al-Quran
Surat Al-Balad ayat 11-16 secara langsung atau eksplisit, tetapi kandungannya bisa kita dapatkan. Ia menguraikannya secara implisit.
Ini terlepas ada kesengajaan atau tidak Navis menulis kandungan ayat-ayat
tersebut, tetapi di sini ditemukan memiliki hubungan yang cukup kuat.
Simpulan
Kita tidak hanya diwajibkan untuk ibadah mahdlah. Apa artinya jika
kita ibadah dengan begitu khusyuk tetapi saudara kita, tetangga kita, atau pun
orang yang terdekat dengan kita tertindas, kelaparan, tidak terurus. Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak hidup sendirian. Kita butuh orang lain dan
orang lain pun demikian. Apalagi sebagai orang tua, tentu ada kewajiban
menafkahi keluarganya. Meski ayat yang dikutip adalah ayat tentang anjuran,
tetapi bila kontekstualisasikan dalam hal cerita Robohnya Surau Kami,
bisa kita ambil pelajaran bahwa kita harus berbagi kepada orang terdekat, tidak
boleh menelantarkannya. Tentu dengan tetap menjaga ibadah mahdlah kita, salat
dan puasa kita tidak ditinggal.
Kita juga perlu belajar dari tokoh aku yang rela mengurusi Ompi
yang sedang kesusahan memikirkan nasib anaknya yang tidak jelas. Ia
memotivasinya dengan menceritakan masa-masa lalu dan masa depan yang
menyenangkan agar Ompi terus memiliki harapan hidup di tengah pesakitannya yang
anggapan tokoh aku sendiri tak lama lagi hidupnya. Kita harus bisa menjadi seperti
tokoh aku dalam cerpen Anak Kebanggan yang malah rela bersedia mengurusi
Ompi.
Kita juga harus bisa menjadi seperti tokoh Sidin dalam cerpen Pertolongan.
Dia membantu menolong korban-korban kecelakaan kereta. Ia bahkan mengutuki
sendiri setelah meminum kopi yang diberikan orang lain untuk sendiri tanpa
memedulikan korban yang tengah mengerang.
Ali Akbar Navis mentransformasikan Al-Quran Surat Al-Balad ayat
11-16 dengan cara implisit. Ia tidak mengutipnya secara langsung, tetapi
kandungan itu ada pada tiga cerpennya itu.
Pustaka
Al-Dimasyqi,
Imaduddin bin Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Juz 4. Semarang: Toha
Putra.
Al-Shawi, Ahmad. Hasyiyah Al-Allamah Al-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain Juz 4. Semarang: Toha Putra.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap.
Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1997. Cetakan Keempat Belas. Edisi kedua.
Navis, A.A. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2010. Cetakan Keenam Belas.
Muhammad Syakir Niamillah
Anggota FORSILA BPC Jakarta Raya
Saat ini, dia tengah meneruskan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
[1] A.A. Navis, Robohnya Surau Kami, (Jakarta: Gramedia Putaka Utama, 2010),
cetakan keenam belas, h. 1
[2] Ibid,
h. 2
[3] Ibid
[4] Op
Cit, A.A. Navis, h. 5
[5] Ibid,
h. 17-18
[6] Op
Cit, A.A. Navis, h. 17
[7] Ibid,
h. 23
[8] Ibid,
h. 17
[9] Op
Cit¸ A.A. Navis, h. 113
[11] Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir
(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 952
[13] A.A. Navis, Robohnya Surau Kami,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), Cet. Keenam belas, h. 11-12.
[14]
Imaduddin ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-‘Adzim Juz 4,
(Semarang: Toha Putra), h. 514
[16] Op
Cit, A.A. Navis, h. 117
[17] Op
Cit, A.A. Navis, h. 17
[18] ibid,
h. 23
[19] Ibid,
h. 116
Posting Komentar