Meningkatnya
ketegangan antarkelompok yang dipicu perbedaan sikap dalam beragama, politik, dan
kebangsaan memiliki potensi memecah belah NKRI. Hal ini pun ditengarai disusupi berbagai kepentingan, baik dalam maupun asing,
sehingga membuat pemerintah bergegas merangkul berbagai elemen bangsa yang
dipercaya mampu merekatkan dan meredam konflik multidimensi tersebut.
Pesantren sebagai salah satu sumbu
pencetak kader bangsa melalui pola pendidikan agama dan kemasyarakatan adalah
aktor penting dalam menyeimbangkan kegaduhan yang semakin bingung untuk
ditafsirkan oleh pihak manapun. Pesantren adalah tulang punggung NKRI dalam
menyemai dan memupuk Islam rahmatan lil ‘alamin sejati. Ini telah terbukti dengan kontribusinya
dalam sejarah panjang Indonesia, baik saat merebut kemerdekaan, mempertahankan
kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan.
Khusus peranan Pondok Buntet
Pesantren, Buntet sebagai pesantren besar dan salah satu pesantren tertua di
Indonesia serta memiliki pengaruh tinggi dalam kehidupan bermasyarakat ini
memiliki peranan strategis dalam menjaga persatuan dan kesatuan di Indonesia. Terlebih secara geografis, Buntet yang
berlokasi di Kabupaten Cirebon berjarak tak terlalu jauh dengan Ibu Kota
Jakarta. Hal tersebut memudahkan komunikasi guna
saling mempererat satu sama lain. Beberapa tahun belakangan (atau bahkan sejak
dulu tepatnya), Buntet banyak menerima kunjungan dari pemerintah melalui
pejabat eksekutifnya dan/atau TNI/POLRI dalam intensitas yang cukup tinggi,
para Jenderal tak segan datang untuk meminta nasihat dan petuah para masyayikh
Buntet perihal masalah yang mereka hadapi (untuk mengatahui secara detail siapa
saja yang pernah datang ke Buntet bisa dibaca di berbagai media lepas).
Tercatat salah satu pertemuan penting yang belakangan digelar di Buntet adalah
pertemuan antara Mendagri, Menag, TNI, POLRI dan Ulama Wilayah
Barat-Timur-Tengah Indonesia pasca konflik Tolikara di Papua pada 2015 lalu.
Pertemuan itu digelar untuk mengantisipasi kekerasan susulan atas nama agama
dan meminta kepada ulama dan pesantren untuk menenangkan kondisi Indonesia
secara Nasional. Terbukti, setelah pertemuan itu digelar, konflik Tolikara
tidak merembet kepada kasus yang lain.
Terakhir,
(5/2/2017), Kapolda Jawa Barat bersilaturahmi ke Buntet untuk merekatkan
hubungannya dengan pesantren, dan menyampaikan akan ada program “Polisi Santri”.
Kapolda Jabar akan mengirim pasukannya untuk belajar mengaji ke berbagai
pesantren di Cirebon dan salah satunya Buntet.
Mengapa Buntet memiliki peranan yang
begitu kental dalam kaitannya mempertahankan persatuan Negara? Ini tidak lepas
dari sejarah pendirian Pondok Buntet Pesantren itu sendiri. Sebagian besar
masyarakat Indonesia atau kalangan Nahdliyin ketika mendengar nama Buntet pasti
akan langsung teringat Kyai Abbas, “Singa Jawa Barat”, sang komandan laskar
resolusi jihad. Peranan gagah berani beliau pada perang 10 November 1945 itu
sebetulnya tak lepas dari darah yang mengalir dalam dirinya yang menetes dari
Mbah Muqoyyim, pendiri Buntet pada pertengahan
abad 18. Buntet adalah Pesantren yang didirikan Mbah Muqoyyim untuk “memberontak”
penjajah Belanda yang saat itu menekan pihak keraton untuk bekerjasama. Mbah
Muqoyyim adalah pejabat mufti keraton (semacam menteri agama atau imam agung) pada
saat itu.
Perlu diketahui, posisi mufti dalam
keraton di Nusantara adalah posisi yang sangat strategis dan vital. Raja akan
selalu meminta pertimbangan mufti sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Selanjutnya,
Mbah Muqoyyim tidak menyetujui intervensi Belanda dalam keraton lalu memilih
untuk keluar dari keraton dan mendirikan Buntet Pesantren. Mendidik masyarakat
melalui Pesantren sekaligus membuka mata masyarakat bahwa penjajahan adalah
sesuatu yang harus dilawan dan hal yang tidak semestinya terjadi. Belanda
merasa terusik dengan berbagai aktifitas keagamaan Mbah Muqoyyim di Pesantren
Buntet sehingga beberapa kali mencoba membunuh Mbah Muqoyyim, bahkan lokasi
pertama Buntet Pesantren dibakar pihak kolonial, sehingga membuat lokasi
pesantren harus digeser ke seberang sungai. Berbagai macam usaha pihak kolonial
memburu Mbah Muqoyyim tak kunjung berhasil hingga Buntet Pesantren masih tetap
bertahan hingga kini (Sejarah Buntet dapat dibaca selengkapnya dalam buku: Perlawanan
dari Tanah Pengasingan karya H Ahmad Zaini Hasan).
Sikap non kompromi kepada penjajahan
yang dengan gagah berani ditunjukkan oleh Mbah Muqoyyim mengisyaratkan bahwa
Buntet adalah pesantren yang didirikan bukan hanya untuk mengajarkan agama,
namun juga memberikan tauladan bahwa perjuangan membela tanah air adalah hal
yang tak kalah penting. Karena kedua hal tersebut (agama dan tanah air) adalah
hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Contohnya mudah diketahui,
bagaimana stabilitas beragama menjadi tidak kokoh manakala sebuah Negara
dirundung konflik yang tak berujung seperti yang terjadi di banyak negara timur
tengah.
Kiai
Abbas menambah catatan panjang sejarah Buntet dalam membela tanah air kala
kemerdekaan Indonesia ingin direbut kembali oleh pihak sekutu. Dalam berbagai
catatan disebutkan bahwa Buntet menjadi markas latihan PETA, laskar Hizbullah
dan Sabilillah (Kisah Kiai
Abbas dapat dibaca dalam tautan berikut. Penunjukan beliau sebagai komandan laskar resolusi jihad bukan
tanpa pertimbangan. Selain alim dalam berbagai macam fan keislaman,
beliau adalah pendekar yang memiliki kesaktian tinggi. Tak mengherankan jika
Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari rela memundurkan satu
hari perlawanan di Surabaya demi menunggu seseorang yang disebutnya sebagai
Singa Jawa Barat itu.
Keberhasilan Kiai
Abbas dalam memimpin pasukan untuk memukul mundur tentara sekutu membuktikan
bahwa Buntet tidak setengah-setengah dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. KH Abdullah Abbas, salah satu putra Kiai
Abbas, juga tercatat terlibat dalam pergolakan laskar Hizbullah. Beliau juga
dikenal sebagai salah satu dari lima Kiai Khos
yang menjadi rujukan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kakak beliau, KH Mustamid
Abbas, pada masanya dikenal sebagai kyai yang mempelopori untuk menerima
Pancasila sebagai dasar NKRI kala menjadi anggota MPR RI dari utusan golongan
Nahdlatul Ulama.
Kisah selanjutnya terpampang panjang
jika kita mendengar ketika para Kiai
Buntet menuturkan kisah bagaimana sikap Buntet saat ramainya isu Partai Komunis
Indonesia (PKI), bagaimana Buntet “menyeimbangkan” hubungan pesantren dengan
penguasa pada masa orde baru hingga saat era kini yang mana Buntet masih
menjadi rujukan pemerintah, baik pihak eksekutif secara langsung maupun melalui
TNI dan POLRI untuk dimintai pendapat dan sikap dalam menghadapi perpecahan bangsa.
Belum lepas dari ingatan, beberapa bulan yang lalu, KH Adib Rofi’uddin Azza,
Ketua Umum YLPI Buntet Pesantren sekaligus Mustasyar PBNU, aktif menyuarakan
dan mengingatkan santri serta masyarakat untuk tidak terprovokasi isu yang
sedang menghangat di Jakarta. Beliau meminta berbagai pihak untuk menahan diri
demi tidak pecahnya bangsa Indonesia hanya karena masalah kecil. Berbagai pihak
menjadikan Kiai Adib sebagai rujukan agar bangsa Indonesia tetap bersatu dan
tidak terpecah. Hal ini semakin memperkuat bahwa Buntet adalah pesantren yang
terbuka dalam menyikapi permasalahan kebangsaan dan selalu berkontribusi
mengisi kemerdekaan. Sejarah panjang Buntet dalam keterkaitannya memperjuangkan
NKRI diteruskan secara terus menerus oleh para Kyai dalam mendidik santri dan masyarakat
hingga kini. Masih banyak kisah yang harus di dengar tentang kontribusi baik
secara langsung maupun tidak langsung yang ditunjukkan keluarga besar Buntet.
Jika Anda melihat dan merasakan
bagaimana derap langkah Paskibraka Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet
Pesantren menghentak tanah Buntet kala mengibarkan sang Merah Putih, pasti
membuat kita merinding sekaligus bangga. Atau kala menghayati mars “Ya Lal
Wathon” ketika dinyanyikan dengan penghayatan penuh oleh para santri Buntet.
Semuanya bukan sekedar seremoni belaka, namun simbol bagaimana Buntet
membanggakan “Merah Putih di Tanah Santri”.
Jerman, 6 Februari 2017
M Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
Warga Buntet Pesantren. Saat ini sedang
melanjutkan studinya di University of Duisburg Essen, program MA Development
and Governance
Posting Komentar