kyai_akyas.jpgOleh: Redaksi


Pagi hari, pukul 10.00 WIB Kamis pagi Pondok Buntet Pesantren sepanjang jalan menuju pusat kegiatan pesantren dipenuhi oleh serombongan ibu-ibu. Mereka berasal dari desa sekitar Buntet Pesantren. Puluhan ibu-ibu berbondong-bondong berjalan berbaris dengan pakaian rapih berkerudung dan menggunakan kain panjang. Perjalanan mereka ternyata berhenti di rumah KH. Muhammad Akyas. Di sana sudah berkumpul ibu-ibu yang siap mendengarkan pengajian di rumahnya.




Itulah salah satu kegiatan harian KH. Muhammad Akyas (Ki Akyas) dalam mengemban misi pendidikan kemasyarakatan ala pesantren. Para santri yang dibina beliau bukan saja santri yang datang dari daerah-daerah jauh dan bermukin di asrama-asrama, namun murid-murid (santri) beliau adalah juga para warga sekitar pesantren yang khusus datang mengaji kepadanya setiap hari Selasa dan Kamis. Pengajian “Kamisan” itu kini masih terus berlanjut dan dipimpin oleh anaknya, KH. Abdullah Syifa.





Jika orang Indonesia mengenal sosok KH. Abbas dari Buntet Pesantren Cirebon sebagai kyai alim dan pejuang yang pernah memimpin pasukan Hizbullah pada 10 November 1945 bersama Bung Tomo di Surabaya, maka tidak demikian dengan adiknya,  KH. Muhammad Akyas. Beliau justru dikenal sebagai kyai dikenal sebagai sosok Kyai yang sederhana namun berani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat pasca kemerdekaan.





Tidak heran, kiprah beliau dalam menegakkan sendi sendi agama di masyarakat masih mebekas hingga kini. Di samping itu beliau sebagai muqoddam (mursyid) Tarekat Tijani, kerap dalam setiap dakwahnya selalu membawa pesan yang mudah dimengerti.  Salah satunya, beliau pandai menirukan dalang saat berdakwah  dan seringkali menegur orang secara langsung ke masalah utama.





KH. Akyas lahir tahun 1893 putra dari KH. Abdul Jamil sesepuh Pondok Buntet Pesantren pada periode dulu. Menurut penuturan anakya, KH. Abdullah Syifa,  Ki Akyas, sapaan akrab KH. Muhammad Akyas, wafat pada tahun 1978 memasuki usia 85 tahun. Anak keturunannya berjumlah 10. Dari isteri pertama yang kemudian meninggal dikaruniai 1 orang anak dan bersama isteri kedua, beliau dikaruniai anak 9 orang. Salah satu putranya yang meneruskan perjuangan dakwah adalah KH. Abdullah Syifa seperti ayahnya, Ki Syifa, pun membimbing thareqah Tijani.





Namun kenangan dan cerita dibalik kehidupan beliau yang unik sangat membekas di hati para murid-muridnya juga pada para santri yang pernah mondok di asrama Beliau. Tidak heran beliau dipercaya sebagai muqoddam Tarekat Tijani pada waktu hidupnya.







Hafal Alfiah



Dalam menelusuri ilmu-ilmu keislaman, syarat mutlak untuk memasuki bab-bab ilmu adalah ilmu Nahwu Shorof. Di pesantren santri yang mampu menguasai "ilmu alat" ini (linguistik) diharapkan akan mudah mempelajari kitab-kitab ulama. Karenanya, Kyai Akyas sejak muda tekun sekali menghafal alfiah saat masih di Buntet Pesantren.





Namun Sebagai anak kyai tidaklah heran jika para putranya diharuskan untuk mengikuti jejang ayahnya. Karenanya, Ki AKyas saat masih remaja diperintahkan untuk memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren lain . Namun berbeda dengan para santri umumnya. Ki Akyas saat datang mondok pertama kali sudah hafal alfiah. Karenanya, ia hanya butuh waktu 18 bulan saja mondok di Jombang dan berguru langsung kepada Hadratusshaikh, KH.Hasyim Asy'ari.





Dari situ, beliau berpindah ke Tambak Resi, Welleri untuk berguru kepada KH. Abdullah. Tidak lama kemudian Ki Akyas pindah lagi mondoknya di KH. Abdul Malik di Pesantren Jami Soren di Solo. Namun di pesantren ini, justru Ki Akyas bukannya belajr malah disuruh mengajar Alfiah di Madrasah Mambaul Ulum. Di pesantren ini hanya memakan waktu setengah tahun saja.





Awalnya, guru madrasah bertanya, kepada para santri-sanrinya kalau-kalau ada yang hafal alfiyah. Saat itu Ki Akyas masih remaja dan saat ia mengaku hafal alfiah, dianggap gurauan.  Sebab para guru di sana masih belum percaya kalau Ki Akyas remaja ini hafal alfiah. Tapi akhirnya setelah di tes kemampuannya, semuanya mempercayai daya hafal santri cilik ini.





Rupanya, KH. AKyas menuntut ilmu di pesantren lain tidak memakan waktu lama karena ilmu yang dipelajari di pesantren lain itu sudah diajarkan di Buntet Pesantren seperti alfiyah salah satu ilmu alat (linguistik) untuk membaca kitab-kitab ulama mutaqoddimin. Namun karena menuntut ilmu di pondok pesantren bagi keluarga kyai merupakan semacam prasyarat untuk bisa memimpin pesantren. Maka menunutut ilmu di banyak guru lain di pesantrenlain merupakan tindakan "tabarrukan" atau mencari kebaikan dari kyai-kyai di pesantren lain.





Meski masih muda, dengan berbekal ilmu dan pengalaman di pesantren lain itulah Ki Akyas dipercaya oleh ayahnya untuk mengajar para santri di pesantren. Akhirnya beliau dipercaya untuk mendirikan asrama di lingkungan Pondok Buntet Pesantren. Di asrama inilah kemudian berbondong-bondong para santri untuk mendalami ilmu pada beliau.





Teguh Pendirian



Kyai Akyas terkenal dengan julukan kyai yang teguh dalam pendirian dalam ajaran kepantasan dan kesopanan. Ketegasan sikap dan prilaku itu ditunjukkan beliau saat melihat hal-hal yang menurutnya tidak pantas yang berkembang di masyarakat. Salah satunya beliau tidak segan-segan menegur orang yang salah prilakuknya.






Misalnya melihat orang sudah dewasa tetapi masih memakai celana pendek, coba-coba berani melintas di depan beliau, maka tidak ragu-ragu Kyai Akyas menegurnya dan dikasih tahu jangan sekali-kali memakai celana pendek karena tidak pantas.  Karenaya di Buntet Pesantren melihat adab kesopanan berpakaian ini diikuti hingga saat ini. Hampir tidak ditemui orang-orang dewasa memakai celana pendek.





Demikian juga dalam hal kepantasan berpakaian, menurut para kyai di pesantren khususnya di Buntet pesatnren ada semacam ketidakpatutan jika orang yang memakai peci putih ala haji. Maklum dalam dunia pesantren memakai peci putih itu rupanya dikhususkan bagi orang yang pernah pergi haji. Karenanya, bila ada santri atau warga pesantren yang belum naik haji kemudian memakai peci langsung ditegur beliau.








Lain lagi bila datang hari Jum’at.  Menurut penuturan beberapa warga Pesantren, apalagi hari Jum’at beliau beliau selalu datang awal di masjid. Kemudian seperti biasa berdzikir dan lain-lain. Namun ada hal yang unik dilakukan kyai satu ini. Sebelum khatib naik mimbar, beliau selalu mengatur barisan shaf orang-orang yang ada di dalam masjid agar duduk tenang dan rapih. Padahal belum dilaksanakan shalat jum’at. Hal ini dilakukan bukan saja di masjid Pesantren namun di beberapa masjid di wilayah lain.





Pada hari-hari biasa, Ki Akyas ini sering sekali berputar-putar keliling Buntet Pesantren menggunakan kendaraan beca. Dari rumah beliau menuju barat, kemudian hingga batas wilayah pesantren beliau menyuruh tukang beca untuk berbalik kembali dan menuju timur, Utara dan Selatan.





Pintar Meniru Dalang



Berdakwah adalah ciri khas dari kyai satu ini. Kepiawaiannya dalam mengkomunikasikan ajaran agama kepada masyarakat cukup unik. Beliau salah satunya mahir menirukan gaya dalang namun bukan untuk membawakan wayang. Syair-syair arab diubah beliau menjadi langgam mirip gaya dalang.





Hal itu pernah beliau lakukan di suatu daerah diundang. Dalam undangan tersebut ada pertunjukan wayang. Giliran beliau tampil berpidato, Kyai Akyas bercerita seputar tokoh-tokoh wayang namun dikaitkan dengan ajaran keagamaan. Suara dan intonasinya yang fasih melafalkan ayat-ayat quran dan syair-syair arab membuat para hadirin terpukau. Sekan-akan tampilan ki Dalang itu kalah oleh beliau.





Menurut putranya, keahlian melagukan syair ini kemudian banyak ditiru oleh salah satu murid beliau KH. Fuad Hasyim (almarhum) salah satu ulama kyai dari Buntet Pesantren yang terkenal dengan kefasihan dalam melagukan ayat-ayat suci Al Quran.





Warisan Amnat



Nasehat-nasehat beliau dalam setiap pengajian disampaikan dalam bahasa yang jelas dan sangat mengena. Beberapa nasehat beliau yang masih dikenang oleh para muridnya itu misalnya:



Kata beliau, masyarakat akan hancur manakala terjadi empat hal berikut:



Pertama, orang alim yang mengaku-aku kealimannya.



Kedua, orang miskin yang disuruh memegang uang;



Ketiga, orang kaya melihat keuntungan;



Kelima, penguasa yang suka melihat jabatan.





Kemudian kepada anak-anaknya, beliau sering berwanti-wanti dalam nasehatnya. Misalnya nasehat yang dituturkan oleh KH. Syifa:






  • Jika kamu menjadi tua, maka janganlah seperti ayam jago tetapi juga tirulah jago. Maksudnya, prilaku ayam jago ada yang baik ada pula yang buruk. Yang baik misalnya, ayam jago itu bila melihat ayam betina pasangannya direbut oleh pejantan yang lain, akan langsung diburu dan dipatuk hingga kabur dan jika melawan dilabrak. Namun prilaku yang tidak boleh ditiru dari ayam jantan adalah ia tidak suka melihat ayam jatan lain yang lebih. Hal ini sama seperti jika melihat orang lain lebih baik, jangan dibencinya.

  • Jika suatu ketika bepergian dengan isteri kemudian sang isteri meminta macam-macam barang untuk dibelikan, menurut Ki Akyas sebaiknya ikuti saja permintaanya dan jangan sekali-kali ditentang dan bersitegang di jalan. Namun bila ingin menegurnya, maka nanti kalau sudah sampai di rumah.

  • Bila diundang oleh masyarakat biasa, maka jangan sekali-kali merasa menajdi orang yang penting sehingga menjadi satu-satunya orang yang ditunggu. Merasa penting sendiri inilah yang harus dihindari.









Jakarta, 18 Maret 2008  16:04 WIB seperti yang diceritakan KH. Muhammad Syifa kepada Redaksi (Muhammad Kurtubi)




 





Post a Comment

Lebih baru Lebih lama