Pembedah sedang menjelaskan
Masih dalam bulan Zulhijjah dan suasana haji, FORSILA BPC Jakarta Raya menyelenggarakan bedah buku Haji karya Ali Syariati di sekretariatnya yang terletak di belakang gedung TIK UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan (Jumat, 23/09).

Hadir sebagai pembedah Akhmad Ali Hasyim. Dalam pembicaraannya, seorang yang kini aktif sebagai staf ahli DPR RI itu mengulang-ulang bahwa ketika sebelum, sedang dan setelah melaksanakan haji itu keakuannya harus hilang. Artinya, aku itu harus menyatu dengan kamu, dia mereka menjadi kita.

“Keakuannya itu harus hilang. Di sana harus jadi kita. Kita tuh siapa? Kita itu ummat,” ujarnya menjelaskan dengan bersemangat.

Segala wewangian itu harus dienyahkan. Segala pakaian yang berwarna-warni itu harus ditinggalkan. Segala perhiasan harus ditanggalkan. Semua sama ketika mulai menyentuh miqat dan niat, berpakaian serba putih. Tidak ada lagi jenderal. Tidak ada lagi menteri. Tidak ada gubernur, bupati, artis sampaipun tukang becak, semuanya sama di hadapan Allah Swt.

Jumrah itu katanya kita sedang melempari setan, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ismail As. yang saat itu digoda oleh setan untuk menolak ajakan ayahnya, Nabi Ibrahim As. Ali Hasyim mengatakan bahawa penulis buku ini menggambarkan bahwa jumrah itu membayangkan kita yang sedang melempari diri kita sendiri. Melempari kesalahan, dosa dan khilaf.
Salah satu versi buku Ali Syariati (sumber: Republik Buku)


Dalam bukunya yang sempat dilarang terbit di negaranya sendiri, Iran, itu Ali Syariati tidak menjelaskan haji dengan pandangan-pandangan fiqh. Tetapi, dia mengaitkannya dengan masalah-masalah sosiologi, antropologi dan filsafat. Menurut pembedah, tulisan Ali Syariati ini sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistensialismenya Jean Paul Sartre. Bukunya itu dilarang terbit karena penulisnya berbeda haluan dengan pemerintahan saat itu, yakni Ayatullah Khomeini. Konon, Ali Syariati juga mati ditembak oleh pengikut fanatik Khomeini saat ia di Inggris.

Penjelasan pembedah itu diperkuat oleh pembanding, M. Sofi Mubarok. Menurutnya, Ali Syariati itu terpengaruh Jean Paul Sartre dengan eksistensialismenya. Selain itu, meminjam istilah Jacques Derrida, Ali Syariati rupanya sedang mencoba merekonstruksi haji sebagai ibadah sosial, bukan sebatas ritual saja. Lalu di mana letak sosialnya?

Kandidat doktor UIN Jakarta itu memperkuat argumen Ali Hasyim, bahwa haji itu tidak lantas selesai seusai segala ritualnya itu telah dilaksanakan.

“Haji itu memang bukan sebatas aktor,” ujarnya mengulangi penjelasan pembedah.

“Haji itu agen sosial,” lanjutnya.

Haji itu bukan untuk menaikkan prestise, misal dengan panggilan Pak Haji atau Bu Haji. Kemudian sebutan-sebutan itu seolah menjadi garis pembatas antara yang sudah dan belum haji atau menjadi undakan yang lebih tinggi dalam strata sosial. Setelah kembali dari haji, tidak lantas menjadi aku. Sekembalinya haji juga tetap harus menjadi kita yang menyatu dengan masyarakat.


Peserta sedang menyimak
Tidak berbeda jauh dengan Ali Syariati, A.A. Navis, sastrawan Indonesia, dalam perjalanan hajinya menulis surat-surat yang disampaikannya secara berkala kepada salah satu koran harian di tanah kelahirannya. Surat-surat itu lalu disatukan dalam bentuk buku. Surat itu berisi tentang pengalamannya dalam melaksanakan ibadah rukun Islam kelima. Hal ini disampaikan Syakir Niamillah dalam diskusi tersebut. Menurutnya, setidaknya ada kaitan antara kedua penulis ini, yakni sama-sama mencoba menggagas haji itu sebagai ibadah sosial.

Menurut pembedah, setidaknya buku itu memiliki enam versi terjemahan Indonesia. Di antara penerjemahnya adalah Anas Muhyidin dan Muhidin M. Dahlan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama