Oleh:
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Muhammad Hamdi Turmudzi Noor
Belakangan ini
tengah marak pemberitaan mengenai nikah sirri. Hal ini bermula dari berita di
media tentang sebuah situs yang menyediakan pelayanan nikah sirri yang dianggap
sebagai prostitusi terselebung. Sejauh ini polisi telah menetapkan pemiliki
situs tersebut sebagai tersangka dan menahannya.
Sebelum lebih
jauh mengulas tentang nikah sirri dalam kajian fiqih, ada baiknya terlebih
dahulu disampaikan rukun-rukun nikah. Menurut mazhab Syafiʻi, nikah menjadi sah
jika memenuhi lima rukun, yaitu:
1.
Calon suami. Syaratnya:
a.
Halal (tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah), karena itu tidak
sah pernikahannya seorang laki-laki yang ihram meskipun diwakilkan.
b.
Kehendak sendiri; bukan dipaksa.
c.
Jelas; maka tidak sah jika wali berkata: “saya nikahkan puteri saya
dengan salah satu di antara kalian berdua”, misalnya.
d.
Mengetahui nama, nasab, sosok dan kehalalan calon isteri untuknya.
e.
Nyata kelaki-lakiannya. Maka tidak sah pernikahannya khuntsa.
2.
Calon isteri. Syaratnya:
a.
Halal (tidak dalam keadaan ihram).
b.
Jelas, sebagaimana syarat suami di atas.
c.
Tidak berstatus masih dalam pernikahan (masih menjadi isteri orang
lain) atau dalam masa ‘iddah.
d.
Nyata keperempuanannya, bukan khuntsa.[1]
3.
Wali, syaratnya: Islam, baligh, berakal merdeka laki-laki dan adil.
Yang dimaksud adil di sini adalah sekadar tidak fasiq. Berbeda dengan syarat
adil pada saksi. Oleh karena itu, jika walinya fasiq, maka cukup baginya
bertaubat seketika sebelum akad nikah. Jika sah taubatnya, maka sah pulalah
akadnya. Maka tidak heran seringkali kita melihat Kyai di suatu kampung meminta
wali untuk bertaubat dahulu sebelum akad.
4.
Dua orang saksi. Syaratnya sama dengan wali. Perbedaannya hanya
dalam sifat adil. Keadilan saksi harus nyata. Seseorang yang fasiq tidak bisa
menjadi saksi kecuali setelah ia bertaubat dan taubatnya tersebut telah teruji
selama satu tahun. Malikiyah tidak menganggap saksi sebagai rukun nikah.
Menurut Malikiyah, substansi pernikahan bisa terwujud tanpa perlu ada saksi.[2]
5.
Shighat, yang terdiri dari ijab dan qabul.
Dalam pernikahan
seorang perempuan yang baligh dan berakal, tiga mazhab selain Hanafiyah sepakat
bahwa walinya-lah yang menikahkan. Jika menikah tanpa wali, maka pernikahannya
batal. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari banyak Sahabat Nabi seperti
Ali bin Abi Thalib, Ibn Umar, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Aisyah dan lain-lain. Malikiyah
dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak perlu meminta persetujuan sang anak
perempuan jika ia masih gadis. Jika janda, maka harus dengan persetujuannya.
Hanabilah berpendapat harus dengan persetujuan anak perempuan tersebut, baik
gadis ataupun janda. Adapun Hanafiyah berpendapat bahwa seorang perempuan yang
baligh dan berakal bisa menikahan dirinya sendiri, tanpa wali.[3]
Jumhur ulama
berdalil dengan sabda Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ (رواه أحمد وأصحاب
السنن)
Artinya: “Tidak ada pernikahan (yang sah) kecuali
dengan wali.” (HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan)[4]
Nikah Sirri
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan “pernikahan
yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan
Agama, menurut agama Islam sudah sah”.[5]
Jika pengertian
nikah sirri yang difahami oleh masyarakat adalah seperti dalam pengertian
menurut KBBI di atas, maka hukum pernikahannya sah.
Meskipun pernikahan itu dikatakan
sebagai perjanjian yang kuat (mîtsâqan ghalîzhan) sebagaimana dalam
Al-Qur’an Surat An-Nisâ ayat 21, namun pencatatan nikah itu sendiri tidak
ditemukan dalilnya, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Pencatatan nikah juga
tidak ditemukan hukum dan penjelasannya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Dari
semua unsur-unsur pernikahan dalam hukum Islam, tidak disebut adanya pencatatan
nikah sebagai rukun atau syarat pernikahan. Pada masa Nabi SAW dan Sahabat,
pernikahan tidak pernah dicatat dan kedua pihak tidak diberikan akta.
Agar
pernikahan diketahui oleh masyarakat luas, hendaknya pernikahan itu diumumkan
antara lain melalui walimatul ‘urs. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
kepada Abdurrahman bin ‘Auf:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخاري)
Artinya:
“ Adakanlah walimah meskipun dengan (menyembelih) seekor kambing”. (HR.
Al-Bukhari)[6]
Rasulullah
SAW juga bersabda yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي
الْمَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ (رواه الترمذي)
Artinya: “Umumkanlah pernikahan ini, dan lakukanlah
di masjid, dan pukullah rebana.” (HR. At-Tirmidzi)[7]
Apabila
terjadi perselisihan atau pengingkaran mengenai telah terjadinya perkawinan,
pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Sedangkan mengenai
pencatatannya, di dalam Al-Qur’an memang terdapat perintah untuk melakukannya,
tetapi pencatatan yang dimaksud adalah pencatatan dalam mu’amalah. Allah
SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ (البقرة: ۲٨۲)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Ada
beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa pencatatan nikah tidak diperhatikan
secara serius pada masa Nabi dan masa sesudahnya, di antaranya adalah karena umat
Islam pada masa itu sangat mengandalkan hafalan atau ingatan. Untuk mengingat
sebuah peristiwa pernikahan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Sekalipun
pada awalnya hukum Islam tidak mengenal pencatatan perkawinan dan Akta
Perkawinan, akan tetapi mengingat pentingnya pencatatan perkawinan pada masa
sekarang ini, maka ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan akta nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi
Hukum Islam, tidak bertentangan dengan hukum Islam bahkan sejalan dengan hukum
Islam. Pembenaran tersebut paling tidak didasarkan kepada qiyas (bahkan
qiyas aulawi) dan maslahah mursalah. Pencatatan nikah juga sejalan
dengan nilai-nilai al-maqashid asy-syar’iyyah dalam menjaga keturunan
dan harta. Karena perkawinan yang tidak dicatat bisa menimbulkan banyak
kemudaratan bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri ataupun
pihak lainnya yang terkait dengan perkawinan tersebut. Majelis Ulama Indonesia,
pada tahun 2005 sudah memutuskan bahwa nikah di bawah tangan itu sah jika
rukunnya dipenuhi. Namun menjadi haram jika hak-hak anak dan istri tidak
terpenuhi.[8]
Secara
khusus, peraturan-peraturan mengenai pencatatan nikah
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini bersifat administratif, dalam arti
Undang-Undang ini tidak untuk menetapkan keabsahan suatu akad nikah, tetapi ia
hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi. Karena
sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama.[9]
Sehingga jika suatu akad nikah tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka
akad nikah itu tetap sah selama tidak menyalahi hukum-hukum Islam, hanya saja
pelakunya dikenakan denda. Hingga saat ini Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tersebut
belum pernah dicabut keberlakuannya atau diamandemen baik undang-undangnya itu sendiri
maupun pasal-pasal yang termaktub di dalamnya.
Pasal 4
Kompilasi Hukum Islam (KHI):
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam
sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.”
Pasal 2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:
(1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7 KHI:
(1) Perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
(2) Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama.
[1] Ibrahim
AL-Baijuri, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Fath
al-Qarib, juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, h. 188
[2] Abdurrahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 4, Beirut; Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, h. 16.
[3] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 7, Damaskus; Dar
al-Fikr, 1985, h. 193
[4] Para
penulis kitab Sunan itu seperti Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn Majah dan lain-lain.
[5]
https://kbbi.web.id/nikah
[6] Muhammad bin Isma’il
Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhâri, juz 3, (Damaskus: Dâr Thûq
an-Najâh, 1422 H), cet. ke-1, h. 53.
[7] Muhammad bin ‘Isa
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 2, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islami,
1998) h. 390.
[8] Mukhtar Alshodiq, M.H, “Ancaman Pidana Pelaku Nikah Siri di Indonesia”, http://m.kompasiana.com/post/read/283613/1/ancaman-pidana-pelaku-nikah-siri-di-indonesia.html, diakses
12 Maret 2014.
[9] Achmad Ichsan, S.H., Hukum
Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, h. 71.
Posting Komentar