![]() |
| Sumber: NU Online |
I’tikaf
secara bahasa berarti menetap atas sesuatu, baik berupa kebaikan ataupun
keburukan. Namun, istilah i’tikaf ini diakomodir untuk mengartikan diam di
masjid dengan sifat-sifat tertentu.
Hukum i’tikaf sunnah pada setiap
waktu, baik siang maupun malam, bulan Ramadhan maupun bukan. Namun,
i’tikaf lebih utama dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan karena
mencari lailatul qadr.
I’tikaf memiliki empat rukun. Pertama, orang yang beri’tikaf. Bagi orang yang hendak beri’tikaf, harus memenuhi tiga syarat, yakni
Islam, berakal, dan suci dari hadas besar.
Kedua, niat. Dalam beri’tikaf, orang wajib berniat di dalam hatinya dan
sunnah diucapkan secara lisan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Jika i’tikaf
tanpa bermaksud menentukan lamanya waktu, maka niatnya adalah نَوَيْتُ الإِعْتِكافَ. Jika i’tikafnya dengan bermaksud
menentukan lamanya tinggal, maka niatnya disertai dengan lamanya waktu
tersebut. Misalnya i’tikaf selama satu hari, maka niatnya نَوَيْتُ الإِعْتِكافَ
يَوْمًا.
Ketiga, masjid.
Tidak harus masjid jami’, masjid agung, masjid raya, ataupun masjid besar. Karena masjid
menjadi salah satu rukun, maka i’tikaf
di di rumah, pondok dan lain-lain hukumnya tidak sah.
Keempat, diam
di masjid. Kadar lamanya minimal adalah lebih dari thuma’ninah
dalam shalat. Kadar thuma’ninah itu sendiri adalah selama bacaan subhanallah. Yang dimaksud
diam adalah tidak hanya diam secara hakiki, dalam arti tidak bergerak. Berlalu-lalang atau berputar-putar di dalam
masjid juga masih
dianggap sebagai i’tikaf. Asalkan tidak keluar dari area masjid. Sementara
jika melintasi masjid, yakni dengan cara masuk ke masjid dari satu pintu dan
keluar dari pintu lainnya tidak dianggap cukup sebagai i’tikaf.
I’tikaf bisa batal karena empat hal berikut. Pertama,
semua penyebab hadas besar, kecuali keluar mani karena tidur atau karena
berkhayal. Setiap keluar mani
yang membatalkan puasa, maka membatalkan i’tikaf. (Silakan baca ..)
Kedua, sengaja mabuk di tengah i’tikafnya. Murtad menjadi salah satu hal yang membatalkan i’tikaf.
Sebab, Islam merupakan syarat beri’tikaf.
Keluar
dari masjid tanpa udzur merupakan hal terakhir yang membatalkan i’tikaf. Jika orang yang beri’tikaf keluar dari masjid dan tidak berencana
untuk kembali lagi, maka i’tikafnya terputus, baik keluar karena buang air
ataupun yang lainnya. Jika ia kembali lagi, maka ia harus memperbarui niat.
Jika
keluar dari masjid dan berencana kembali lagi, maka ia tidak perlu niat yang
baru. Termasuk membatalkan i’tikaf adalah keluar dari masjid untuk membayar
hutang yang tidak boleh ditunda dan karena menjadi saksi dalam pengadilan.
(Muhammad Hamdi Turmudzi Noor)

Posting Komentar