Oleh Agus Iswanto




Apa yang saya sebut sebagai generasi muslim hibrid di sini adalah genarasi yang lahir dari sebuah percangkokan. Generasi yang lahir di persilangan budaya urban. Generasi yang lahir di tengah hiruk pikuk arus perebutan ideologi-ideologi global. Generasi hibrid ini juga bisa dikatakan sebagai anak-anak zaman yang menyusuri relung-relung arus modernitas dan trend globalisme.



 




Dari mana datangnya generasi hibrid ini? Mereka datang dari pelosok-pelosok negeri ini. Mereka datang atas nama orang-orang tua mereka yang kebanyakan petani dan nelayan, pun juga sebagai pegawai-pegawai, guru, atau bahkan pejabat desa. Mereka datang dari “desa”.



 






 






More…Namun, generasi hibrid ini bukan sekadar generasi yang lahir dari pencangkokan antara budaya kota dan desa. Generasi hibrid juga muncul atas dasar ketidakpuasan-ketidakpuasan dari pakem-pakem “orang-orang tua” mereka. Bagi anak-anak NU, mereka sudah jemu dengan ke-NU-annya, dan bagi anak-anak Muhammadiyah, mereka sudah muak dengan puritanisme Muhammadiyah. Kalau Kuntowijoyo menyebut generasi ini sebagai generasi Muslim tanpa Masjid, maka saya menyebut generasi hibrid pasca NU-Muhammadiyah. Kata “pasca” ini menyarankan pada generasi yang sudah melampui NU-Muhammadiyah.



 






Siapa yang mengira, Muhammadiyah yang di awal lahirnya sangat dinamis dengan mengusung ijtihad, kini akhirnya terperosok dalam kubangan konservatisme? Siapa yang dapat menyangka pula, orang-orang NU, yang dulu dipandang jumud, tradisional, dan eksotis seperti orang-orang yang dekat dengan penghuni kuburan, kini anak-anak mereka mampu berpikir dekonstruktif? Di luar NU dan Muhammdiyah, ada Persis (persatuan Islam), yang dulu gandrung mendendangkan semangat ijtihad, kini tenggelam dan tidak bersuara dalam suara-suara kancah pergulatan intelektual.



 






Dengan ini, saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa generasi hibrid adalah generasi yang lahir dari “orang tua” NU-Muhammadiyah. Saya hanya mengatakan bahwa generasi-generasi muda NU-Muhammadiyah, sebagiannya adalah generasi yang hibrid dan generasi yang tidak puas. Kita bisa melihat, teman-teman yang aktif dalam gerakan-gerakan Islamisme, seperti Laskar Jihad, Salafi, Jama’ah Tabligh, yang kemudian berujung pada munculnya organisasi semacam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), lalu menjadi akar munculnya PKS, bisa ditelusuri lebih jauh bahwa sesungguhnya mereka adalah generasi yang masih terkait dengan Muhammadiyah, yang memang pada awalnya bersemangat puritan, selain pembaruan.



 






Mereka tidak puas dengan gerakan-gerakan Muhammadiyah yang sudah tidak lagi memperjuangkan ide-ide Islam murni. Namun di sayap kiri, kita bisa melihat kumpulan-kumpulan generasi Muhammadiyah yang maju dan liberal, yang kemudian tergabung dalam IMM dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), yang dipelopori oleh Moeslim Abdurahman. Di arus NU pun kita dapat temukan, di sayap tradisional tentu masih ada, tapi yang menarik adalah dari anak-anak muda NU yang tidak puas dengan gerakan NU yang cendrung politis, untuk membangun gerakan-gerakan intelektual dan sosial, semacam LKIS dan JIL. Mereka adalah anak-anak muda NU-Muhammadiyah yang lahir dari ketidakpuasaan.



 






Di luar NU-Muhammadiyah, tentu kita dapat dengan banyak menemukan generasi hibrid. Kita dapat lihat generasi yang tidak amibil pusing dengan hingar bingar geliat pemikiran dan persoalan bangsa serta negara. Mereka adalah generasi Mall, generasi pesolek, generasi penonton. Saya tidak mengklaim mereka generasi yang keropos, hingga seandainya saja Indonesia runtuh pun tidak tahu.



 






Sebagai anak muda tentu saya memaklumi gairah-gairah anak muda, dan secara psikologis itu wajar. Lagi pula untuk merubah Indonesia, tidak perlu jumlah yang banyak, hanya lima orang pemuda, begitu Soekarno pernah berkata. Saya heran, kita terkadang “bebas” dalam “ketidakbebasan.” Dalam masa yang bebas, semuanya kita mudah untuk raih secara bebas, sejatinya kita sedang dalam tidak bebas. Kita tidak terbebas dalam belenggu ideologi kapitalisme global. Dan anehnya, kita sebagai anak muda tidak sadar. Maka, seandainya saja Indonesia dijual pada persuhanaan multinasional pun, jangan-jangan kita masih bisa tersenyum dan merasa bebas.



 






Dari perubahan-perubahan itu, sebenarnya kita mengambil sebuah pelajaran bahwa setiap ide atau komunitas akan ditentukan oleh gerak penerusnya. Kalau penerusnya mandeg, meskipun pada awalnya ide atau komunitas itu dinamis, maka akan mandeg pula ide tersebut, sehingga akan mencapai titik balik yang pasif. Sebaliknya, jika penerusnya aktif, maka ide atau komunitas itu akan mencapai titik balik yang kreatif. Dari sini pula, kita dapat menyadari, bahwa sejarah adalah sebuah perubahan, dan akan terus berubah.



 



Pertanyaannya adalah apakah kita dapat membaca tanda-tanda zaman atau tidak?






Jika kita meyakini bahwa sejarah akan terus berubah, maka tentu mengabaikan generasi-generasi ini, yang mempunyai potensi menentukan perubahan di Indonesia, adalah sebuah tindak yang gegabah.



 



Dengan mengabaikannya, kita akan kehilangan satu generasi yang mampu menciptakan keislaman, kebangsaan, dan keIndonesiaan. Mereka adalah generasi baru yang muncul dari kelompok-kelompok kecil, baik dari yang paling kanan, hingga yang paling kiri, yang liberal sampai yang paling literal, dari yang borjouis hingga yang pembebasan.



 



Kita memang dihadapkan oleh sebuah pilihan. Tentu saja, pilihan-pilihan kita haruslah mempunyai dasar dan rasionalitas yang baik dan memihak. Memihak siapa? Tentu saja memihak kebangsaan dan kerakyatan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama