Oleh:
M. Luthfi Thomafi
Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi
bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan
pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi
Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di
Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap
kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Tanya Jawab (422) Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
=======
Tanya :
=======
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz
yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian
agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan
dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa
sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut diperkuat pula
dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah:
"Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah
ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk
menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Wassalaamu'alaikum
=======
Jawab :
=======
Assalamua'alikum war. wab.
Ada
tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia,
Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk
senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid
Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.
Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi
Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena
tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa
dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan
berlawanan dengan teologi agama.
Yang perlu kita tekankan dalam
memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari
kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam
rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian
itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan
sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai
Rasul.
Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan
semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan
pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai
bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".
Dalam Shahih
Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah.
Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad
[SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran
Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal
tahun Gajah.
Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau.
Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam
riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa
Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini
tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang
urusan akhirat.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial
sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin
Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari
orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini
mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW,
menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh
wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan
aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan menambah ketaqwaan kita,
perlu kita lakukan.
Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab
Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami tulis di atas. Tetapi,
jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada
di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip
kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita
utamakan.
Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan
aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan]
pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas
yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita
bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi
Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Masalah Bid'ah:
Ibnu Atsir
dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah
dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam)
Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi
dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan
perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang
sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari
syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah.
Ibnu Atsir menukil sebuah
hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan
mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan
barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa
orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada
teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar".
Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru
dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut
adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan
dengan ajaran agama disebut "bid'ah".
Izzuddin bin Abdussalam
bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan
dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman
Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto
kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan
madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca
al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan
al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti
menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti
bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Syatibi
dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim
mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah.
Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur
menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau
seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan
makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat
dan mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan
terpuji secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya
bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)
Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam
masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk
membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan
mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan
tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan
antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak
membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya
hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah).
Kita
diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini
masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Demikian, semoga membant.
M. Luthfi Thomafi (pesantren virtual)
Posting Komentar