kang_dhabas_dan_menteri.jpgSebuah lembaga donor, Ford Foundation mengembangkan program pendidikan jarak jauh berbasis ICT  (information and communication technology) di pesantren. Ada delapan pesantren yang ditunjuk untuk mengikuti program ini selama tiga tahun, dari April 2008 hingga April 210.











Seminar dua hari bertajuk ”Open, Distance dan E-Learning (ODEL) untuk
Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren” dilaksanakan oleh
International Center for Islam and Pluralism (ICIP), sebuah lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di Jakarta.

Seminar yang dilangsungkan di hotel berbintang lima, Hotel Nikko
Jakarta pada 7-8 April 2008 itu dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika Prof. Dr. Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional Bambang
Sudibyo, perwakilan dari Ford Foundation dan beberapa pejabat kedutaan.

Delapan pondok pesantren yang dipilih dalam program ini adalah
Pesantren Al Kenaniyah (Jakarta Timur), An Nizhomiyah (Pandegelang
Banten), Miftahul Huda Al-Musri’ (Cianjur), Al Mizan (Majalengka),
Hasyim Asyari (Jepara), Raudhatul Falah (Rembang), Nurul Islam (Jember)
dan Nurul Jadid (Probolinggo).

Direktur Eksekutif ICIP Dr. M. Syafi’i Anwar dalam peluncuran program
itu, Senin kemarin menyatakan, program ini selain bertujuan untuk
memperluas akses pendidikan bagi masyarakat santri pesantren dan
komunitas sekitar pesantren. Karena menurutnya, masalah pendidikan di
Indonesia tidak bisa hanya diselesaikan dengan sebatas program-program
yang memiliki batas waktu, lebih jauh kepada gerakan-gerakan yang tidak
memiliki keterbatasan waktu dan akan berakhir sampai masalah tersebut
dapat terselesaikan.

Selain itu, ke 8 pesantren yang menjadi mitra program, mereka akan
diberikan materi pendidikan Paket B dan Paket C yang diarahkan kepada
ujian Nasional, pendidikan keterampilan, dan pendidikan kewarga negaraan
yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, internet dan
intranet.  Ini semua menurutnya, guna mewujudkan masyarakat pesantren
yang akrab dengan perkembangan ICT juga untuk mewujudkan ’pencerahan’
peradaban Islam yang inklusif, humanis dan berorientasi ke depan.

Dasar dari tujuan tersebut bahwa ”Program ini juga dilandasi dengan
pandangan visioner bahwa pesantren mampu menjadi agen perubahan sosial
yang dapat memberikan pencerahan dan bermanfaat bagi masyarakat
sekitarnya,” katanya.

Kenapa hanya ke delapan pesantren, menurut Dr. M. Syafi’i Anwar
menyatakan bahwa ke delapan pesantren ini telah melalui seleksi dengan
memperhatikan masyarakat sekitar pesantren  yang masih dalam keadaan
kurang mampu. Karenanya diharapkan dengan masuknya ICT di pesantren
tersebut dapat dengan cepat memberikan pencerahan yang lebih baik.

Seminar peluncuran program ODEL itu dihadiri oleh berbagai elemen tokoh
masyarakat pelaku pendidikan. Hadir di sana Prof. Dr. Mohammad Nuh,
Menteri Komunikasi dan Informasi, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, Menteri
Pendidikan Nasional. Pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat (Rektor UIN Jakarta), Drs. Bambang Ismawan MS (Pembina Yayasan
Bina Swadaya), dan Drs. Bahruddin (pengasuh SLTP Alternatif Qaryah
Thayyibah). Amin Haidari, M.Pd, Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren
Departemen Agama, Ella Yulaelawati, Ph.D, MSc, Direktur Pendidikan
Kesetaraan PLS, Diknas; Drs. Bambang Ismawan, MS, Pembina Yayasan Bina
Swadaya, Ir. Rahmad Riyadi, MM, Direktur Dompet Duafa Republika dan KH.
Fuad Affandi, Pengasuh PP. Al Ittifaq, Bandung.

Prof. Dr. Mohammad Nuh, sebagai menkoinfo mengupas masalah
transoformasi masyarakat Islam. Meskipun peserta seminar banyak orang
asing, namun beliau dengan fasihnya mengucapkan salam dan pembukaan
dalam bahasa arab. Selanjutnya beliau bebicara seputar tantangan,
peluang dan agenda kerja pesantren dalam era globalisasi. Setelah itu
acara dilanjutkan dengan peluncuran website www.pesantrenglobal.org
sebuah situs yang mengupas perkembangan seputar program ODEL.

Setelah Menkoinfo, pembicara selanjutnya Ace Suryadi, Ph.D,  Dirjen
Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor
UIN Jakarta dan Drs. Bahruddin, Pengasuh SLTP Allternatif Qoryah
Thayyibah, Salatiga Jawa Tengah mengusung tema "Pendidikan Kesetaraan
melalui metode teknologi komunikasi-informasi dari tatanan kebijakan
hingga praktis."

Tema berikutnya yang dibahas adalah bagaimana pesatnren dapat berperan
sebagai peneyelenggara pendidikan jarak jauh dan terbuka antara
kualitas dan harapan. Tema ini disampaikan oleh Amin Haidari, M.Pd dan
Ella Yulalawati sayangnya keduanya tidak hadir dan diwakili oleh
pejabat terkait.

Pada sesi sore hari, pukul 14.45-17.00 WIB mengupas tema bagaimana
pendidikan jarak jauh di pesantren bisa memberikan manfaat untuk
wirausaha. Kaitan antara pesantren dengan dunia usaha. Sebuah
pengalaman menarik disampaikan oleh KH. Fuad Affandi, pengasuh
pesantren PP. Al Ittifaq yang berkonsentrasi dalam pertanian. Pesantren
yang didirikan tahun 1933 semula sangat tertutup seperti Pesantren Benda
di Cirebon, namun kini pesantren ini sudah menjadi suplayer di
supermarket besar dalam pengembangan pertaniannya.

Pada hari kedua, 8 April 2008, tema yang mengusung pendidikan dan
Humanisme Universal sebagai mata pelajaran pendidikan jarak jauh di
Pesantren untuk transformasi masyarakat Islam antara strategi dan
format disampaikan oleh Dr. Moeslim Abdurahman, Direktur al Maun
Institute dan Yanti Mukhtar, Direktur Kapal Perempuan. Sayangnya,
redaksi tidak bisa mengikuti hingga hari kedua. (MK)

Akhirnya, peran pesantren memang dituntut untuk bisa berada di zaman apapun. Format dan aplikasinya tergantung dari pelaksana pesantren itu sendiri. Namun kemampuan pesantren tidak semuanya bisa mandiri dalam pengelolaan baik dana maupun SDM. Karena itu, lahirnya sebuah empati dan simpati dari pihak luar akan sangat membantu guna menyelesaikan masalah internal pengelolaan pesantren yang pada perannya sangat dinanti masyarakat sebagai agen perubahan.  (MK)


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama