Adalah KH Abbas Abdul Jamil, singa yang ditunggu kedatangannya oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk memimpin pertempuran dahsyat itu. Di usia yang sudah lebih dari 60 tahun, ia masih berjuang di medan peperangan.

Sesepuh Pondok Buntet Pesantren itu berangkat dari Cirebon bersama rekan-rekannya dengan menggunakan kereta api. Sebelum ke Surabaya, Kiai Abbas singgah terlebih dahulu di kediaman KH Bisri Mustofa, ayahanda KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang. Dari ujung Jawa Tengah itu, beliau bergerak menuju Surabaya menggunakan mobil sedan.

Di medan pertempuran itu, Sang Singa menerkam musuh dengan cekatan. Pesawat tempur, atas izin Allah, meledak dengan kibasan sorbannya, seperti yang diceritakan KH Cholil Bisri, kakak Gus Mus. Abdul Wahid, pengawal Kiai Abbas, juga mendapat cerita dari santri Rembang bahwa alu beterbangan menggempur pasukan koloni yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Cerita lainnya, konon Kiai Abbas juga menggunakan bakiak khusus yang dibawa dari Cirebon saat pecah pertempuran itu.

Sebagai seorang pejuang, Kiai Abbas juga seorang yang sangat alim dalam berbagai cabang keilmuan. Bidang bacaan Al-Qur’an, misalnya. Hal ini terbukti dengan kehadiran para santri dari Banten yang khusus mengaji tajwid dan qiraat. Dalam bidang tasawuf, kealiman Kiai Abbas tak terbantahkan lagi mengingat ia menjadi seorang mursyid Tarekat Syatariyah dan sebagian riwayat juga menyebutnya sebagai salah satu muqaddam Tarekat Tijaniyah.

Kiai Abbas juga seorang ulama yang faqih. Kepakarannya dalam bidang inilah yang menjadi inspirasi Prof KH Ibrahim Hosen mendalami ilmu tersebut. “Fiqih itu luas. Jangan terpaku pada satu mazhab saja,” kata Kiai Abbas kepada Ibrahim muda. Tak ayal, Abah Prof Nadirsyah Hosen itu pun menyatakan bahwa  Kiai Abbas termasuk ulama yang ahli dalam perbandingan mazhab.

“Pandangannya sangat luas dan sangat alim,” aku kiai peletak konstruksi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu dalam buku Menapak Jejak, Mengenal Watak: Biografi Ringkas 29 Tokoh NU.

Berkat ilmu yang ia peroleh dari ngajinya kepada Kiai Abbas itu, ia tak lagi canggung saat menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan berdialog dengan para mahasiswa lintas negara di sana.

Kiai Abbas juga pernah mengajarkan kitab tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syekh Tantawi Jawhari, salah seorang ulama Mesir yang secara usia tidak terpaut jauh darinya. Tafsir Fakhrurrozi juga, kata Kiai Ibrahim, pernah diajarkannya.

Keilmuannya yang begitu luas itu memang tidak terlalu ia tampakkan. Kiai Abbas hanya mengajarkan kepada santri tertentu mengingat mobilitasnya sebagai pimpinan tertinggi Pondok Buntet Pesantren dan keadaan zaman itu yang menuntutnya untuk lebih banyak bergerak pada peperangan. Ibrahim muda kerap kali melihat Kiai Abbas menerima tamunya di dalam kamar dan terdengar suara hentakan langkah kaki dan benturan tubuh. Saat itulah kiai yang ahli silat itu mengajarkan beberapa jurusnya.

Upayanya dalam mewujudkan kemerdekaan juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Di Buntet, ia membentuk pasukan Asybal, yakni sekelompok remaja di bawah usia 17 tahun yang ditugaskan untuk menjadi telik, mata-mata yang mengintai pergerakan musuh dan penghubung daerah pertahanan sampai front terdepan. Pondok yang dipimpinnya itu juga menjadi basis pasukan Hizbullah.

Dalam bidang pendidikan, Kiai kelahiran Kota Cirebon itu melakukan terobosan dengan membuat madrasah, sebuah lembaga pendidikan berjenjang, pada tahun 1928. Madrasah itu dinamainya Madrasah Wathaniyah. Penamaan ini juga menjadi tanda akan besarnya kecintaan Kiai Abbas terhadap tanah air.

(Syakir NF)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama