Oleh: KH. Salahuddin Wahid
Medio Maret 2008 saya menonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC) bersama istri saya. Banyak sekali yang tertarik untuk menonton film itu,termasuk Pak Habibie dan Pak Jusuf Kalla.
Setahun lalu saya menonton film Nagabonar Menjadi 2. Kedua film itu
adalah film yang bagus sekaligus laris.Bahkan film AAC menjadi film
Indonesia yang paling banyak penontonnya sepanjang sejarah, mencapai
angka 2,9 juta sampai 22 Maret 2008.Angka 4 juta tampaknya bisa
tercapai.
Mengapa jumlah penonton AAC bisa melonjak demikian
tinggi? Pertama, tentu karena buku AAC karya Habiburrahman el-Shirazy
adalah buku yang baik dan terjual dalam jumlah amat besar, konon di
atas 400.000 buah. Kedua,filmnya sendiri juga cukup bagus dan enak
untuk ditonton.
Ketiga, ada kebutuhan akan munculnya film yang
baik.Artinya masyarakat sudah menunggu hadirnya film yang baik dan
laku.Coba kalau hal yang sama terjadi 10 tahun lalu, belum tentu
hasilnya akan seperti itu. Apakah ini merupakan awal dari bangkitnya
dunia film Indonesia sehingga bisa tidak menjadi tamu di negeri
sendiri?
Apakah insan perfilman Indonesia sudah siap mengikuti
jejak rekannya di dunia musik Indonesia yang sudah menjadi tuan rumah
di negeri sendiri? Bahkan lebih jauh lagi, mampukah kita mengekspor
film Indonesia, paling tidak ke Malaysia, seperti para musisi kita?
Kita perlu melihat dunia perfilman India sebagai perbandingan atau
contoh.
***
Kita menyaksikan banyak sekali film India diputar
di hampir semua stasiun TV di Indonesia. Di bioskopbioskop di hampir
seluruh kota di Indonesia film layar lebar India sejak 50 tahun lalu
menjadi kegemaran masyarakat kelas menengah ke bawah. Masyarakat
menengah ke atas Indonesia memandang film India dengan sebelah mata.
Seumur
hidup saya hanya pernah menonton film India berjudul Boot Polish pada
akhir 1950-an.Tanpa disangka pada minggu ketiga Januari 2007 saya
menonton dua film India yang baru diputar. Dua film itu panjangnya tiga
dan tiga setengah jam. Saya menonton film tersebut di New Delhi saat
saya dan istri berkunjung ke India (Januari 2007) diajak salah seorang
kawan saya, Dalpat Mirchandani.
Kami ditraktir menonton film
pertama oleh seorang kawan Pak Dani (Mirchandani), bernama SK Ghai,
seorang penerbit buku yang sukses.Artinya berasal dari kelas
menengah.Selesai makan malam, seisi rumah,Pak Ghai dan istri serta
kedua anak dan istrinya, Pak Dani dan istrinya,Maya, serta seorang anak
mereka,Anub,dan saya bersama istri menonton film itu.
Sejak
makan malam mereka mulai membicarakan film itu yang baru mulai diputar
setelah dua minggu dan telah lama ditunggu masyarakat. Penonton di
bioskop penuh. Banyak yang memesan karcis bioskop sehari sebelumnya.
Pemutaran perdana film-film India box-office dilakukan serentak di
India dan luar negeri.
Di India ada lebih dari 100 saluran pada
TV kabel. Sebagian besar diisi stasiun TV India yang memutar filmfilm
India lama.Film India di masa lalu banyak yang diputar terus-menerus
bertahun-tahun. Kini mulai berkurang jumlah film seperti itu. Setiap
hari diproduksi 3 film baru, berarti dalam setahun diproduksi lebih
dari 1.000 film baru. Sebagian besar diekspor ke Amerika, Eropa, dan
Asia.
Sebenarnya hasil ekspor tadi hanya sebagai pelengkap dari
pasar dalam negeri. Industri film yang berpusat di Mumbai (dulu Bombai,
karena itu disebut Bollywood) itu mampu memberi penghidupan bagi
puluhan juta rakyat India.Para artis India,terutama yang papan atas,
bisa memperoleh penghasilan yang aduhai.
Bisa mencapai belasan
miliar per film. Shah Rukh Khan untuk menjadi pemandu Crore Pati –versi
India dari Who Wants To Be A Millionaire– dibayar Rp1,6 miliar rupiah
per tayang. Perhatikan, India memakai judul bahasa India untuk program
itu. Empat orang mantan Ratu Dunia asal India terjun ke dunia film:
Lara Dutta, Sushmita Sen,Aishwarya Rai, Priyanka Chopra.Aishwarya Rai
telah ikut bermain di dalam film Hollywood.
Sebelumnya beberapa aktor
dan aktris India juga telah bermain di Hollywood. Satyajit Ray,
sutradara film Father Panchali dan Aparajito,telah lama menempati
posisi terhormat di dunia film internasional.
***
Bagaimana
dengan keadaan dunia perfilman kita? Industri film kita telah mengalami
beberapa kali pasang surut. Dari era Usmar Ismail ke era Asrul Sani,
Syuman Djaja,Wim Umboh, Teguh Karya,Slamet Raharjo, Sophan
Sophian,Garin Nugroho hingga era Rudi Sujarwo. Dari era Raden Mohtar,
Bambang Hermanto, Chitra Dewi,Titin Sumarni,ke era Sukarno M Noor,
Rahmat Hidayat, Lenny Marlina, Widyawati, Benyamin, Deddy Mizwar,
Christine Hakim,Warkop hingga ke era Rano Karno,Tora Sudiro, dan Dian
Sastrowardoyo.
Cukup lama film layar lebar istirahat karena
dikalahkan oleh sinetron. Ada beberapa sinetron yang bagus dan
menghibur serta mendidik seperti serial Losmen, serial Si Doel Anak
Sekolahan, Mahkamah.Namun,kini sinetron yang ada umumnya tidak bermutu.
Film layar lebar yang bagus adalah produksi era masa lalu yang cukup
lama seperti November 1828, Cut Nyak Dien, Apa Yang Kau Cari Palupi?,
Nagabonar, dan Kejarlah Daku Kau Kutangkap.
Film-film tahun
1950-an juga banyak yang bagus. Sayangnya secara komersial film-film
itu tidak semua menggembirakan sehingga produser sulit untuk bertahan.
Beberapa tahun terakhir film layar lebar mulai mendapat pasar yang
lumayan dengan munculnya film Jelangkung, Ada Apa Dengan Cinta?,
Petualangan Sherina, Gie, Berbagi Suami, dan beberapa film lain.
Terakhir
ialah film AAC yang fenomenal. Beberapa film diikutsertakan di dalam
festival bergengsi di luar negeri, tetapi belum berhasil.Usaha itu
patut dihargai. Perkembangan terakhir yang menyedihkan ialah
pertengkaran dan konflik antara insan muda perfilman Indonesia dengan
para seniornya berkaitan dengan penyelenggaraan festival film Indonesia
sehingga para insan muda industri film itu beramairamai mengembalikan
Piala Citra yang telah mereka terima.Peristiwa itu sungguh membuat kita
prihatin. Perlu ada win-win solution.
***
Kita perlu kerja
keras bersamasama untuk mengembangkan industri film Indonesia sehingga
dapat menjadi salah satu industri yang memberi sumbangsih nyata bagi
kemajuan ekonomi Indonesia. Pemerintah perlu memberi dukungan nyata
terhadap industri film nasional kita. Kita harus memulai langkah nyata
untuk membuat film yang baik lalu kita ekspor.
Saya yakin kita
punya kemampuan untuk itu tetapi mengalami hambatan kurangnya
pendanaan.Kita punya banyak materi yang dapat menjadi bahan cerita yang
baik. Untuk membuat skenario bisa dikerahkan tenaga terbaik yang
ada,kalau perlu dengan meminta asistensi dari luar negeri supaya bisa
memenuhi selera pasar.Sutradara dan tenaga lain juga cukup tersedia.
Secara
bertahap kita mulai memproduksi, dari lima film per tahun hingga
akhirnya mencapai puluhan film per tahun. Industri film Indonesia
selama ini tidak mendapat bantuan dana dari pemerintah.Tidak ada
salahnya pemerintah membantunya seperti membantu dunia olahraga.
Bantuan bisa diberikan 50 miliar per tahun untuk memproduksi sekitar
lima film dan 10 miliar untuk upaya memasarkan.
Kalau ada hasil
positif bisa ditingkatkan secara bertahap.Salah satu nilai positif
manusia Indonesia menurut Mohtar Lubis ialah jiwa seni. Kita bisa
memanfaatkan hal itu seoptimal mungkin.Kita harus bekerja profesional,
tidak boleh ada KKN atau sistem koneksi.Semua harus terbuka dan
transparan. Industri film India maju karena masyarakat India mendukung
dan mencintai film nasional mereka.
Film Barat menjadi tamu di
India. Tuan rumahnya ialah film India.Apakah mungkin menumbuhkan
dukungan, apresiasi, dan rasa cinta masyarakat Indonesia terhadap film
Indonesia seperti mereka mencintai tim bulutangkis yang meraih Piala
Thomas? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu.(*)
KH. Salahuddin Wahid
Budayawan, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
Kliping dari Koran SINDO
Posting Komentar