Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (Forsila BPC) Jakarta
Raya menggelar kajian qiraat sab’ah bersama KH Muhadditsir Rifai di aula
Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jabodetabek, Ciputat Timur, Kota
Tangerang Selatan, Sabtu (4/11/2017).
Banyaknya ragam bacaan Al-Quran tersebut sedikitnya membawa
implikasi terhadap pandangan mufassir dan fuqoha. Oleh karena itu, dalam kajian
tersebut, Forsila mengangkat tema Perbedaan Qiraat Sab’ah serta Pengaruhnya
terhadap Penafsiran dan Istinbath Hukum.
Kang Hadis, begitu KH Muhadditsir Rifai akrab disapa, mencontohkan
satu ayat tentang wudu. Imam Syafii mengikuti imam yang membaca lafal arjul pada
ayat 6 surat al-Maidah dengan harokat fathah, diatafkan pada lafal wujuh.
Hal tersebut berpengaruh pada penetapan hukumnya, bahwa menurut Imam Syafii,
membasuh kaki harus dengan disiram.
Berbeda dengan Imam Hanafi yang memilih mengatafkan kata arjul kepada
ruus, sehingga dibaca kasroh karena menempati i’rob jar. Implikasinya,
membasuh kaki menurut Imam Hanafi cukup dengan diusap saja.
Selain perbedaan pada i’robnya, ada pula perbedaan lain, yakni dlomirnya.
Hal tersebut sangat memungkinkan karena Mushaf Utsmani yang menjadi rujukan
utama bacaan Al-Quran menampung semua bacaan Al-Quran yang beragam itu sehingga
mushaf tersebut bisa dibaca dengan beragam versi sesuai dengan apa yang
diriwayatkan oleh gurunya masing-masing.
Hal ini ditanyakan oleh Syakir sebagai moderator pada kesempatan
tersebut. Ia menanyakan perihal bacaan Imam Hafsh yang membaca dengan dlomir mutakallim
maal ghair (nahnu), yakni naghfir pada ayat 58 surat
al-Baqarah, sementara itu Imam Warsy membacanya dengan dlomir ghaib lil
mudzakkar. Hal tersebut, menurutnya, berimplikasi pada persoalan jender.
Syakirnf
Posting Komentar