(Refleksi seorang kaum sarungan tentang kehidupan masyarakat muslim di Jerman) |
![]() |
Penulis saat berjalan-jalan di Pusat Kota Cologne mengenakan batik, sarung dan songkok |
Musim panas sudah masuk pada penghujungnya. Akhir bulan September ini musim sudah berganti menjadi Herbst atau dalam
bahasa Indonesia adalah Musim Gugur dimana pepohonan mulai menguning dan
daunnya berguguran. Landscape ini akan menjadi latar belakang foto yang
sangat cantik dan memang hanya dapat ditemui di Negara dengan empat musim,
termasuk di Jerman.
Malam pun semakin panjang. Matahari baru akan
terbit sekitar pukul 07.00 GMT +2. Hal
ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Bulan Ramadan lalu, dimana warga
muslim Jerman menjalankan ibadah puasa bertepatan dengan puncak musim
panas, yakni azan Subuh jam 03.00 dan Maghrib
baru datang pada pukul 22.00. Itu berarti, kami yang tinggal di negeri Der
Panzer ini harus berpuasa sepanjang 19 jam, bahkan negara-negara di utara Eropa
seperti Swedia dan Finlandia mencapai 21 jam waktu puasanya. Menanggapi situasi
tersebut, The European Council for Fatwa and Research / ECFR, yang
merupakan majelis fatwa ulama
Eropa per
tahun 2015 lalu memutuskan beberapa hal, dalam satu sumber terjemahan bebasnya adalah
demikian :
“Umat Islam yang berada di Negara di mana
matahari tidak pernah tenggelam, adalah agar mereka mengambil waktu di
hari-hari yang siang dan malam sama panjang, sebagai ukuran menentukan waktu
puasa dan shalat di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, waktu-waktu ibadah puasa
Ramadhan disesuaikan dengan bulan-bulan di mana durasi siang dan malam sama.
Sedangkan di Negara-negara yang malamnya
sangat pendek di mana tanda fajar tidak jelas dan tidak cukup untuk shalat
Isya, tarawih, sahur, ECFR menfatwakan dua hal. Pertama, melihat hari terakhir
di mana tanda terbit dan tenggelamnya matahari, serta waktu Isya cukup jelas,
untuk dijadikan pedoman waktu-waktu ibadah Ramadhan. Waktu yang demikian
biasanya terjadi pada akhir April atau awal Mei.Kedua, untuk umat Islam di Negara-negara
di mana malamnya sangat pendek, diperbolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan
sahur dan shalat fajar (subuh) sebelum 1 jam 5 menit dari terbitnya matahari
Karena itu di Negara-negara Eropa yang
siangnya sangat panjang, ECFR memberi fatwa tidak boleh menjamak shalat Dhuhur
dengan Ashar karena tandanya sudah jelas. Sedangkan shalat Magrib, Isya, dan
tarawih boleh dijamak dalam satu waktu lantaran tanda waktunya tidak jelas.”
(Ikhwanul Kiram Mashuri dalam www.republika.co.id)
Saya tidak akan membahas panjang tentang fatwa
tersebut dalam tulisan ini karena membutuhkan space yang lebih banyak,
mungkin fatwa tersebut akan lebih menarik
untuk dikaji dalam forum-forum bahtsul masail di pesantren-pesantren di
Indonesia, mengingat hal ini sangat esensial karena menyangkut kewajiban rukun
islam yang keempat. Saya sendiri pada saat bulan puasa lalu
lebih memilih untuk menjalankan puasa mengikuti waktu normal di sini, walaupun
sangat berat karena memiliki waktu hanya lima jam untuk berbuka yang disambung
dengan sholat Maghrib, Isya, tarawih, sahur dan kemudian sholat Subuh, belum
ditambah siang hari aktifitas harus berjalan seperti biasanya. Bersyukurlah
menjadi warga Negara Indonesia karena Bumi Pertiwi kita terbentang di garis
ekuator sehingga memiliki jumlah malam dan siang yang seimbang sepanjang tahun;
masing-masing (malam dan siang) 12 jam.
Kehidupan Umat Islam di Jerman ; Perkawinan antara
Nasionalisme dan Religiusitas
![]() |
Mesut Ozill berdoa dengan cara Islam sebelum bertanding |
|
Warga muslim di Jerman didominasi imigran dari
Turki (lebih dari 80%) dan sisanya berasal dari Bosnia Herzegovina, Yugoslavia,
Albania, Iran, Maroko, Afghanistan serta Negara Arab dan Afrika Utara lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun Religionswissenschaftlicher Median- und
Informationsdienst e.V. (REMID), dari angka total muslim di Jerman, hanya sekitar 15.000
orang keuturanan Jerman asli yang memeluk Islam.
Awal masuknya para pendatang tersebut
bermula pada tahun 1960-an ketika Jerman dilanda krisis pekerja. Mereka
berdatangan sebagai “pekerja tamu” hingga akhirnya menetap dan mendapat kewarganegaraan
Jerman. Lalu kini, para pengungsi yang datang dari negara konflik menambah daftar imigran yang menduduki negara tersebut.
Menurut DW, aqidah yang dianut mereka ada enam
mazhab Islam, dengan kaum Sunni yang terbanyak, yaitu 74,1%. Sementara penganut
Alawiyah 12,7% dan Syiah 7,1%.
Kota-kota yang dihuni sebagian besar kaum
muslim di sini antara lain Berlin, Cologne, Frankfurt, Stuttgart, Dortmund,
Essen, Duisburg, Munich, Nuremberg, Darmstadt, Hamburg serta lainnya; yang
merupakan kota kawasan Industri.
Kebetulan saat ini saya tinggal di kota Cologne dan akan pindah ke Duisburg
Oktober nanti, sehingga saya sering berinteraksi dengan imigran muslim di daerah
ini. Mereka sangat antusias menyapa saya ketika sholat Jum’at ditambah setelah
mereka mengatahui saya berasal dari Indonesia.
![]() |
Masjid DITIB di Kota Cologne |
Perkumpulan masyarakat muslim di sini sangat
erat kaitannya dengan nasionalisme masing-masing negaranya. Organisasi
masyarakat keislaman sebagian besar terkelompokkan berdasarkan negaranya seperti
: Diyanet İşleri Türk İslam Birliği (DİTİB) yang merupakan perkumpulan
masyarakat muslim dari Turki, Islamische Gemeinschaft in Deutschland
yang adalah perserikatan muslim dari bangsa Arab dan Verband der Islamischen
Gemeinden der Bosniaken yang merupakan rumah bagi Muslim Bosnia. Untuk
masyarakat Indonesia sendiri ada Indonesisches Weisheits und Kulturzentrum
e.V. (IWKZ e.V.) serta adapula Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama
Jerman dan Pengusrus Cabang Istimewa Muhammadiyah. Saya dengar dari beberapa teman
yang berkewarganegaraan Malaysia dan India mereka pun memiliki perkumpulan
serupa. Jadi, rasa nasionalisme sangat berperan penting dalam menghidup-hidupi
syiar keagamaan Islam di Jerman. Rasanya, tanpa andil nasionalisme pada bendera masing-masing,
aktifitas keagamaan akan sulit berjalan. Kesamaan bahasa dan kultur sepertinya
adalah faktor utama yang melandasi kondisi tersebut.
Islamophobia di Jerman dan Pengalaman Memperkenalkan Islam Indonesia
![]() |
Aksi unjuk rasa kelompok anti Islam |
Jerman menjunjung tinggi kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Namun, isu-isu tersebut masih terus terbuka untuk
diperdebatkan oleh publik Jerman.
Terdapat pula kelompak anti migran dan Islam yang
bernama Pediga; merupakan kepanjangan Patriotische Europaeer Gegen
die Islamisierung des Abendlandes (Kaum Patriotik Eropa Melawan Islamisasi
Barat) yang dipimpin Lutz Bachmann. Kelompok ini terkadang bersitegang
dan menunjukkan sikap-sikap kontoversial, seperti pada saat pimpinannya
menyebut para migran muslim dengan ejekan “hewan” dan “sampah”.
Sementara itu pada bulan Juli lalu terjadi rentetaan aksi yang melibatkan migran
muslim, dimana terjadi empat serangan berturut-turut
dalam kurun waktu tujuh hari. Di tengah islamophobia yang melanda Eropa, terjadi
tragedi-tragedi berikut: 18 Juli di Kota Wuerzberg, seorang pemuda keturunan
Afghanistan menyerang orang-orang dalam kereta dengan sebilah kapak menyebabkan
15 orang luka-luka; 22 Juli terjadi penembakan di Munich menewaskan sembilan orang melibatkan
imigran Iran; 24 Juli di Reutlingen, seorang Syiria membunuh ibu hamil dengan
gergaji dan pada hari yang sama, seorang pemuda Afghanistan
meledakkan dirinya sehingga melukai 12 orang di Ansbach.
Peristiwa-peristiwa
tersebut berdampak pada menghangatnya kembali perdebatan-perdebatan pro dan kontra terkait penerimaan
publik terhadap migran
muslim di Jerman. Hanya saja sejauh ini, Pemerintah
Jerman sepertinya terlihat tenang dan masih memilih untuk menunjukkan sikap
terbuka terhadap siapapun, termasuk migran muslim. Saya sendiri heran dengan sikap yang ditunjukkan oleh negara ini, mereka
memperlakukan siapapun dengan sama, para migran muslim ini mendapatkan hak pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan selayaknya
warga Jerman pada umumnya.
Saya memiliki pengalaman ketika memperkenalkan
diri sebagai orang Asia tetapi memiliki nama dalam bahasa Arab. Tampaknya gaung
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia belum
sepenuhnya terdengar dalam kancah pergaulan Internasional. Mungkin bagi negara-negara
Arab maupun Islam lainnya mereka sudah tahu jika Indonesia adalah negara yang
“penting” dan memiliki peranan strategis dalam dunia keislaman. Tetapi ketika saya berbincang dengan teman
dari negara-negara Amerika Selatan, Afrika atau Eropa mereka terhenyak ketika
saya bercerita tentang wajah Islam ala Indonesia yang penuh toleransi dan
kedamaian, sebagian dari mereka bahkan penasaran ingin mengunjungi Indonesia.
Salah satu teman saya dengan takjub mengatakan bahwa bagaimana mungkin kalian "merayakan" hari besar agama yang berbeda-beda dalam satu tahun dan itu dilegalkan oleh negara serta menjadi hari libur nasional?
Bagaimanapun kondisinya, saya selalu berpegang
teguh pada prinsip yang diajarkan guru saya, K.H. Maimoen Zubair, “Ikan di laut
tidak menjadi asin hanya karena hidup di air asin”. Mengingat kehidupan “bebas”
ala barat memang menjanjikan segalanya di dunia ini, tetapi kita sama sekali
tidak boleh lupa jati diri dan ke mana kita harus kembali. Ya, bulan Oktober segera menyambut dan dunia akademik akan berjalan kembali
seperti biasanya. Pula akan penuh dengan tugas paper dan
presentation. Saya pribadi masih terus belajar sembari mengamati hal-hal
baru di negara pimpinan Angela Merkel ini.
Sampai berjumpa pada
tulisan selanjutnya :)
M. Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
Mahasiswa University of Duisburg Essen, program MA Development and Governance
Posting Komentar