Alm KH Ahmad Manshur bersama pengurus Lembaga Falakiyah Buntet Pesantren dan Mahasantri Daarunnajaah Semarang

Nahdlatul Ulama sejak dulu tetap berpegang teguh pada hadis yang memerintahkan untuk rukyatul hilal dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal. Tidak sekadar melakukan kalkulasi astronomis saja. Bahkan Ketua Lembaga Falakiyyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) KH A Ghazalie Masroeri menegaskan meskipun hilal berada di bawah ufuk, pengamatan terhadap bulan tetap dilakukan.

Meskipun demikian, secara individu, seorang pemantau atau perukyat tidak berhak menetapkan keputusan awal Ramadhan dan Syawal. Sebab, instansi pemerintah yang diwakili Kementerian Agama merupakan lembaga yang berhak menetapkan hal tersebut.

Jika pun seseorang dapat melihat atau tidaknya hilal, hal itu hanya berlaku bagi dirinya, tidak bagi orang lain.

KH Imam Abdul Mun’im kerap kali menemui masyarakat yang kepo perihal awal dan akhir Ramadhan. “Kiai, kapan puasa dimulai?” tanya masyarakat. Jika pertanyaan demikian yang diajukan, jawaban yang bakal diterima masyarakat pasti “Lah, mbuh kuh (tidak tahu tuh).”

Jawaban demikian karena Kiai Imam menghindari perlakuan dirinya sebagai penentu ketetapan awal akhir Ramadhan. Oleh karena itu, beliau menjawabnya tidak tahu.

Masyarakat tak kehabisan akal untuk mendapatkan jawaban tersebut. Mereka mendesak kiai yang ahli ilmu falak itu untuk mengabarkan kepadanya awal akhir Ramadhan. “Menawi Kiai sih (kalau kiai) kapan puasanya?”

Karena pertanyaan itu mengarah pada pribadinya, Kiai Imam akhirnya angkat bicara. “Lah lamona isun sih ya sukiki (kalau saya sih besok),” jawabnya.

Ayahanda Kiai Jaelani Imam itu sangat ahli pada ilmu hitung-hitungan tersebut. Beliau pernah menghitung jatuhnya daun yang masih segar dan pecahnya lampu minyak.

Syakir NF

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama