Oleh: Muhammad Fayyadl Hazami

Pesantren sebagai salah satu lembaga paling berpengaruh di bidang pendidikan Islam belakangan sedang gencar-gencarnya melakukan promosi berskala besar. Bisa dilihat  dengan betapa banyaknya akun Instagram yang bermunculan dengan konten-konten kepesantrenan, seperti @alasantri, @santrikeren, dan lain-lain. Bahkan gerakan yang dibentuk Rabithan Maahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) dengan kalimat #AyoMondok juga sempat menjadi trending di media sosial.

Di samping itu, muncul juga fenomena film-film dan sinetron yang mengambil latar belakang pesantren. Harus diakui, maraknya film dan sinetron yang bertemakan pesantren mempunyai peran besar dalam menaikkan popularitas pesantren di mata masyarakat. Film-film tersebut biasanya menyoroti sisi-sisi menarik dalam pesantren, seperti kebersamaan, fasilitas mumpuni, atau (parahnya) kisah cinta.

Itu semua akhirnya membuat pesantren lebih dikenal oleh masyarakat, tak terkecuali di kalangan yang semula tidak memiliki latar belakang agamais sama sekali. Tidak hanya itu, Bahkan tak sedikit dari mereka yang melabuhkan pendidikan lanjutnya di lembaga pendidikan asli Indonesia itu.

Namun, ada masalah ketika niatan masuk pesantren bermula dari menonton film-film tersebut. Biasanya mereka terlanjur membayangkan akan merasakan hal yang sama seperti di film yang mereka lihat. Mereka terinspirasi akan suasana yang selalu menyenangkan di pesantren, tanpa mempersiapkan diri terhadap segala kesulitan yang normal terjadi di pesantren.

Semua bayangan pesantren yang selama ini mereka lihat dalam film, kemudian membentuk ekspektasi berlebih dalam pikiran mereka. Sehingga saat mendapati bahwa pondok tidak 'semenyenangkan' yang mereka kira. Seringkali banyak yang tidak betah, nangis, atau bahkan langsung pulang meskipun belum terlalu lama mereka tinggal di tempat yang baru dijejakinya itu.

Ketidakbetahan itu bermula dari berjaraknya mereka dengan orang tua. Terlebih bagi mereka yang begitu dekat dengan orang tuanya. Di samping itu, lingkungan yang baru juga membuat mereka harus mulai beradaptasi lagi. Semuanya baru, mulai dari kamar dan suasananya, teman dan perangainya, hingga pada masakan dan rasanya.

Hal ini diperparah dengan jadwal kegiatan yang sangat padat, sejak bangun tidur hingga hendak tidur kembali, hampir tak sepi dari kegiatan. Kalau pun ada jadwal kosong pengajian, itu harus dimanfaatkan untuk menulis ketertinggalan makna, menghafal, sampai mencuci pakaian.

Hal terakhir ini pula yang kerap menjadi momok bagi mereka yang biasa melemparkan pakaiannya ke tempat kotor atau meletakkannya begitu saja di sembarang tempat. Apalagi perihal cuci-mencuci ini tidak seperti di rumah mereka yang tinggal memasukkan baju kotornya ke mesin lalu dibiarkannya sekitar 15 menit. Lalu dimasukkan ke mesin pengering dan seketika langsung bisa dipakai setelah ibu atau pembantu menyeterikanya. Di pondok, tentu tidak sesederhana itu. Mereka harus mengantri dalam hal mencucinya. Antrian berikutnya saat menjemur. Mereka harus bergantian dengan rekannya yang pakaiannya masih basah karena keterbatasan tempat.

Itu baru sekelumit sulitnya menjalani kehidupan di pondok. Penulis jadi ingat dengan sepenggal syair yang ditulis oleh Imam Syarofuddin Yahya al-'Imrithy yang pernah dihafal beberapa tahun lalu.

لَا تَرُمْ عِلْمًا وَتَتْرُكَ التَّعْبَ
"Janganlah kau menuntut ilmu sembari meninggalkan kesulitan!"

Dawuh tersebut jelas menunjukkan adanya kaitan yang tak terpisahkan antara menuntut ilmu dan kesusahan. Senada dengan al-‘Imrithi, Syaikh Burhanuddin al-Zarnuji dalam kitabnya yang berjudul Ta'lim al-Muta'allim juga menulis sebuah syair tentang hal tersebut.

تَمَنَّيْتَ اَنْ تَمْسَى فَقِيْهًا مُنَاظِرًا # بِغَيْرِ عِنَاءٍ وَالْجُنُوْنُ فُنُوْنٌ
"Kamu berangan-angan ingin menjadi ahli fiqih yang pandai berdebat, dengan tanpa bersungguh-sungguh. Maka ketahuilah, gila itu bermacam-macam."

Sementara itu, kita telah maklum bahwa mengerjakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh merupakan hal yang sulit. Maka sudah sepatutnya bagi 'adik-adik' calon santri baru yang berencana (atau sudah) mondok untuk mempersiapkan diri menjalani hari-hari yang tidak senikmat saat di rumah. Dan meyakini bahwa semua kesulitan ini mutlak harus dijalani dalam menggapai tujuan utama kita datang ke pesantren.

Untuk meneguhkan niat kita mondok, penulis ingat dengan satu kaidah fiqih berikut.

مَنْ تَعْجَلْ شَيْئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa tergesa-gesa dalam menggapai sesuatu sebelum waktunya, maka ia harus menerima hukuman untuk tidak mendapatkannya".

Yakinlah, bahwa tidak ada yang instan dalam menuntut ilmu. Semua harus melalui proses yang berliku. Dan,

“SELAMAT MONDOK!”

Warga Buntet Pesantren yang sedang mondok di Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama