Oleh: Muhammad Fayad Hadzami
Hari ini, Sabtu, 10 November, kita memperingati salah satu
peristiwa paling bersejarah bagi bangsa ini. Tepat 73 tahun yang lalu di
tanggal yang sama, peperangan terjadi melawan pasukan Britania Raya di
Surabaya. Kita biasa menyebutnya dengan Hari Pahlawan.
Peristiwa ini sudah sepatutnya diperingati oleh kita bangsa
Indonesia, khususnya para santri. Mengapa? Karena di antara pahlawan-pahlawan
dalam peperangan tersebut, guru-guru kita dari kalangan kiai dan ulama juga
turut berjuang. Sejarah mencatat kiai-kiai yang ikut serta di antaranya ada
nama Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, Kiai
Masykur, dan tidak lupa 'macan' dari Cirebon sebagai panglima perang, Kiai
Abbas Abdul Jamil. Tak heran sebagian besar dari beliau banyak yang diberikan
gelar pahlawan nasional.
Catatan sejarah tersebut secara tegas menunjukkan peran
penting para kiai yang ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia. Mereka dengan
gagah berani bertempur melawan penjajah dengan satu tujuan, mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semangat itulah yang harus ditiru
oleh kita, para santri. Kita harus tetap semangat berjuang mempertahankan
kemerdekaan negeri ini, sebagai warisan para kiai pendahulu kita. Semangat yang
sebagaimana didawuhkan Imam Ibnu Malik dalam nazam Alfiyahnya saat mencontohkan
Maf'ul li Ajlih berikut.
لَا أَقْعُدُ الْجُبْنَ
عَنِ الْهَيْجَاءِ # وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ الْأَعْدَاءِ
"Aku tak akan tinggal diam, gentar, dari peperangan.
Meski musuh datang bertubi-tubi"
Dan yang juga perlu disadari, perjuangan di masa sekarang
akan lebih berat dibanding dulu. Jika dulu musuh-musuh yang berusaha
meruntuhkan Indonesia itu datang dari luar, sekarang 'musuh-musuh' itu justru
berasal dari dalam negeri kita sendiri. Belakangan banyak peristiwa dimana
bermunculan pihak-pihak yang berusaha meruntuhkan kesatuan negeri ini dan
-mirisnya- dengan mengatasnamakan agama. Kendati demikian, kita tetap harus
berjuang mempertahankan negeri warisan para ulama ini, meski lawan datang
bertubi-tubi. Karena bagaimanapun, kita para santrilah penerus para ulama, yang
harus mengambil alih tongkat estafet perjuangan. Dalam Alfiyah Bab Idlafah
dikatakan,
وَمَا يَلِي
الْمُضَافَ يَأْتِيْ خَلَفَا # عَنْهُ فِي الْإِعْرَابِ إِذَا
مَا حُذِفَا
"Pada saat mudlof terbuang, maka mudlof ilaih harus
menggantikannya dalam i'rob.
Sebagai contoh, salah satu ayat dalam Al Qur'an, ِوَاسْأَلْ أَهْلَ الْقَرْيَة, wasal ahla
al-qaryati. Lalu kemudian lafal ahl (أهل) yang beri'rob nashob karena menempati posisi maful
bih (objek) dibuang, maka lafal al-qaryati (القرية) sebagai mudlof ilaih menggantikan posisi ahl (أهل) yang terbuang menyandang i'rob nashob.
Jadilah, َوَاسْأَلِ الْقَرْيَة, wasal(i)
al-qaryata.
Nazam tersebut secara implisit juga bisa diartikan,
"Pada saat para kiai dan ulama telah tiada, maka santri (sebagai murid
yang selalu berada di sampingnya layaknya mudlof ilaih) lah yang harus
meneruskan perjuangan beliau-beliau."
Maka dari itu, sebagai penerus para kiai, santri akan
selalu berada di garda terdepan dalam mempertahankan secara teguh Negara
Kesatuan Republik Indonesia, apapun yang terjadi, baik suka maupun duka, dalam
kondisi bangkit ataupun terpuruk sebagai bentuk menghargai jasa para pahlawan.
Hal demikian ini seperti dlomir na (نا).
Kata ganti untuk orang pertama banyak ini selalu teguh dan konsisten pada
pendiriannya, baik dalam kondisi rofa', nashob, ataupun saat jar. Ia tetap
berbentuk na, tidak berubah menjadi ni ataupun nu,
misalnya. Imam Ibnu Malik mencontohkam keteguhan na dalam satu kalimat i'rif
bina fainnana nilna al-minah, كَاعْرِفْ بِنَا
فَإِنَّنَا نِلْنَا الْمِنَحْ. Bisa kita lihat, na saat
kondisi jar (bina), nashab (fainnana), dan rofa' (nilna) tidak mengalami
perubahan sedikitpun. Ia merangkainya dalam satu nazam utuh berikut.
لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ
وَجَرِّ ناَ صَلَحْ # كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا
الْمِنَحْ
"Isim domir na tetap dalam kondisi
dan bentuk demikian, baik dalam saat rofa', nashob, maupun jar, seperti
lafal i'rif bina fainnana nilna al-minah"
Tidak seperti dlomir-dlomir lainnya yang mengalami
perubahan bentuk seiring berubahnya mahall i'rob. Contoh anta (أنت) saat menjadi mubtada, ta (ت ) saat menjadi fail, dan ka (ك) saat menjadi maf'ul bih atau saat jar.
Selamat Hari Pahlawan!
Penulis adalah warga Buntet Pesantren yang tengah mondok di
Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Posting Komentar