Sudah menjadi tradisi ulama-ulama terdahulu untuk mengkaji, menguraikan dan mengkritisi karya-karya ulama pada masa sebelumnya. Hasil kajian, uraian, dan kritikan tersebut mereka tuangkan kembali dalam sebuah karya, sehingga ilmu agama Islam ramai akan literature, khususnya dalam kajian fiqih mazhab Syafiʻi. Dari satu karya (kitab) saja, bisa melahirkan banyak karya-karya susulan yang ditulis oleh para pakar fiqih periode selanjutnya. Karya-karya yang mampu melahirkan banyak karya susulan tersebut adalah kitab-kitab yang tentunya memiliki pesona. Pesonanya berasal dari sosok penulisnya itu sendiri yang terkenal akan kedalaman ilmunya atau dari isi karyanya yang lugas, diterima dan diminati banyak pemerhati.

Salah satunya adalah kitab At-Tanbih, karya Asy-Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairazi (w. 476 H). Imam An-Nawawi (w. 676 H/1278 M) mengatakan bahwa At-Tanbih merupakan salah satu dari lima kitab fiqih Syafi’iyah yang paling banyak dikaji di masanya dan masa sebelumnya.[1] Padahal jarak antara Asy-Syaikh Abu Ishaq dan Imam An-Nawawi adalah 200 tahun. Ada puluhan ulama yang kemudian menulis perluasan (syarh) dari kitab ini. Sebagian telah dicetak, sebagian lain masih berupa manuskrip dan sebagian lagi hilang.

Imam An-Nawawi sendiri menulis karya yang bernama “Minhaj ath-Thalibin”. Karyanya ini sebenarnya adalah ringkasan dari kitab Al-Muharrar, karya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M). Dari kitab Minhaj ath-Thalibin ini lahir puluhan karya ulama-ulama periode setelahnya. Sebagian dari mereka menulis syarh yang selanjutnya syarh-syarh tersebut diberi catatan pinggir oleh ulama-ulama lainnya, sebagian lain membuat ringkasannya, dan sebagian lain pula membuat karya yang mengkompromikan antara Minhaj ath-Thalibin dan Al-Muharrar. Sehingga kitab-kitab fiqih mazhab SyafiÊ»i mempunyai silsilah yang merupakan ciri yang membedakannya dengan kitab-kitab fiqih mazhab lainnya.

Di antara kitab yang memiliki pesona sehingga banyak ulama menulis karya susulannya adalah kitab At-Taqrib yang memiliki nama lain “Ghayah al-Ikhtishar”. Kitab ini juga sering disebut dengan nama “Matn Abi Syujja’” karena ditulis oleh Asy-Syaikh Abu Syujja’ Ahmad bin Al-Husain Al-Ashfihani Al-Bashri. Kitab Taqrib merupakan kitab fikih mazhab SyafiÊ»i yang cukup ringkas isinya namun memiliki makna yang luas dan mencakup semua bab fiqih dengan redaksi yang ringan dan mudah difahami. Sehingga kitab ini menjadi salah satu kurikulum yang wajib dipelajari di negara-negara bermazhab SyafiÊ»i, seperti Indonesia, Mesir, Yaman, dan lain-lain. Para santri di Indonesia pasti pernah mempelajari kitab ini.

Ada kesimpangsiuran tentang biografi sang penulis, yakni Asy-Syaikh Abu Syujja’. Ada yang mengatakan bahwa nama "Abu Syujja'” jarang atau bahkan tidak dikenal sebelumnya. Abu Syujja’ menjadi perbincangan setelah karyanya ini ramai diperluas (di-syarh-i) oleh banyak penulis.

Tajuddin as-Subuki (w. 771 H) menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Abu Syujja’ lahir di Bashrah tahun 433 Hijriyah. Beliau belajar fiqih mazhab SyafiÊ»i selama lebih dari 40 tahun di Bashrah.[2] Adapun mengenai tahun wafatnya, ulama berbeda pendapat memastikannya. Ada yang mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 488 Hijriyah, ada yang berpendapat tahun 500 Hijriyah, dan ada pula yang mengatakan bahwa beliau wafat tahun 593 Hijriyah.

Al-Bujairami (w. 1221 H/1806 M) mengungkapkan perkataan Ad-Dairabi (w. 1151 H/1738 M) bahwa Asy-Syaikh Abu Syujja’ hidup selama 160 tahun dengan anggota tubuh yang tetap sehat. Ketika ditanyakan kepadanya tentang hal tersebut, beliau menjawab “aku tidak pernah maksiat dengan salah satu pun dari anggota tubuhku. Tatkala aku menjaganya dari kemaksiatan semasa kecil, maka Allah pun menjaganya semasa tuaku”. Beliau pernah menjadi menteri pada tahun 547 Hijriyah. Beliau tidak akan keluar dari rumah kecuali setelah shalat dan membaca Al-Qur’an semampu mungkin. Lalu kemudian beliau lebih memilih hidup zuhud dan tinggal di Madinah untuk menyapu Masjid Nabawi, menggelar tikar dan menyalakan lampu-lampunya sampai salah satu pelayan Masjid Nabawi meninggal dunia. Kemudian beliau menggantikan posisi pelayan tersebut sampai wafat dan dimakamkan di area yang beliau bangun di samping Pintu Jibril, yaitu tempat di mana Malikat Jibril turun untuk menemui Nabi SAW. Posisi makam beliau di sebelah timur dekat dengan makam Rasulullah SAW.[3]

Apa yang diungkapkan oleh Al-Bujairami ini diyakini oleh kebanyakan Syafi’iyah generasi setelahnya. Namun para peneliti meragukannya. Mereka mengatakan bahwa kisah tentang Asy-Syaikh Abu Syujja’ ini bercampur dengan kisah tokoh lainnya yang memiliki nama kun-yah yang sama, yaitu Zhahiruddin Abu Syujja’ Muhammad bin Al-Husain Ar-Rudzarawardi, seorang menteri di masa Al-Muqtadi Biamrillah.

Para pakar fikih selanjutnya berlomba-lomba menulis karya yang bersumber dari Taqrib. Tidak hanya ulama terdahulu, ulama kontemporer pun tertarik untuk menulis karya dari Taqrib. Banyaknya ulama yang membuat karya dari kitab Taqrib ini menunjukkan bahwa karyanya tersebut diberkahi dan diterima oleh Allah SWT. Berikut ini kitab-kitab susulan dari kitab Taqrib:

Syarh (Perluasan) Kitab Taqrib

1.       Tuhfah al-Labib, karya Asy-Syaikh Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702 H/1302 M).
2.       Kifayah al-Akhyar, karya Asy-Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini (w. 829 H/1426 M).
3.       Syarh Mukhtashar Abi Syujja’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad Al-Akhshashi (w. 889 H).
4.       Fath al-Qarib al-Mujib, karya Asy-Syaikh Ibn al-Qasim Al-Ghazi (w. 918 H/1512 M). Kitab ini juga bernama “Al-Qaul al-Mukhtar”. Kitab ini sangat terkenal di kalangan pesantren. Bahkan beberapa pesantren di Jawa membuat kelas khusus mendiskusikan isi kitab Fath al-Qarib. Selanjutnya kitab ini diuraikan (syarh) oleh Asy-Syaikh Nawawi Al-Bantani (w. 1314 H/1897 M) dalam karyanya, Qut al-Habib al-Gharib, yang lebih dikenal di kalangan santri dengan nama “Tausyih”. Sedangkan yang menulis hasyiyah (catatan pinggirnya) adalah Asy-Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad Al-Birmawi (w. 1106 H/1894 M) dalam karyanya Hasyiyah al-Birmawi ‘ala Syarh Ghayah at-Taqrib, dan Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri (w. 1276 H/1860 M) dalam Hasyiyah al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn al-Qasim.
5.     Tasynif al-Asma’ Bihalli Alfazh Abi Syujja’, karya Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Manufi (w. 931 H)
6.       An-Nihayah, karya Asy-Syaikh Waliyuddin Al-Bashir (w. 972 H).
7.   Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Al-Khathib Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini (w. 977 H/1570 M). Banyak ulama memberi catatan pinggir (hasyiyah) untuk kitab ini. Di antaranya Asy-Syaikh Sulaiman Al-Bujairami (w. 1221 H/1806 M) dengan nama “Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib” yang mudah ditemukan di toko-toko kitab. Juga oleh Hasan Al-Mudabighi ( w. 1170 H) dengan nama “Kifayah al-Labib” yang pernah dicetak pada tahun 1307 H. Abdullah An-Nabrawi (w. 1275 H) juga menulis catatan pinggir yang bernama “Hasyiyah an-Nabrawi ‘ala al-Khathib”. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah mencetaknya dalam 3 jilid. Ada pula catatan pinggir dari asy-Syeikh ‘Iwadh dalam kitab Al-Iqna’ cetakan Dar al-Fikr Beirut.
8.    Fath al-Gahffar Bikasyfi Mukhba’at Ghayah al-Ikhtishar, karya Ahmad bin Al-Qasim Al-‘Abbadi (w. 994 H). Kitab ini masih berupa manuskrip.
9.    Imta’ al-Asma’ fi Syarh Abi Syujja’. Ada dua kitab berbeda yang memiliki nama ini. Yang pertama karya ulama wanita kontemporer, yaitu DR. Syifa binti Asy-Syaikh Muhammad Hasan Hito. Kitab ini dicetak oleh penerbit Dar adh-Dhiya Kuwait. Yang kedua karya Asy-Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid Al-Azhari, juga ulama kontemporer.
10. Asy-Syarh al-Manhaji al-Mu’ashir Li-alfazh al-Faqih Abi Syujja’, karya Shalih Hasan Ar-Riyasyi. Dicetak oleh penerbit Dar Ibn Hazm di Beirut.

Nazam Kitab Taqrib

1.    Nihayah at-Tadrib, karya Asy-Syaikh Syarafuddin Yahya bin Nuruddin Al-‘Imrithi (w. 988 H), penulis Nazhm ‘Imrithi dalam ilmu Nahwu. Nazhaman Taqrib ini diuraikan (syarh) oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Hijazi Al-Fasyni (w. setelah tahun 978 H/1570 M) dalam karyanya yang bernama “Tuhfah al-Habib”.
2.       Nazhm Ghayah al-Ikhtishar, Asy-Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr bin Qadhi ‘Ijlun (w. 928 H).
3.      Nazhm Mukhtashar Abi Syujja’, karya Abdul Qadir bin Al-Muzhaffar.
4.  Nazhm Mukhtashar Abi Syujja’, karya Ahmad Al-Absyithi. Dua nazhm terakhir ini penulis temukan pada biografi Abu Syujja’ dalam kitab Tausyih terbitan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Ringkasan Kitab Taqrib

‘Umdah an-Nazhzhar fi Tashhih Ghayah al-Ikhtishar, sebuah ringkasan yang  menunjukkan tempat-tempat di dalam kitab Taqrib yang menjadi perbedaan pendapat antara Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-Nawawi. Karya Asy-Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr bin Qadhi ‘Ijlun (w. 928 H).[4]

Dalil Kitab Taqrib

Ada juga sebuah karya kontemporer yang memaparkan dalil-dalil dari kitab Taqrib, yaitu At-Tazhhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib karya DR. Mushtafa Dib Al-Bugha, seorang ulama yang berasal dari Suriah.

-Wallahu a’lam-

Muhammad Hamdi Turmudzi



[1] An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), h. 3
[2] Tajuddin As-Subuki, Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 6, h. 15
[3] Sulaiman Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), h. 23
[4] Kasyf azh-Zhunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun, Haji Khalifah, juz 2; Beirut, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, h. 1189

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama